MATARAMRADIO.COM, Mataram – Wakil Ketua KPID NTB Andayani, S.E., M.M. mengakui bahwa tantangan KPID ke depan tidaklah ringan dan mudah, tetapi semakin berat dan sulit. Sehingga diperlukan penguatan dan dukungan Pemerintah Daerah yang maksimal dalam penguatan kelembagaan dan anggaran, termasuk perlunya kaderisasi agar KPID periode mendatang dapat diisi figur komisioner yang diharapkan lebih berkompeten dan mengelola KPID lebih baik.
Hal tersebut diungkapkan dalam paparannya sebagai narasumber kedua pada diskusi terbatas Ngopi dan Ngobrol Hangat KPID dan Masa Depan Penyiaran NTB yang digelar Komunitas Tenda Siar NTB bekerjasama dengan Kanal TV Streaming JamaqJamaqTV dan Radio Online Mataram Radio City di Angkringan Leha-Leha Sayang-Sayang Mataram, Sabtu (10/7).
Menurut Andayani, di suatu lembaga negara memang perlu pembaharuan, perlu ada kaderisasi. Karena dengan orang-orang baru, pemikiran-pemikiran baru akan memberi mereka kesempatan untuk berinovasi, makin berkembang dan lain sebagainya. “Mudah-mudahan ke depannya KPID diisi orang-orang yang lebih berkompeten dan membawa KPID lebih baik lagi dan lebih berkualitas,”harapnya.
Namun demikian Andayani menyatakan bahwa Komisioner KPID NTB pada periode sekarang bukan berarti tidak berkompeten. Karena bila diukur dari capaian kinerja dan torehan prestasi, tentu banyak faktor yang harus dilihat.
Pihaknya mengakui, kendala yang dihadapi internal dan eksternal memang tidak mudah. Namun secara kelembagaan, KPID NTB periode awal diakuinya berbeda dibandingkan kondisi saat ini. KPID periode awal, katanya, mendapat dukungan dan fasilitasi lebih dari Pemerintah Daerah, dimana KPID mempunyai sekretariat sendiri layaknya UPT, penganggaran yang besar dan dikelola secara mandiri dan bukan bagian dari OPD tertentu.
Berbeda dengan KPID periode sekarang, dimana sekretariatnya merupakan pembantuan dari Dinas Kominfotik NTB. Hal itu, menurutnya, sebagai implikasi dari kebijakan Pemerintah Pusat pasca terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2016 tentang Pemerintah Daerah dimana urusan penyiaran bukan lagi urusan wajib atau pilihan bagi Pemerintah Daerah.”Kami dilantik pada April 2018. Ketika berlakunya PP 18 tentang Pemerintahan Daerah. Otomatis urusan penyiaran tidak lagi menjadi urusan wajib atau urusan pilihan bagi Pemerintah Daerah. Jadi tergantung apakah Pemerintah Daerah di Provinsi-Provinsi yang ada di daerah mau menganggarkan atau tidak untuk KPID. Tapi saya rasa karena di satu sisi UU Penyiaran masih berlaku dan di NTB kita bersyukur anggaran kita masuk anggaran hibah yang besarnya Rp 1,5 Miliar ketika itu,”sebutnya.
Diungkapkannya, dengan kondisi kelembagaan dan pengganggaran yang ada, Andayani dan kawan-kawan tidak lantas patah arang. KPID NTB berusaha melaksanakan beberapa program kegiatan yang punya nilai strategis yang berhubungan dengan peningkatan SDM penyiaran, literasi media dan lain sebagainya.”Tetapi sebenarnya, lebih banyak kami bekerjasama dengan Stakeholder lainnya termasuk dengan Biro Humas NTB yang juga berkontribusi untuk memberikan anggaran kerjasama melalui KPID dengan lembaga penyiaran seluruh NTB untuk melaksanakan kegiatan talkshow,”terangnya.
Di satu sisi, KPID NTB, lanjut Andayani juga di hadapkan pada pilihan dilematis seiring dengan era konvergensi media dan banyaknya bermunculan media baru yang bersiaran berbasis internet sebagai konten kreator.”Kondisi lembaga penyiaran di awal-awal saya di KPID dalam posisi dilematis, karena memang sudah muncul banyak media baru seperti youtuber. Masyarakat lebih cenderung mencari informasi melalui media sosial. Walaupun minat masyarakat untuk menonton TV masih tinggi diatas 75%. Ini artinya, sebenarnya mencari informasi dari lembaga penyiaran radio dan TV masih besar. Di satu sisi, kendala dari kawan-kawan lembaga penyiaran kesulitan mereka melakukan konvergensi. Karena mereka hanya mengandalkan siaran dari studio,”paparnya.
Namun demikian, lanjut Andayani, KPID NTB tidak lepas tanggungjawab dan terus-menerus memberikan perhatian kepada lembaga penyiaran di NTB agar siap memasuki era persaingan konten yang semakin ketat dan pesat.”Kami juga dari KPID punya tanggungjawab bagaimana lembaga penyiaran ini bisa punya channel di Facebook, kemudian instagram, agar mereka juga punya media online dan sebagainya. Jadi kesannya walaupun ada program kerjasama dengan pemerintah daerah dari satu media mereka punya, mereka dapat lima. Itu yang kami tawarkan dari Pemerintah Provinsi agar mereka bisa terus menjalin kerjasama dengan Pemerintah Provinsi,”tandasnya.
Di sisi lain, Andayani juga menyampaikan persoalan yang sesungguhnya tak jauh beda dengan KPID periode awal berkaitan dengan pengawasan dan pemantauan siaran radio dan TV di seluruh NTB yang belum maksimal. Mengingat pemantauan sejauh ini masih terpusat di Pulau Lombok khususnya Kota Mataram dan kerapkali menimbulkan kecemburuan lembaga penyiaran di Pulau Lombok.“Pengawas siaran kita yang berada di KPID saat ini, yang ada di kantor 5 orang, kemudian satu orang ada di Lombok Tengah.
Nah kendalanya memang dari era pertama, tidak ada pemantau yang ditempatkan di Pulau Sumbawa. Jadi lembaga penyiaran di Lombok merasa tidak adil nih. Kok kami-kami saja sih yang diawasi, Pulau Sumbawa nggak, nah ini mungkin kendala bagi komisioner selanjutnya,”ulas Andayani.
Perizinan Online dan Digitalisasi Penyiaran
Ketika ditanya mengapa tetap merekomendasikan pendirian radio baru dalam situasi ketidakpastian dunia usaha di bidang penyiaran, Wakil Ketua KPID NTB Andayani SE MM juga menyebutkan bahwa hal tersebut sebagai bagian dari kebijakan dibukanya peluang usaha pendirian radio baru di NTB pada awal tahun 2018. “Ada 10 atau 11 lembaga penyiaran radio baru yang mengurus perizinan termasuk ada dua lembaga penyiaran berlangganan yaitu AKTI dan MATARAM VISION yang mempunyai perizinan hingga 2021,”bebernya.
Dijelaskan, ketika peluang usaha dibuka proses perizinan penyiaran telah berubah dari sistem manual ke sistem digital online. Pemerintah menggunakan sebuah aplikasi sistem perizinan penyiaran yang disebut SIMP3.”Ini sistem perizinan penyiaran yang berbasis IT mulai dari proses pendaftaran, input data terkait data perusahaan, aspek usaha, aspek teknis, aspek bisnis manajemen dan lain sebagainya. Nah ketika itu, banyak lembaga penyiaran yang berproses, maka kami menjalankan apa yang menjadi tupoksi sebagai KPID. Melakukan verifikasi dan evaluasi. Selanjutnya memang diproses oleh sistem,”ucapnya.
Toh sehebat apapun sistem perizinan yang dijalankan tetap ada kurang lebihnya termasuk sistem perizinan penyiaran SIMP3. Padahal perizinan berbasis online ini diharapkan dapat mempermudah proses perizinan sebagaimana arahan Presiden Jokowi yang menghendaki segala proses perizinan dapat dijalankan dengan prinsip lebih mudah, ringkas, sederhana dan bebas biaya. “Nah itu juga termasuk kendala bagi lembaga penyiaran, saat ini setelah berlakunya SIMP3, sejak 2018, teknologinya menggunakan OSS Online Single Submission, sesuai arahan Presiden yang diharapkan proses perizinan lebih mudah, ringkas, sederhana dan bebas biaya. Prosesnya hanya satu hari, tidak berhari-hari apalagi berbulan-bulan. Tetapi sistem ini belum efektif, belum berjalan 100%. Kendalanya karena keterbatasan SDM di Kominfo. Resikonya teman radio banyak juga yang macet proses perizinannya, sehinga jika mereka tidak lanjutkan bisa jadi mereka disuspend oleh sistem,”keluhnya.
Menyinggung kesiapan NTB memasuki era digitalisasi penyiaran, KPID NTB juga mengakui ada beberapa tantangan yang dihadapi pengelola TV lokal menyikapi segala kemungkinan terburuk. Pasalnya, perangkat siaran yang dimiliki saat ini belum tentu semuanya bisa dipakai untuk siaran digital.” Saya rasa memang di NTB, tahun 2022 harus ASO alias Analog Switch Off. Kondisinya memang, di satu sisi, teman-teman lembaga penyiaran TV lokal yang merasa dikorbankan. Karena punya investasi yang besar untuk pemancar misalnya, itu tidak bisa lagi dimanfaatkan,”jelas Andayani.
Dalam rangka pelaksanaan digitalisasi penyiaran di NTB, sudah ada tiga pengelola MUX yang telah ditetapkan Pemerintah yakni TVRI, SCTV dan METRO TV. “TVRI sendiri sudah menyampaikan ada standar harga yang akan diterapkan bagi penyewa Channel, misalnya di Mataram antara Rp 15 juta sampai Lombok Timur Rp 25 juta per bulan. Ini merupakan standar harga yang akan ditawarkan TVRI dan kalaupun nanti ada lembaga penyiaran yang tidak membeli MUX tetapi mungkin melalui satelit dengan standar harga tertentu yang harus mereka hitung lagi costnya apakah memang menguntungkan atau tidak kalau di NTB,”sebutnya.
Andayani menegaskan bahwa media penyiaran di NTB masih tetap akan sama, apakah mampu bersaing dengan media baru atau beradaptasi ke digitalisasi.”Artinya, kanal-kanal TV kita akan dipenuhi oleh Channel-Channel program siaran yang kaya sekali dari berbagai segment mulai humor, horror dan lain sebagainya. Tanggungjawab ke depan apakah komisioner mampu menerapkan sistem pengawasan yang efektif agar keberadaan channel yang banyak itu mampu melindungi masyarakat kita dari konten negative atau konten yang tidak bermanfaat,”pungkas mantan Wakil Ketua Komisi Informasi NTB ini. (EditorMRC)