MATARAMRADIO.COM – Ayam hutan menjadi salah satu hewan eksotis yang keberadaanya perlu disikapi secara bijak. Apalagi, ayam hutan hijau (AHH) — Gallus Varius — yang banyak menarik perhatian para pencinta  hewan eksotis, perlu disikapi lebih bijak lagi. Pasalnya, di habitatnya keberadaan AHH semakin berkurang.

Eksotisme Kerate Rinjani

Siapa yang tak mengenal ayam. Ya,  jenis satwa satu ini begitu akrab di telinga kita.  Tentu semua orang mengenal jenis unggas satu ini dan sebagian dari kita mungkin pernah memeliharanya. Namun jika pertanyaan dilanjutkan, siapa yang mengenal ayam hutan? Apalagi kalau pertanyaan ditambah…siapa yang pernah memelihara ayam hutan? Jawabannya bisa jadi sebagian menjawab pernah  lihat ayamnya.   Bahkan mungkin, ada yang menjawab melihat ayamnya saja belum pernah apalagi memeliharanya.

Yap .. jawaban itu tak sepenuhnya salah. Kalau pertanyaan itu dilontarkan kepada mereka yang lahir tahun  1960 -an tentu rata-rata jawaban mereka pernah melihat ayam hutan. Kalau pertanyaan dilontarkan kepada generasi milenial bisa jadi jawaban di atas akan mendominasi mereka yang jadi responden.

BACA JUGA:  IPM NTB Kelima Tercepat di Indonesia

Tidak salah. Mereka yang lahir di tahun 2000-an jarang mengenal ayam hutan. Selain populasinya semakin sedikit  akibat habitat hidupnya berkurang juga disebabkan ayam ini cukup sulit dikembangbiakkan.

Namun, seperti janji Allah SWT sesungguhnya dalam kesulitan ada kemudahan. Begitu pun dengan upaya pengembangbiakan ayam hutan khususnya ayam hutan hijau.

Secara garis besar, masyarakat Nusa Tenggara Barat khususnya masyarakat Lombok mengenal dua jenis ayam hutan yakni ayam hutan hijau  (kerate) dan ayam hutan merah (sintu). Dua jenis ayam hutan ini memiliki tingkat adaptasi lingkungan yang berbeda.

Menurut sebagian masyarakat, ayam hutan merah (sintu) lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan barunya sehingga lebih mudah jinak. Sedangkan ayam hutan hijau (kerate) cukup sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya. Akibatnya, ayam sulit jinak.

Nah, di NTB ada sekelompok masyarakat yang peduli dengan keberadaan si kerate ini namanya  Komunitas Pelestari Kerata  dan ternak Bekisar (KEBER) NTB yang dikomandani Deden Pasartiawan ST. Komunitas ini dideklarasikan pada 17 Agustus 2017.

BACA JUGA:  Jenazah Terpapar Covid-19 Diambil Keluarga, Polisi Pilih Persuasif
Walikota Mataram bersama Pengurus dan Komunitas KEBER I Foto : Ayu Puspita Jurnalis Utami

Menurut Kang Deden, biasa dipanggil memelihara ayam hutan hijau banyak tantangannya. Selain perawatan yang lebih teliti tidak seperti memelihara ayam kampung pada umumnya, ayam hutan juga rentan stres. Kalau sudah stres dan tidak bisa diatasi, fatal. Ayam bisa mati. “Merawat kerate ibaratnya kita harus bisa sabar dan ikhlas,” katanya.

Ikhlas gimana maksudnya kang? Ya ikhlas saat merawat ayam hutan niatkanlah bahwa kita diberi kepercayaan oleh sang pemberi hidup untuk merawat ayam hutan dan menjalaninya dengan kesungguhan hati demi kelestarian ciptaannya.

Dengan berpedoman pada falsafah hidup demikian, urai kang Deden dirinya yang lebih dari lima tahun memelihara kerate tak putus asa bila ada kerate yang mati. Entah dengan sebab yang diketahui atau tidak.

Looooo banyak ya yang mati? Sebagai makhluk bernyawa tentu tak lepas dari kematian. Sebut saja kerate bernama Ronggolawe, Kembang Desa, Medical dan lainnya. Harus kembali menghadap sang pencipta padahal kerate-kerate tersebut sudah menorehkan namanya di lomba tingkat nasional. Wiiiih keren.

BACA JUGA:  Warga Lombok Diminta Hentikan Polemik Bandara Internasional Zainudin Abdul Majid

Kata kang Deden, kualitas kerate Lombok termasuk yang terbaik di Indonesia baik dari segi mental maupun tampilan fisiknya. Ini dapat dilihat dari rekor para jawara di event nasional mulai dari Lombok, Magelang, Bondowoso dan baru baru ini kejuaraan nasional di Madura pun di dominasi kerate-kerate Lombok walau pindah KTP .

Tak heran, banyak penghobi kerate di Nuswantoro yang berharap kapan dapat kiriman kerate Lombok. “Kalau soal harga jangan ditanya,”jelasnya.

Ketua KEBER Deden Pasartiawan bersama  Kadis pertanian kota Mataram, H Mutawali dan DR Makmun dari Kementerian Peternakan I Foto: Ayu Puspita Jurnalis Utami

Namun begitu, kang Deden wanti-wanti ada kerate dengan kualitas bagus alangkah baiknya dikembangbiakan dulu. Nanti keturunannya saja yang dijual ke luar Lombok. “Itu salah satu cara agar trah kerate Rinjani tetap terpelihara,” jelasnya.

Upaya untuk menjaga trah kerate Rinjani, sudah dilakukan sejak beberapa tahun terakhir dengan menggandeng dinas pertanian kota Mataram cq bidang peternakan, BKSDA, Kementerian Peternakan dan beberapa pihak yang peduli.

” Alhamdulillah,” ucap Kang Deden pihak pihak terkait sangat mendukung dan mensupport agar para penghobi dan pencinta kerate di NTB  terus berupaya mengembangbiakkan ayam eksotis tersebut.”Lomba dan latber menjadi ajang silaturahim para penghobi dan pencinta kerate,”jelas pria kelahiran tahun 1970-an ini.

Reporter : Ayu Puspita Jurnalis Utami