MATARAMRADIO.COM – Tragedi Thalidomide pada 1960-an menjadi pelajaran pahit bagi dunia kesehatan. Obat yang awalnya diresepkan untuk mengatasi mual pada ibu hamil justru menyebabkan ribuan bayi lahir dengan cacat bawaan serius.
Kasus ini membuktikan bahwa pemantauan keamanan obat harus terus dilakukan bahkan setelah dipasarkan.
Namun, di Indonesia, tingkat pelaporan efek samping obat (ESO) dan Kejadian Tak Diinginkan (KTD) masih sangat rendah. Di Nusa Tenggara Barat (NTB) misalnya, laporan yang masuk kurang dari 5% dari total fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.

Menyikapi hal ini, Balai Besar POM (BBPOM) di Mataram menggelar Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) Farmakovigilans dengan tema “Penguatan Peran Tenaga Kesehatan dalam Pelaporan Farmakovigilans untuk Perlindungan Pasien”. Acara yang digelar secara hybrid ini diikuti oleh 45 peserta dari Dinas Kesehatan, rumah sakit, puskesmas, dan klinik pada Rabu (12/3).
BBPOM Mataram: Jangan Sampai Tragedi Terulang!
Dalam sambutannya, Kepala BBPOM Mataram, Yosef Dwi Irwan, menegaskan bahwa pelaporan farmakovigilans sangat penting untuk mencegah tragedi kesehatan di masa depan.
“Thalidomide adalah contoh nyata betapa berbahayanya jika pengawasan obat tidak dilakukan dengan baik. Kita tidak boleh menunggu ada korban lagi untuk bertindak,” tegas Yosef.
Ia juga mengungkapkan bahwa pelaporan KTD dan ESO saat ini masih bersifat sukarela bagi tenaga kesehatan, berbeda dengan industri farmasi yang sudah wajib melaporkannya. Padahal, tenaga kesehatan adalah ujung tombak dalam mendeteksi efek samping obat sejak dini.
“Tenaga kesehatan punya peran krusial dalam memastikan keamanan pasien. Jika laporan tidak masuk, kita kehilangan data penting untuk mencegah kejadian serupa di masa depan,” tambahnya.
Optimalisasi e-MESO untuk Percepatan Pelaporan
Kegiatan ini menghadirkan dua narasumber, yakni Megrina Dian Agustin dari Direktorat Pengawasan Keamanan, Mutu, dan Ekspor Impor Obat Badan POM RI serta Rachmatika Retno Saecaria dari RS Jiwa Mutiara Sukma.
Keduanya memberikan pelatihan tentang mekanisme pelaporan efek samping obat melalui e-MESO (Electronic Monitoring Efek Samping Obat), sebuah sistem digital yang memungkinkan tenaga kesehatan melaporkan ESO secara cepat dan terstruktur.
“Semakin banyak laporan yang masuk, semakin baik kita bisa mendeteksi ancaman potensial dari suatu obat. Ini langkah penting untuk memastikan keamanan pasien,” jelas Megrina.
Pelaporan ESO: Tanggung Jawab Bersama untuk Keselamatan Pasien
Di akhir kegiatan, Yosef kembali mengingatkan bahwa farmakovigilans bukan hanya tanggung jawab BPOM atau industri farmasi, tetapi juga seluruh tenaga kesehatan.
“Lima sampai sepuluh menit yang digunakan untuk melaporkan ESO bisa menyelamatkan ribuan nyawa. Ini bukan sekadar kewajiban, tetapi bagian dari tanggung jawab kita sebagai tenaga kesehatan,” tutupnya.
Sebagai bentuk evaluasi, seluruh peserta mengikuti pre-test dan post-test, dengan hasil menunjukkan peningkatan signifikan dalam pemahaman mereka terkait farmakovigilans.
Dengan meningkatnya peran tenaga kesehatan dalam pelaporan ESO, diharapkan keamanan obat di Indonesia semakin terjaga, sehingga tragedi seperti Thalidomide tidak pernah terulang lagi.(editorMRC)











