Sambal Goreng Tempenyol Dalam Kitab Kuliner Ampenan

Bahan utama pengolahan kuliner orang-orang Ampenan tak hanya dari daratan, tapi juga dari sungai, lautan, bahkan udara. Tapi mengapa masakan-masakan dari ujung barat Pulau Lombok yang notabene kawasan pesisir, baik dalam perhelatan atau yang dijajakan penjual kuliner, nyaris tak pernah memunculkan hidangan khas laut?

Pertanyaan itu mengemuka dalam diskusi rutin malam Rabu di Kedai Gudang Kopi Ampenan, Selasa (16/03/2021). Diskusi yang melibatkan para pelaku pariwisata, pengusaha kuliner, kolektor benda pusaka, akademisi, dan peminat sejarah ini tambah malam semakin menghangat. Seluruh peserta bersinergi, mencoba lebih menggairahkan Ampenan yang sudah terbranding sebagai destinasi berlabel kota tua, dengan serangkaian even yang direncanakan mulai terlaksana sejak Ramadhan tahun ini.

Tema besar yang diusung adalah “1000 Kuliner Ampenan”. Bahwa identitas kota tua ini tak hanya bisa ditunjukkan dengan bangunan bergaya kolonial Belanda di sejumlah tempat yang masih berdiri. Tapi jejak-jejak peradaban masa silam dapat ditelusuri dari beragam kuliner yang bahkan jauh lebih dulu ada sebelum bagunan-bangunan kolonial itu berdiri. Ambil contoh hewan serangga. Alfred Russel Wallace menggambarkan jutaan capung mengapung di persawahan yang membentang dari Ampenan hingga Mataram di tahun 1856. Di bukunya berjudul “The Malay Archipelago”, ilmuwan ini menyebut serangga tersebut ditangkap para pribumi untuk dijadikan lauk.

BACA JUGA:  Catatan Kuliner Seorang Serdadu

Tetapi, capung, hewan udara ini, masuk dalam daftar menu, bukan berarti suatu indikasi masyarakat yang kekurangan sumber protein. Ampenan dan Pulau Lombok pada umumnya, memiliki sumber daya alam yang melimpah. Mulai dari bermacam burung, serangga, unggas darat, hewan berkaki empat, hingga isi laut yang tak terhitung jumlahnya. Sampai kapal-kapal Eropa hingga di abad 19 berburu spesies tertentu dalam jumlah besar-besaran di perairan Ampenan, sebagai bukti kawasan ini begitu kaya.

Dengan keanekaragaman sumber makanan itu, tak heran memunculkan banyak menu di Ampenan. Hewan atau tumbuhan dari tiga jenis alam — air, darat, dan udara — diproses tak hanya sekadar dibakar, digoreng, atau direbus. Bermacam bumbu dengan takaran-takaran tertentu yang digunakan pada tiap-tiap bahan tersebut, melahirkan ratusan hingga ribuan resep. Dan, sebagai kawasan paling heterogen di Provinsi NTB, sumbangan bermacam suku-bangsa yang bermukim sejak bekas kota bandar terkenal ini ada, menambah daftar panjang menu masakan setempat. Di kota tua ini, pengaruh citarasa tradisi aneka bangsa, sebut saja Eropa, Arab, dan India, teramu pada sebagian besar hidangan yang dapat ditemukan sampai sekarang.

BACA JUGA:  Di Perang Dunia II, 84 Tentara AS Tewas Diserang di Selat Lombok

Saya mulai menyusun dan menginventarisir kuliner-kuliner di Ampenan sejak dua tahun lalu. Tidak sekadar nama dan resepnya, tapi profil masing-masing kuliner saya upayakan bisa memberi penjelasan historis, detail etnografis, bahkan telaah filosofinya. Semoga rampung dan dapat diterbitkan di tahun 2021 ini.

Malam itu, tempenyol atau undur-undur laut yang masuk dalam famili Hippoidea, juga sempat disinggung. Spesies ini juga akan melengkapi buku yang saya susun. Menunya beberapa macam, salah satunya yang diolah dalam varian sambal goreng lokal. Pedas dan ngereos (semerbak wangi) banget!

Hidangan tempenyol juga menunjukkan panjangnya cerita tentang peradaban di Ampenan. Saya memasukkannya dalam kelompok kuliner dari jenis hewan air.

BACA JUGA:  Syarif Berembeng : Aktor Intelektual Congah Praya

Saya menemukan menu dari bahan spesies air, baik sungai, muara, maupun laut, dalam jumlah yang cukup banyak. Di postingan ini saya sebutkan beberapa saja. Pes (pepes) ipun, ikan kecil-kecil dari muara sungai, misalnya. Lainnya, rajungan bumbu rajang, hidangan jenis rumput laut berupa urap-urap latoq dan beberoq pencok geranggang, atau pelecingan tongkol.

Jadi, wajar saja timbul pertanyaan seperti di atas, mengapa orang-orang Ampenan justru lebih banyak menjajakan menu ikan nila, dari spesies air tawar, atau hidangan dari daging hewan daratan.

Even-even yang segera digelar, dan terbitnya kitab “1000 Kuliner Ampenan”, adalah semacam pengingat, bahwa perjalanan panjang kota tua ini diikuti hadirnya beraneka macam kuliner. Ampenan yang kaya racikan masakan, baik berbahan utama dari darat, udara, maupun sungai dan lautan.

Hidangan-hidangan yang tak hanya memanjakan selera. Tapi ketika menikmati salah satu saja menu kuliner Ampenan, dalam nuansa kesedapannya juga ditemukan sejarah! (Buyung Sutan Muhlis)