MATARAMRADIO.COM, Mataram – Perkawinan anak yang kerap terjadi di Nusa Tenggara Barat menjadi persoalan tersendiri.
Apalagi, kasus perkawinan anak seakan belum menemukan titik terang meski pemerintah provinsi NTB, pemerintah Kabupaten bahkan pemerintah desa sudah memiliki instrumen hukum.
Hal ini terjadi karena tidak adanya sanksi hukum yang tegas atas terjadinya perkawinan anak.
“Belum diterapkannya sanksi hukum yang tegas, membuat kami kesulitan menindak pelaku perkawinan anak,” jelas Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB, Nunung Triningsih dalam dialog Dilematik Disepensasi kawin dalam perkawinan anak di NTB, Rabu (20/3/24).
Menurut Nunung, untuk mencegah terjadinya perkawinan anak maka diperlukan komitmen bersama seluruh pemegang kebijakan termasuk masyarakat.
“Jika kita bisa melakukannya secara bersama-sama maka kasus perkawinan anak bisa ditekan,” jelasnya.
Upaya menekan terjadinya perkawinan anak juga dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Menurut Ketua Kamar Agama Mahkamah Agung, Prof Amran Suardi dengan terbitnya UU No 16/2019 dan keluarnya Perma No 5/2019 maka hakim akan memastikan kepentingan terbaik bagi anak.
“Alasan kehamilan dalam pengajuan dispensasi tidak sejalan dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak,” katanya.
Nur Rofiah dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia menegaskan meski terjadi perkawinan anak namun hak-hak anak harus tetap terpenuhi.
Sebab, kata Nur Rofiah perkawinan anak akan membahayakan anak perempuan karena mereka akan hamil dan melahirkan.
Direktur eksekutif Plan Indonesia, Dini Widiastuti menyatakan untuk mencegah terjadinya perkawinan anak perlu adanya penguatan peran masyarakat termasuk tokoh agama dan tokoh adat
“Perlu adanya pengawasan dan dukungan dari organisasi kemasyarakatan, komunitas anak serta lainnya,” katanya.(MRC03)