Oleh: DR Salman Faris
Dunia mengetahui Malaysia dinobatkan sebagai negara terbaik dalam mengatasi pandemi covid-19. Negara dan rakyat bersuka cita. Merasa terhormat dan tersanjung karena penghargaan tersebut. Lalu setelah menutup negara beberapa bulan, Malaysia memberikan lagi kebebasan kepada warganya untuk beraktivitas. Tempat-tempat pelancongan dibuka, hotel-hotel juga beroperasi sebagaimana angkutan umum dan tempat publik lainnya.
Warga yang merasa dikurung cukup lama. Mereka merasakan pahit yang mendalam karena bulan puasa sekaligus dua hari raya terbesar Islam tidak dapat mereka lakukan secara terbuka. Semua dalam aturan dan hukuman yang ketat. Universitas dan sekolah dibuka. Seolah ingin merayakan kemenangan melawan covid-19, warga sangat antusias dengan dibukanya lembaran baru selepas dikekang berpanjangan.
Di tengah-tengah riuh rendah keceriaan tersebut, tensi politik di Malaysia selepas Mahathir digulingkan rupanya menemukan titik awal kulminasi. Sengketa politik yang tak berujung tersebut akhirnya dibuka dengan lembaran baru yakni, pembubaran pemerintah negeri atau provinsi Sabah. Pemerintah pusat merasa berkewajiban dan berkepentingan mendorong pembubaran agar dapat mengurangi goncangan yang bertubi-tubi di pusat. Pemerintah pusat berhasil menjalanakn agenda pertarungan politik tersebut yang, tak berselang lama disusul dengan melakukan pemilihan umum pemerintahan baru. Hasilnya, kubu yang didukung oleh pemerintah pusat memenangkan pemilu. Pemerintahan Negeri Sabah yang sepenuhnya mendukung pemerintah pusat dilantik.
Apakah musibah politik di Malaysia berakhir? Sepintas ya, meskipun gegara gebrakan Anwar Ibarahim, sang ketua Oposisi Malaysia yang ia hentakkan beberapa hari sebelum pemilihan raya di Negeri Sabah dengan mengumumkan peluang pengambilalihan kekuasaan di pusat masih dikuatirkan sebab efeknya, rupanya tak putus. Tanpa diduga, jurus Anwar Ibrahim makin menggeliat pascapemilihan umum di Negeri Sabah. Kemenangan di Negeri Sabah rupanya tak membuat pemerintah pusat boleh tidur nyenyak. Situasi semakin kerlap kerlip karena akhirnya Anwar Ibarahim diperkenan menghadap Yang Dipertuan Agung, hukum dan kekuasaan tertinggi di Malaysia. Ini peristiwa yang bagai sunami bagi pemerintah. Detik-detik kejatuhan semakin benderang. Karena itu, pemerintah berkuasa mesti melakukan sesuatu. Perlawanan cerdik terhadap semakin menguatnya Anwar Ibrahim mesti dikembangkan.
Dalam proses pertarungan politik tersebut, tanpa diduga, buah kemenangan pemerintah pusat di Negeri Sabah wajib dibayar mahal. Gelombang kedua covid-19 datang dengan wajah lebih beringas. Dengan amukan lebih menggurita. Ganas dan mengenaskan. Malaysia yang pada gelombang pertama covid-19 berhasil menekan laju perkembangan virus tersebut sehingga digelari sebagai negara terbaik penanganan pandemi, malah dalam gelombang kedua ini berhadapan dengan pendekar virus yang semakin ganas dengan jumlah yang berkali lipat ganda.
Kasus demi kasus bermunculan. Penyumbang terbesar ialah Negeri Sabah. Tak pernah turun dari 70 persen setiap hari dari keseluruhan kasus yang selalu di atas 1000 kasus. Jumlah yang amat mengejutkan. Yang Dipertuan Agung tidak percaya dengan hentakan situasi ini. Beliau berkali-kali mengekspresikan kekuatiran mendalam melalui media. Pemerintah juga terkejut luar biasa. Rakyat hanya dapat ternganga-nganga memandang bah pandemi yang kegilaannya berpuluh kali lipat dibandingkan sebelumnya. Oposisi bertimbang fikir untuk akur dengan keadaan. Dalam masa yang sama, pertarungan politik diperhalusi dengan tidak menghilangkan kekejaman.
Pada awal mulanya, kasus bermunculan bak jamur di Negeri Sabah. Setelah itu meluas dan meluas hingga hampir ke seluruh Malaysia. Negeri Perlis dan Negeri Kedah yang pada gelombang pertama boleh dikatakan selalu zero kasus, mendadak masuk tiga besar negeri penyumbang kasus pada gelombang kedua. Setelah dirunut, induk semang kasus tidak dapat dilepaskan dari negeri Sabah. Apa sebabnya? Rupanya, setelah kebebasan diberikan, dan disebabkan rakyat tak dibenarkan ke luar negeri sampai batas waktu yang belum ditentukan, mereka akhirnya banyak memilih berlibur ke Sabah dan Sarawak. Bergaul dengan warga Sabah yang baru habis pemilihan umum yang, lacurnya juga tidak menyadari pandemi menyerang kembali. Mereka yang melancong ke Sabah dan Sarawak balik kampung sebagai pembawa virus. Jadilah gelombang kedua menyebar luas dalam kekuatiran yang amat ngeri.
Tidak hanya itu, petugas keamanan (polisi dan tentara) yang dikirim ke Sabah untuk mengamankan pemilihan umum Negeri Sabah pun ditarik kembali ke markas masing-masing. Rupanya, mereka juga tidak menyadari sebagai penyebar virus dari Sabah. Maka jadilah gabungan antara warga pelancong dan petugas keamanan sebagai agen tak terduga mengamuknya pandemi dalam gelombang kedua di Malaysia hingga kini.
Pemerintah dalam situasi terjepit dalam keserbasalahan. Mau menutup Malaysia lagi, risiko ekonomi sangat besar. Mereka belajar dari gelombang pertama dengan biaya yang hampir menggerus mereka ke jurang resesi yang mengganas. Pada satu sisi, mereka berhadapan dengan amukan pandemi dan berkewajiban mengutamakan keselamatan rakyat. Akhirnya mereka putuskan, ekonomi dan keselamatan rakyat disetarakan. Mereka memutar otak mencari strategi. Hasilnya, sudah hampir dua bulan seluruh Malaysia ditutup kembali dengan aturan dan hukum yang diperbarui agar aktivitas ekonomi tidak menjadi korban. Apakah mereka berhasil. Belum. Sekali lagi belum. Sebab kasus setiap hari tak pernah turun dari 1000 pascapemilihan raya Negeri Sabah.
Akibatnya, penggerumuman warga tak terkendali. Antara pemerintah dan oposis berada dalam posisi yang sama. Ada warga yang menghujat mereka, ada juga pendukung setia. Situasi itu terus mengerucut ke sudut yang aneh. Tak lagi dapat dibedakan antara ketaatan dengan kepasrahan rakyat kepada pemerintah. Pemilihan umum di Negeri Sabah dihujat. Media sosial memanas dalam kesenyapan. Beruntung Malaysia masih mempunyai Yang Dipertuan Agung. Hanya beliau yang masih jadi kiblat rakyat.
Pemerintah makin terdesak. Satu sisi mereka memasang muka ranum di rakyat, satu sisi mereka harus melemahkan gebrakan Anwar Ibarahim. Dalam situasi seperti itu, pemerintah pusat mengajukan keadaan darurat, membubarkan pemerintahan kepada Yang Dipertuan Agung. Hampir satu minggu suasana kebatinan rakyat Malaysia dalam kesenyapan mendalam. Di tengah-tengah mereka pandemi semakin mengamuk, di hadapan mereka sudah menunggu kekelaman sejarah politik, yakni keadaan darurat. Malaysia masih sangat trauma dengan keadaan darurat tanah Melayu tahun 1948-1960, darurat konfrontasi tahun 1964, darurat Sarawak tahun 1966, darurat kerusuhan etnik tahun 1969, darurat Kelantan tahun 1977, dan darurat asap tahun 1997, 2005, 2013.
Rakyat menarik nafas lega. Yang Dipertuan Agung yang bijaksana memutuskan menolak permohonan pemerintah pusat. Pada situasi yang lain, magma politik semakin mengguncang. Fase berikutnya, pembahasan anggaran belanja negara tahun 2021 yang sedang berlangsung sekarang menjadi pertaruhan pemerintah (jika rancangan belanja negara tahun 2021 yang diajukan pemerintah ditolak oleh wakil rakyat, itu satu keniscayaan pahit: pemerintah terguling dan diganti oleh oposisi atau membubarkan pemerintahan yang disusul pemilihan umum nasional). Meskipun Yang Dipertuan Agung sudah menitahkan agar para politisi mengutamakan rakyat, namun pergaduhan di gedung parlemen Malaysia yang setiap hari disiarkan secara langsung melalui televisi pemerintah, tiada habis-habisnya. Sejujurnya, kalau melihat situasi, jika wakil rakyat tak benar-benar tunduk kepada titah tertinggi Yang Dipertuan Agung, nampak yang kebanyakan dari mereka menolak perancangan belanja negara tahun 2021 yang ditawarkan pemerintah. Banyak keganjilan yang dicetuskan opsisi dan semua itu masuk akal. Misalnya, jumlah belanja ditetapkan namun tidak dinyatakan uangnya di mana, duitnya dari mana. Bukankan ekonomi sedanga jatuh. Dan begitulan seterusnya warna drama politik di sidang parlemen tersebut.
Lalu pelajaran untuk Indonesia? Saya tak perlu jelaskan secara terperinci karena orang Indonesia sudah pintar semua. “Pintar” dalam segala hal. Saya hanya ingin menyatakan suasana Malaysia dan Indonesia akhir-akhir ini ada kesamaan. Pandemi dan politik dalam pemilihan kepala daerah bersemuka di nampan yang sama. Seperti yang saya singgung sebelumnya, tak dapat dimungkiri yang pemilihan umum di Negeri Sabah menjadi salah satu pemicu utama gelombang kedua covid-19 di Malaysia. Padahal, mereka sudah menerapkan prosedur, protokol, mekanisme yang kehebatan serta keampuhannya diakui dunia. Malaysia memang sangat canggih dalam menghadapi covid-19. Jangankan saya, dunia juga mengakui itu. Namun rupanya kehebatan yang nyata itu tidak dapat mengelakkan Malaysia dari bencana yang lebih ganas. Gelombang kedua covid-19. Kenapa? Karena pencampuradukan tensi pertarungan politik dengan kemanusiaan yang dilanda pandemi. Semua faham, jika pembubaran pemerintah dilakukan di suatu negeri, maka undang-undang mewajibkan mereka untuk membuat pemilihan umum paling lambat dua bulan setelah pembubaran (mudah-mudahan saya tidak salah soal tenggat waktu ini). ini pula yang menjadi alasan pemerintah pusat untuk mendesak kemauan politik mereka di Negeri Sabah.
Hal yang sama di Indonesia. Jadual pilkada yang sudah ditetapkan undang-undang, mengharuskan mereka untuk menjalankan ketentuan hukum tersebut. Pertanyaannya, siapa yang membuat hukum tersebut? Bukankan manusia? Lalu salahkah situasi mengganas pandemi semakin mengggila jika hukum manusia ditinggikan dari hukum Tuhan?
Malaysia yang sudah maju, canggih menangani covid-19, kesejahteraan rakyat jauh lebih terjamin dan merata dibandingkan Indonesia, tingkat ketaatan rakyat kepada pemimpin jauh lebih kuat dibandingkan Indonesia sangat kewalahan menghadapi gelombang kedua covid-19. Saya tak dapat membayangkan jika hal ini berlaku di Indonesia karena gelombang pertama saja begitu mengacaukan Indonesia. Imajinasi saya mentok berbenturan dengan kemungkinan yang terjadi di Indonesia jika berlaku gelombang kedua covid-19 sebab mereka tak punya panutan utama yang diutamakan seperti Yang Dipertuan Agung yang selalu jadi kiblat rakyat Malaysia setiap di puncak krisis.
Harapan terbersit dalam narasi di mana setiap negara, setiap bangsa mempunyai karifan sendiri. Tentu saja, saya berharap Indonesia masih mengarifi kearifan mereka sendiri.
Saya tak bermaksud mengusulkan penundaan Pilkada. Hanya mengingatkan yang setiap kemungkinan selalu datang dari hal-hal yang tidak mungkin. Namun perlu ditimbang juga yang, hukum buatan manusia ialah jadual pilkada dan pemilihan umum di Negeri Sabah. Sedangkan hukum Tuhan ialah pandemi covid-19.
Bukankah tugas utama manusia, kewajiban utama pemerintah ialah menyelamatkan manusia? Dan kini keselamatan manusia tersebut sedang digodam kekuasaan tertinggi yakni Tuhan. Lantas kenapa masih keras kepala.
Malaysia, 19 November 2020