Oleh: DR Salman Faris
(Ketua Jaringan Intelektual Nahdlatul Wathan)
“Alhamdulillah, pengadek-adek Ninik Maulanassyekh, Keris Empu Gandring masihn arak. Due loekn lek dunie, sekek lek Jawe sekek lek Zainuddin Tsani taokn. Lek dunie, arak due loekn. Cuman, ndekte kadun sombong atau bengamuk-ngamukan…….”
Petikan di atas merupakan bagian pembuka dialog RTGB dalam video berdurasi sekitar 2 menit dan 16 detik. Video tersebut berjudul Viral..!!! Kris Mpu Gandring di Pegang Oleh Raden Tuan Guru Bajang|Warisan Maulana Syaikh.
Reaksi saya pertama kali ialah tercengang. Tercenung. Saya pun tertanya-tanya. Kenapa narasi ini dikembangkan oleh RTGB? Kenapa pula kaum cerdik pandai, kaum sarjana yang ada di sekeliling beliau tidak memberikan pandangan, terutama sekali dalam kasus Keris Empu Gandring ini. Dengan begitu, sedikit banyak tulisan ini juga saya tujukan kepada kaum cerdik pandai di lingkaran RTGB. Mudah-mudahan ada tanggapan yang masuk akal dari kaum cerdik pandai (sekurang-kurangnya memenuhi unsur ontologi, epistemologi, dan aksiologi) mengenai narasi RTGB tersebut.
Saya cukup menyayangkan narasi Keris Empu Gandring di tangan RTGB tersebut akhirnya menjadi konsumsi publik. Sebab saya membayangkan bagaimana kalau ada orang yang terobsesi membuktikan kebenaran narasi tersebut? Atau bagaimana jika ada orang secara iseng melaporkan RTGB kepada negara dengan sangkaan mengoleksi barang langka, barang purbakala yang terkategori cagar budaya? Bayangan sekaligus kekuatiran saya ialah ini akan menjadi rumit. Percampuradukan antara demit dengan logika akan ramai di platform kontestasi media sosial maupun dunia nyata.
Kalau RTGB dapat membuktikannya, tetap ada risiko. Tentu risiko jauh lebih besar jika tak mampu dibuktikan. Dari sudut pandang kepurbakalaan, misalnya, jika betul Keris Empu Gandring ada di tangan RTGB, maka beliau berpotensi melanggar Undang-undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Pasal 102 misalnya berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan temuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
Dalam pasal 103 pula secara jelas disebutkan begini: Setiap orang yang tanpa izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah melakukan pencarian Cagar Budaya sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 26 ayat(4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milIar rupiah).
Kedua pasal tersebut berbicara tentang keengganan melaporkan kepemilikan dan upaya pencarian cagar budaya. Tentu saja RTGB dapat dikenakan kedua pasal tersebut sebab kepemilikan juga mengandung unsur pencarian secara sengaja. Bahwa Keris Empu Gandring yang di tangan RTG tersebut melalui proses gaib, misalnya, juga berpotensi dilihat sebagai unsur upaya mencari.
Kecuali kalau Keris itu memang sudah tiba-tiba ada. Namun ini juga berisiko sebab Maulana selaku yang mewariskan Keris Empu Gandring kepada RTGB tidak melaporkan kepada pemerintah. Malah menyimpannya dalam jangka masa cukup lama.
Saya jadi terdiam. Sebab urusan menjadi semakin rumit karena Maulana tidak melaporkan kepemilikan Keris Empu Gandring, termasuk juga RTGB selaku pewaris keris tersebut. Bagaimana Maulana mendapatkan Keris Empu Gandring juga akan dipersoalkan secara hukum dan sosial. Pening kepala saya.
Terkait Undang-undang di atas, saya tak ada pengetahuan dan tak layak lebih luas mengulasnya. Yang menjadi konsen dan kekuatiran mendalam saya ialah jika narasi RTGB tersebut tidak dapat dibuktikan. Ada kredibilitas, ada moral, ada kesiddikan, bahkan ada kewalian yang dipertaruhkan di situ.
Meskipun proses pembuktian itu juga memerlukan waktu panjang. Pakar kepurbakalaan memerlukan kerja laboratorium yang rumit untuk memastikan kesahihan keris tersebut sebagai Keris Empu Gandring, namun jika itu benar-benar dilakukan dan menghasilkan dua hal: benar bahwa itu Keris Empu Gandring dan bahwa tidak benar keris tersebut seperti yang dinarasikan RTGB, maka sungguh pertaruhannya amat besar.
Taruhlah jika tidak benar, maka sudah tentu pandangan miring akan diberikan. Penilaian sebagai tak pantas akan dihadiahkan. Tidak hanya kepada RTGB namun kepada Maulana. Dan bagaimana jika benar, seperti yang disebutkan di atas, ada konsekuensi hukum negara dan norma sosial yang mesti diterima.
Dengan kata lain, sekali lagi, baik narasi RTGB itu benar atau tidak benar, keduanya menuntut pertaruhan yang tidak kecil. Maka saya tak dapat membayangkan jika ada orang merendahkan kredibilitas RTGB. Sebagai orang yang menghormati beliau, tentu saja saya tidak terima. Namun jika tidak menerima, apa yang harus saya perbuat sebab narasi itu memang berisiko. Maka jadilah kekalutan sosial. Beliau sebagai panutan orang ramai, makmum akan bergejolak. Sebagai jamaah, meski itu dinyatakan salah secara Undang-undang, namun ada kewajiban untuk menjaga kehormatan RTGB meskipun kewajiban tersebut susah dijelaskan benang merah akal sehatnya.
Meski demikian, RTGB dapat dielakkan dari segala kekuatiran saya atas perkara yang timbul terhadap narasi Keris Empu Gandring tersebut apabila merujuk kepada Pasal 12 ayat 2 dan 3 Undang-undang Cagar Budaya yang berbunyi:
(2)Setiap orang dapat memiliki dan/atau menguasai Cagar Budaya apabila jumlah dan jenis Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan/atau Situs Cagar Budaya tersebut telah memenuhi kebutuhan negara.
(3)Kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diperoleh melalui pewarisan, hibah, tukar-menukar, hadiah, pembelian, dan/atau putusan atau penetapan pengadilan, kecuali yang dikuasai oleh Negara.
Tentu saja saya beharap RTGB sudah memenuhi kedua ayat di atas. Meskipun saya juga membayangkan betapa rumitnya proses pengurusan. Terutama sekali jika merujuk kepada ayat 4 yang berbunyi:
(4)Pemilik Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan/atau Situs Cagar Budaya yang tidak ada ahli warisnya atau tidak menyerahkannya kepada orang lain berdasarkan wasiat, hibah, atau hadiah setelah pemiliknya meninggal, kepemilikannya diambil alih oleh negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan kata lain, RTGB harus dapat menunjukkan bukti atau surat pewarisan dari Maulana. Kalaulah RTGB dapat membuktikan secara benar dan dinyatakan sah sebagai pewaris dan pemilik Keris Empu Gandring, saya juga terpikir dampak dari narasi tersebut tidak selesai secara mudah.
Sebagai tokoh publik, berkedudukan sebagai panutan banyak orang, tentu saja RTGB akan dihubungkan dengan sejarah yang melekat di dalam Keris Empu Gandring. Para ahli purbakala hingga para empu keris serta penggila keris di Indonesia sehaluan yang Keris Empu Gandring tidak diketahui rimbanya. Meski ada pendapat yang menyatakan keris tersebut dibuang ke kawah Gunung Kelud, namun hingga kini pernyataan tersebut belum dapat dibuktikan. Umumnya memahami yang Keris Empu Gandring raib, tidak diketahui rimbanya.
Lantas tiba-tiba RTGB secara terbuka bernarasi yang Keris Empu Gandring ada di tangan beliau. Saya agak sukar membayangkan kegaduhan di jagat perkerisan Indonesia. Saya cukup sulit membayangkan bagaimana adrenalin para penggemar keris membuncah untuk segera dapat berurusan dengan RTGB dengan tujuan sama: melihat bahkan memiliki atau mengambil alih keris Empu Gandring.
Di jagat sejarah pekerisan juga tak kalah sibuk. Saya bayangkan mereka akan menelusuri genealogi hubungan antara RTGB dengan segala peristiwa yang didampakkan oleh keris tersebut. Sekurang-kurangnya mereka akan bertanya, apakah hubungan genetik, spiritual, dan supranatutal antara RTGB dengan Empu Gandring, Kebo Ijo, Tunggul Ametung, Ken Arok, Ki Pengalasan, Anusapati, Tohjaya?
Apa kebahayaan yang tiba-tiba saya pikirkan? Ada maupun tidak adanya hubungkait antara RTGB dengan dampak serta korban yang ditimbulkan olek Keris Empu Gandring, hal tersebut sama saja berpotensi menimbulkan keruwetan. Kalau ada hubungan, misalnya, perkara tersebut sudah pasti akan mencetuskan citra negatif bagi RTGB. Sebab jamak diketahui yang keris Empu Gandring ialah kutukan pembuatnya yang, lacurnya keris tersebut memang meminta korban orang-orang yang ada hubungan dekat dalam kekeluargaan dan kekerabatan.
Bahkan jika RTGB tidak ada hubungan sedikit pun dengan korban dan dampak yang ditimbulkan oleh keris Empu Gandring, hal ini tidak membuat situasi menjadi mudah. Sebab narasi yang dibangun RTGB akan menimbulkan tafsir orang ramai yang, beliau berpotensi tercitra identik dengan sejarah keris Empu Gandring yang tragik.
Sekali lagi, sebagai orang yang menghormati beliau, saya kuatir. Semoga kaum cerdik pandai di sekeliling beliau mempunyai kekuatiran yang sama.
Rumit. Ruwet, bukan?
Malaysia, 8 Februari 2021