Tulisan ini tidak hendak untuk mengambil bagian dalam pemenangan calon gubernur NTB 2024 yang sudah mulai bertarung, bahkan sejak sebelum pendaftaran ke KPU dibuka.
Salah satu tujuan sederhana tulisan ini adalah untuk menunjukkan bagaiman para tim sukses dan calon itu sendiri secara kreatif menemukan modal dasar pada diri mereka sebagai senjata untuk memenangkan pertarungan.
Misalnya, jika pasangan calon terjebak ke dalam narasi politik sebagai adu gagasan, maka sejatinya ini ialah klise politik.
Dan sudah pasti, karena kontestasi memerlukan ide, gagasan, dan rancangan tindakan, maka sebetulnya perangkat ini tidak perlu dijadikan sebagai medan pertarungan.
Sebab sekali lagi, publik sudah paham bahwa hal tersebut memang seharusnya ada.
Bahkan kontestasi politik sekelas Amerika pun, pada akhirnya adu gagasan calon hanya lipstik, sebab pada akhirnya yang akan menjadi perhatian orang ialah apa yang saya sebut “Kejanggalan”.
Para petarung harus kreatif menemukan modal di luar kelaziman.
Dalam semesta dunia sekarang ini, ketidaklaziman merupakan barang paling berharga, paling bernilai.
Keindahan tidak lagi berdasarkan kesempurnaan. Kemenangan tidak lagi berasaskan akurasi angka-angka.
Namun sayang, tidak semua orang memiliki daya kreatif untuk mendapatkan dan mengolah sekaligus memproduski ketaklaziman pada diri mereka sendiri.
Lantas dalam perspektif “kejanggalan” itu, apa sebenarnya kekuatan Rohmi?
Sebagai orang yang menggeluti dunia simbol, dunia tanda, dunia gejala, maka jawaban saya ialah wanita.
Ya, Rohmi yang wanita itu ialah kekuatan sebenar Rohmi. Mari kita lihat penjelasan sederhananya.
Kalau mau mempercayainya, dalam konteks Sasak, bahkan dalam konteks NTB, bawah sadar masyarakat dibentuk oleh doxa, seperti yang dikatakan oleh Pierre Bourdieu (seorang sosiolog Perancis) sebagai satu kepercayaan dan norma yang diterima secara alamiah oleh masyarakat, baik secara individu maupun kelompok.
Karena sudah dierima sebagai satu realitas yang objektif, maka, ia tidak dipermasalahkan berlaku di tengah masyarakat.
Doxa orang Sasak khsusunya ialah wanita sebagai payung di muism panas dan hujan.
Wanita sebagai air di musim kemarau panjang.
Wanita sebagai batu di saat keteguhan meleleh. Wanita sebagai kehidupan di saat tak ada harapan.
Secara ekstrim saya ingin katakan bahwa orang Sasak dapat bertahan hidup dalam penderitaan dan kesengsaraan ribuan tahun sekalipun, salah satu sebab utamanya ialah wanita.
Di balik lelaki sebagai pemimpin, ada aktor intelektual yang tak tertandingi tidak juga terganti di belakang mereka, yakni wanita.
Jika anda tidak percaya, silakan rujuk sejarah, mitologi, cerita rakyat, produk kebudayaan, dan juga sistem sosial masyarakat Sasak.
Anda akan jumpai secara terang apa yang dimaksudkan doxa ini.
Hal yang tidak dapat dilepaskan dari doxa ialah habitus.
Masih dari Pierre Bourdieu mengatakan bahwa habitus adalah rajutan-jalinan-jahitan disposisi yang dibentuk oleh pengalaman hidup.
Terutama sekali pengalaman yang berhubungan erat dengan kelas sosial, keluarga, pendidikan, budaya, adat, agama.
Rajutan diposisi ini kemudian melatih dan membentuk cara berpikir, cara bertindak, cara merasai, cara pandang.
Berdasarkan doxa tersebut, maka habitus terdalam orang Sasak ialah pengalaman hidup mereka tentang wanita.
Hampir dalam setiap selokan kehidupan sosial mereka, wanita menjadi dinding yang kuat. Habitus orang Sasak, khususnya, tidak akan pernah terlepas dari wanita.
Karena wanita orang sasak dapat kuat sekuat-kuatnya dan sekaligus tumbang setumbang-tumbangnya dalam waktu bersamaan.
Berdasarkan sobekan tentang doxa dan habitus di atas, maka sekali lagi saya ingin tegaskan bahwa kekuatan sebenar Rohmi ialah dirinya sebagai wanita.
Dia wanita. Karena ini menjadi kekuatan sebenar, maka seharusnya dijadikan sebagai bandul utama pemenangan.
Rohmi harus benar-benar menunjukkan diri sebagai wanita. Hanya seorang wanita yang bertanding sebagai calon gubernur.
Dalam perspektif industri budaya, realitas Rohmi sebagai wanita harus dikomodifikasi sedemikian rupa.
Wacana dirinya sebagai wanita harus dibesar-besarkan kemudian didistribusikan secara luas. Tidak boleh setengah-setengah.
Karena jika ada keraguan atau sekadar nampak ragu-ragu saja dalam memobilisasi realitas diri sebagai wanita ini, maka ini peluang bagi lawan untuk melemahkan.
Realitas Rohmi sebagai satu-satunya calon wanita merupakan produk dagangan politik yang paling mahal.
Karena itu ia harus diproduksi tanpa ada rasa takut dan canggung.
Sebab, medan konsumen yang paling besar adalah mereka yang secara habitus tidak akan mempersoalkan Rohmi sebagai gubernur.
Masih dari perspektif industri budaya yang dikemukaan Stuart Hall (intelektual kelahiran Jamaika), di mana antara kecengengan dan kekuatan sama-sama mempunyai pasar yang besar.
Malahan, kadang-kadang tontonan yang cengeng dapat memberikan keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan tontonan yang bertemakan kekuatan.
Maksudnya, seandainya Rohmi mau dan mampu mengkomodifikasi dirinya sebagai satu-satunya calon wanita dalam pendekatan “kecengengan”, hal ini pun tetap menjadi kekuatan sebenar Rohmi. Terlebih budaya pemilih Indonesia yang kebanyakan menentukan sikap berdasarkan hujan air mata.
Namun, tentu saja, Rohmi tidak perlu melakukan ini sebab Rohmi dapat melakukan yang jauh lebih bernilai dan bermartabat.
Tentu saja jika Rohmi dan tim suksesnya mau dan mampu.
Adalah wajar jika ada sedikit pergunjingan. Wajar juga jika ada pandangan terkait budaya NTB, khususnya Lombok belum terbentuk secara kuat untuk menerima wanita sebagai pemimpin tertinggi.
Namun sekali lagi, selentingan semacam ini sebenarnya akan luntur dengan sendirinya jika Rohmi berhasil mengkonvernsi bahwa doxa dan habitus orang Sasak, khususnya, ialah wanita.
Untuk meyakinkan Rohmi dan tim suksesnya, boleh sambil kampanye menelusuri dunia pewayangan Sasak. Di sana akan dijumpai bagaimana hebatnya Dewi Rengganis.
Semoga Boleh juga sambil minum kopi di sela kampanye mengeksplorasi Dende Aminah dan Dende Patimah.
Boleh juga sambil rehat buka Guru Dane (buku saya), di sana ada tokoh bernama Sumar.
Maknanya, jika habitus dan doxa ini dapat dikonversi menjadi mesin politik, maka Rohmi akan mampu meminimalisir orang Sasak yang sebelumnya tidak berkeinginan memilih.
Jika Rohmi berhasil masuk dan menyentuh doxa dan habitus masyarakat pemilih, maka yang sebelumnya bertolak belakang menjadi pemilih Rohmi.
Tentu saja hal ini juga dapat dipraktikkan di tengah kalangan jamaah Rohmi sendiri, khususnya jamaah NW yang doxa dan habitus mereka sudah jelas.
Secara konseptual, saya sudah singgung di atas. Lantas bagaimana secara praksis konsep tersebut boleh dijalankan atau dimaksimalkan?
Pertama sekali Rohmi dan timses harus kembali kepada asal yakni cara berpikir.
Rohmi harus berpikir bahwa segala hal yang dikemukakan dan dilakukannya mestilah berdasarkan diri dia sebagai wanita.
Lihat dan ajak bicara semua orang dalam diri dia sebagai wanita. Bukan sebagai calon gubernur. Segala program yang dijanjikan harus dikomunikasikan dalam diri dia sebagai wanita. Bukan sebagai calon gubernur.
Rohmi tidak perlu menyuarakan secara lantang bahwa wanita harus menjadi pemimpin. Ini lumrah. Sudah klise.
Namun Rohmi harus menanam satu konsep dalam dirinya bahwa yang bicara ini ialah wanita. Bukan calon gubernur. “Saya Wanita” seharusnya menjadi jargon unggulan.
Begitu juga semua tim sukses, termasuk pasangan Rohmi, yakni Firin.
Mesti berada dalam satu gumpalan yang sama kuat untuk berkomunikasi dalam konteks Rohmi sebagai wanita.
Hanya saja, tidak boleh salah langkah. Jika komunikasi kampanye menonjolkan sisi kelemahan wanita, maka hal tersebut akan menjadi bumerang.
Wanita dalam konteks ini ialah merujuk kepada habitus dan doxa tadi.
Bahwa wanita yang diidekan oleh orang Sasak ialah wanita yang menjadi samudera bagi semua perasaan orang Sasak.
Dengan begitu, teriakan “Saya Wanita” yang dilaungkan Rohmi harus berdasarkan kepahaman doxa dan habitus yang benar terlebih dahulu.
Barulah tujuannya untuk menyentuh bawah sadar orang Sasak sebagai pemilih itu akan tersambung oleh aliran yang sama.
Lebih jelasnya, konsep utama komunikasi kampanye Rohmi dan tim suksesnya ialah wanita.
Segala hal yang dilakukan sepanjang proses kampanye mestilah merujuk kepada cara berpikir bahwa yang sedang dijual kepada pemilih adalah wanita.
Maka “Saya Wanita” harus menjadi kebiasaan yang terus berulang-ulang setiap waktu.
Rohmi tidak boleh mengikuti cara komunikasi lawannya.
Rohmi tidak boleh terjebak ke dalam eskalasi pertarungan yang sudah lazim, yang pasti akan digerakkan oleh lawan, seperti yang saya singgung di atas.
Mempertarungkan ide, gagasan, tindakan atau program dengan cara yang sudah biasa. Rohmi harus melihat idenya, gagasanya, dan programnya sendiri sebagai wanita.
Maka dia akan ada keyakinan berbicara, bertindak, berkomunikasi sebagai diri dia yang wanita.
Dengan berpikir bahwa Rohmi sedang bertarung sebagai calon gubernur, maka akan melupakan atau terabaikanlah kekuatan sebenar Rohmi sebagai wanita.
Namun jika Rohmi berpikir bahwa yang sedang bertarung ialah wanita, maka tujuannya menjadi gubernur, akan lebih mudah tercapai.
Karena sekali lagi, kekuatan sebenar Rohmi ialaha dirinya wanita. Itulah modal yang tidak dapat dikalahkan oleh pasangan calon yang lain.
Hal lain terkait mengaktualisasi konsep tersebut, saya pikir tim sukses Rohmi jauh lebih hebat dibandingkan saya.
Tinggal mau tidak bertarung secara kreatif di luar zona kelaziman. Itu saja.
Malaysia, 29 Agustus 2024.