Kecuali bekas Kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Sri Sultan Hamengkubuwono, kerajaan lainnya telah tak ada lagi, hanya tinggal cerita yang dimuat dalam berbagai catatan seperti pararaton atau babad tanah jawi, catatan Belanda dan kitab-kitab cerita lainnya yang sangat tersohor.
Akan tetapi, sangat menarik dewasa ini, bahwa sebagian besar tokoh politik dan partai di Indonesia didominasi oleh mereka yang berasal dari suku bangsa Jawa, seperti Ketua Partai Golkar, Partai PKB, Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai PDI Perjuangan, Partai Hanura dan lain lainnya. Demikian pula dari tujuh orang presiden Indonesia,6 orang adalah suku bangsa Jawa, 1 orang Sulawesi walaupun menjabat sebagai presiden kurang dari dua tahun saja.
Di masa lalu persaingan merebut kekuasaan di dalam kalangan istana kerajaan di Jawa sudah lumrah. Di kerajaan Singosari, pada tahun 1227, Tunggul Ametung seorang pemimpin di kerajaan Singosari dibunuh oleh pengawalnya sendiri, Ken Arok lalu mengawini isteri Tunggul Ametung yang tersohor kecantikannya, Ken Dedes. Ken Arok di kemudian hari akhirnya dibunuh oleh Anusapati, anak Ken Dedes dari Tunggul Ametung. Ken Dedes dalam keadaan hamil ketika Ken Arok membunuh Tunggul Ametung. Tohjaya akhirnya dibunuh oleh Anusapati dari anak Ken Arok yang diperoleh dari isterinya Ken Umang. Demikianlah, salah satu cara berpolitik untuk merebut kekuasaan di zaman kerajaan Singosari.
Oleh: Ali Bin Dahlan
Di kerajaan Majapahit, terjadi juga berbagai pertentangan politik diantara raja-raja fazal, diantara sesama keluarga dan raja-raja yang lebih kecil. Semuanya untuk merebut kekuasaan. Salah satu contohnya adalah perang paregreg, perang saudara antara Wirabumi dan Wikramawardana, saudara sepupu sekaligus iparnya dari keturunan Hayam Wuruk. Semua pertempuran tersebut adalah untuk merebut kekuasaan di Kerajaan Majapahit. Dalam era Majapahit, juga Adipati Tuban Ranggalawe pada 1295 melakukan pemberontakan. Kitab Pararaton juga menceritrakan pemberontakan Nambi, pemberontakan Kuti dan sejumlah huru hara untuk merebut kekuaaan.
Sekalipun kerajaan-kerajaan Hindu Jawa yang disebutkan di atas telah berubah menjadi kerajaan Islam baik di pesisir (Demak) atau di pedalaman (Mataram), ternyata perebutan kekuasaan di dalam sistem politik masa lalu kerajaan Kerajaan Jawa terus berkecamuk. Kerajaan Demak yang diakui sebagai kerajaan Islam pertama di tanah Jawa juga tidak luput dari berbagai usaha perebutan kekuasaan. Perselisihan antara kakak beradik Sultan Trenggono dan Pangeran Suryowiyoto yang menyebabkan raja Prawoto putra Sultan Trenggono membunuh Pangeran Suryowiyoto. Pada 1547, Pangeran Prawoto dibunuh oleh Aria Panangsang putra dari Pangeran Sekar. Aria Panangsang akhirnya terlibat dalam perang dengan Jaka Tingkir Adipati Pajang.
Di kerajaan Mataram juga tidak pernah sepi dari persaingan kekuasaan, terutama perebutan kekuasaan di lingkungan istana, baik dengan cara tersembunyi atau dengan cara terang terangan. Di era kerajaan Mataram, beberapa raja yang bersaing juga melibatkan pihak luar (yang kuat dan yang berkuasa). Yang kuat dari luar contohnya adalah Trunojoyo, seorang politikus dari Madura, sedangkan yang berkuasa pada saat itu adalah VOC di lain pihak ikut serta memainkan pertikaian perebutan kekuasaan dalam kerajaan kerajaan Jawa, tentu saja untuk memperluas pengaruhnya di tanah Jawa. Sebenarnya politik pecah belah (de vide et impra) bukan hanya dilakukan oleh Belanda saja, beberapa raja Jawa juga melakukan hal yang sama dalam menanamkan pengaruhnya. Beberapa catatan tentang Gajahmada juga menyebutkan keterlibatannya secara tersembunyi dalam pertikaian di kalangan raja-raja Majapahit.
Salah satu peristiwa yang layak diperhatikan adalah bagaimana tingkah laku Adipati Anom (1670) yang berhasrat menggulingkan tahta ayahnya sendiri Amangkurat I (1645-1677, sepadan dengan masa jabatan presiden Soeharto selama 30 tahun lebih). Gerakan tersembunyi Adipati Anom bisa jadi dicium oleh orang dekat raja. Sementara Trunojoyo (asal Madura) kekuatannya semakin mengkhawatirkan baik bagi Adipati Anom maupun Amangkurat. Akhirnya, kedua ayah dan anak bersatu untuk mengalahkan Trunojoyo,politikus asal Madura dengan cara bekerjasama dengan Belanda (VOC). Beberapa catatan melukiskan Trunojoyo akhirnya dibunuh dengan kejam oleh Adipati Anom.
Raden Mas Alit juga melancarkan perlawanan pada kakaknya Amangkurat dengan alasan, bahwa raja sangat lalim dan akhlaknya rusak, dering mengganggu perempuan dari isteri para pembantunya, sehingga dianggap merusak moral dan agama. Pertempuran ini adalah antara yang mempertahankan nilai-nilai agama dengan raja yang tidak mengindahkan nilai agama, perang ini termasuk perang suci, karena berkaitan dengan pemurnian ajaran agama. Bandingkanlah dengan seperti apa yang terjadi akhir-akhir ini dengan penumpasan terhadap kelompok-kelompok yang berjuang atas nama moral agama. Peperangan di Mataram 1648 yang dimenangkan oleh Amangkurat I, melebar pada pembunuhan sekitar 6000 ulama dan keluarganya. Mereka dibunuh di lapangan dengan sangat kejam, karena para ulama dianggap ikut serta dalam gerakan perlawanan tersebut. Beberapa catatan Belanda juga menyebutkan, bahwa pembunuhan ulama sangat kejam dan brutal yang diperintahkan langsung oleh raja Islam Amangkurat I. Pembunuhan politik ini memperlihatkan sisi yang amat bertentangan dengan konsep belas kasihan dan saling menyayangi menurut ajaran Islam, semata-mata untuk kepentingan kekuasaan dan politik kekuasaan. Tentu saja kita bertanya apakah perebutan Partai Demokrat oleh sekelompok orang bekas pengurus lalu mengangkat Jendral Moeldoko sebagai ketuanya memiliki persamaan dengan kejadian masa lalu dalam lingkungan raja-raja Jawa? Terserah pandangan masing-masing orang. Namun, beberapa bagian dari pragmen sejarah masa lalu itu dapat saja dikaitkan dengan kejadian dewasa ini. Sebenarnya, setiap suku bangsa melahirkan generasinya dengan membawa watak tradisi nenek moyangnya. Memang ada bagian-bagian yang dapat dipengaruhi oleh lingkungan, perkembangan jaman, hubungan antar bangsa, tetapi watak dasarnya pasti tetap berada dalam lubuk hati semua manusia. Seperti kita lihat pada adat istiadat, bahasa dan budayanya termasuk prilaku politiknya. Orang-orang Jawa di Suriname, di Kaledonia Baru atau orang Arab Indonesia, orang India di Malaysia dan orang Cina perantauan di seluruh dunia. Mereka akan tetap mepertahankan identias budayanya melalui bahasa, adat istiadat dan prilaku politiknya baik dengan cara terbuka atau tertutup, baik dilakukan sendiri atau dengan cara berkomplot.
Jokowi dan pengaruh politiknya
Jokowi telah mencapai puncak kejayaan politiknya sebagai penguasa tertinggi negara ini. Beliau berjaya dengan sangat lancar dan indah. Beliau memulai kariernya sebagai wali kota, sebagai Gubernur DKI dan kemudian sebagai presiden negeri ini. Beliau memiliki impian untuk memajukan bangsanya dengan cepat, walaupun beliau akan terbentur dalam keterbatasan waktu berkuasa menurut Undang-undang Dasar. Tetapi, demikianlah seorang presiden, pasti memiliki impian agar beliau dikenang sebagai presiden yang menggagas sesuatu yang dari tidak ada menjadi ada.
Presiden Jokowi bukanlah keturunan raja-raja Jawa seperti yang sudah saya uraikan di atas. Beliau bukanlah seorang jendral atau laksamana dari angkatan bersenjata manapun. Beliau benar-benar seorang politisi yang cerdas. Bukan karena menjadi ketua partai atau perkumpulan apapun. Beliau adalah pemimpin yang datang dari rakyat tanpa perlu mendirikan partai atau merebut partai lain untuk dijadikan tunggangan.
Para jenderal yang berkumpul di sekeliling Jokowi adalah pejabat biasa, di bawah perintah presiden. Bahkan, para ketua partai yang ada disekitar Jokowi adalah pejabat biasa yang berada di bawah perintah beliau, kecuali beberapa gelintir partai yang mencoba membuat dirinya menjadi oposisi walaupun mereka tahu bahwa sistem tata negara kita tidak mengenal istilah oposisi. Apapun alasan seseorang yang merebut kekuasaan dari sebuah partai, pasti mereka adalah kelompok yang lemah. Karena, tak mampu mendirikan partai sendiri, seperti Emmanuel Macron atau Surya Paloh, atau Prabowo Subianto, atau Amin Rais, atau Fahri Hamzah, tau Wiranto, atau Edi Sudrajat. Terserah partainya akan berhasil atau tidak, tetapi mereka telah menjaga kehormatannya untuk memperjuangkan visinya melalui partai yang dibuatnya sendiri.
Apakah Jokowi terlibat?
Banyak spekulasi, bahwa kudeta partai demokrat oleh Moeldoko atas saran dan keterlibatan Presiden Jokowi. Tentu saja, saya berbeda pendapat dalam hal ini,karena untuk apa Jokowi menambah partai yang mendukungnya? Beliau orang terkuat di republik ini. Beliau tidak dapat diturunkan bahkan oleh semua partai. Negara kita bukan parlementer tetapi presidensil, lalu untuk apa beliau menambah partai pendukungnya. Ini adalah analisa saya, tetapi boleh saja pihak lain memberi pendapat yang berbeda.
Lalu timbul pertanyaan, apakah Jokowi tidak memiliki rencana untuk mendorong putranya atau menantunya agar mengikuti jejaknya menjadi pemimpin di negeri ini? Bisa jadi setiap pemimpin ingin meneruskan visinya yang belum selesai. Lalu, menggantungkan harapannya pada kerabat dekatnya dengan mana kerabat dekatnya dapat mengikuti cita-cita orang tuanya dan orang tuanya sementara akan menjadi mentornya. Mungkin hal inilah maka para pemimpin partai di Indonesia juga mendorong anaknya agar meneruskan memimpin partai, seperti Prananda Paloh, AHY, Puan, dan lain lainnya. Semua hal tersebut pasti tidak salah, yang salah adalah jalan pintas untuk meraih kekuasaan dengan merebut partai dari tangan orang lain, seperti juga kekerasan dalam banyak kasus dari raja-raja Jawa terdahulu. Seandainya dugaan di atas benar, maka orang yang merebut partai itu tetap adalah orang lemah, apalagi jika hal tersebut atas arahan dan pengaruh orang lain.
Dari para elit politik Indonesia dan pimpinan partai-partai dominan di negeri ini masih dikuasai oleh suku bangsa Jawa (PDIP, GOLKAR, GERINDRA, PKB, DEMOKRAT). Demikian pula para jenderal politisi seperti SBY asal Pacitan Jawa Timur, Moeldoko asal Kediri di Jawa Timur, Jenderal Wiranto dan Jenderal Hendropriono asal Yogyakarta. Demikian pula Prabowo Subianto, walaupun beliau lahir di Jakarta (1951), tetapi semua orang tahu, bahwa beliau dilahirkan dari ayah seorang Jawa. Mereka semua berasal dari daerah yang dimasa lalu terdapat kerajaan-kerajsan Jawa yang tak pernah sepi dari pergumulan politik yang disertai dengan perebutan kekuasaan atau kudeta. Pergumulan politik sampai pada perpecahan partai-partai sebenarnya juga terjadi dimasa lalu. Hanya motifnya agak berbeda, seperti pecahnya PNI menjadi Partindo dan PNI baru, pecahnya Syarikat Islam menjadi Syarikat Islam Merah. Baik Soekarno sebagai pendiri PNI maupun HOS Tjokroaminoto pendiri Syarikat Islam adalah orang orang Jawa yang sangat berjasa bagi bangsa dan negara ini. Perpecahan partai dimasa lalu berkisar dalam ranah ideologi yang dianut atau soal metode kerjasama dengan pemerintah jajahan, apakah kooperatif atau non kooperatif. Akhirnya, bagaimanapun suku bangsa lain di Indonesia harus banyak belajar hal-hal yang baik dari suku bangsa Jawa. Demikian pula, suku bangsa Jawa hendaknya dapat belajar hal-hal yang baik dari suku bangsa yang lain di Indonesia agar melebur menjadi Indonesia yang kuat bukan dominasi yang kuat terhadap sesama suku bangsa yang lain.
Penulis adalah Mantan Bupati Lombok Timur Dua Periode
foto utama: google image