Selama ini boleh jadi perspektif orang mengenai inflasi hanya disebabkan oleh mekanisme anteraksi antara penawaran dan permintaan.
Ketika terjadi kelebihan permintaan dalam interkasi penawaran dan permintaan, dapat memicu inflasi permintaan (“demand pull inflation”).Disisi lain, inflasi penawaran atau disebut juga “cost-push inflation” atau “supply shock inflation” dipicu oleh kenaikan biaya produksi barang atau jasa. Persoalannya, bukan hanya mekanisme interkasi antara penawaran dan permintaan yang menjadi penyebab inflasi, tetapi juga ekspektasi inflasi.
Dalam ilmu ekonomi, ekspektasi inflasi dibahas dalam mazhab baru ilmu ekonomi yang dikenal dengan mazhab “ekonomi ekspektasi rasional”. Dalam pada itu, ekonomi ekspektasi rasional itu dikembangkan pada tahun 1970-an oleh para ahli ekonomi Amerika Serikat seperi John F.Muth, Robert Lucas, Thomas Sargent, Neil Wallace, dan lain-lain. Diantara mereka, dua orang adalah peraih nobel ekonomi yakni Robert Lucas memperoleh nobel ekonomi pada tahun 1995 dan Thomas Sargent meraih nobel ekonomi pada tahun 2011. Istilah “ekspektasi” atau harapan diperkenalkan pertama kali oleh John F.Muth pada tahun 1961 untuk menggambarkan situasi ekonomi dan hasilnya yang sebagian bergantung pada ekspektasi atau harapan pelaku ekonomi kedepan di masa datang.
Dalam ekonomi ekspektasi rasional, orang melakukan perkiraan-perkiraan mengenai apa yang menjadi ekpektasi atau harapannya kedepan di masa datang berdasarkan informasi terbaru saat ini, bukan informasi pada masa lalu (fakta historis). Prinsip yang menjadi ajaran dalam ekonomi ekspektasi rasional yakni orang senantiasa rasional dalam melakukan perkiraan-perkiraan yang menjadi ekspektasinya kedepan di masa datang. Hanya beberapa orang yang bisa dibodohi untuk tidak rasional sepanjang waktu, dan semua orang bisa saja dibodohi untuk tidak rasional hanya selama beberapa waktu, namun semua orang tidak bisa dibodohi untuk tidak rasional sepanjang waktu. Orang rasional, boleh jadi, seringkali melakukan kesalahan dalam melakukan perkiraan, namun kesalahan tersebut tidak selamanya terjadi sepanjang waktu baik pada dirinya ataupun orang lain.
Mengenai perilaku rasional dalam ekonomi ekspektasi rasional digambarkan dalam perubahan dari Kurva Phillips menjadi Kurva Friedman-Phelps. Kurva Phillips dikemukakan oleh A.W.Phillips (1958) yang menyatakan adanya “trade-off” atau hubungan negatif antara tingkat inflasi dengan tingkat pengangguran. Artinya, ketika tingkat inflasi makin tinggi justru diikuti dengan makin rendahnya tingkat pengangguran. Sebaliknya pada pada Kurva Friedman-Phelps yang dikemukakan oleh Milton Friedman (1968) dan Edmund Phelps (1967,1968) bahwa terdapat hubungan positif antara tingkat inflasi dengan tingkat pengangguran. Artinya, ketika tingkat inflasi makin tinggi diikuti pula dengan makin tingginya tingkat pengangguran.
Dalam perspektif ekonomi ekspektasi rasional bahwa dalam konteks Kurva Phillips tenaga kerja berperilaku “tidak rasional” dimana mereka tidak menuntut kenaikan upah seiring dengan tingginya inflasi, sehingga makin banyak tenaga kerja yang diserap. Dengan makin banyaknya tenaga kerja yang diserap, maka tingkat pengangguran pun makin turun seiring dengan makin tingginya tingkat inflasi. Dalam konteks Kurva Friedman-Phelps, lambat laun perilaku tenaga kerja justru berubah menjadi “rasional” dimana tingkat inflasi itu justru timbul dalam benak mereka sehingga mereka menuntut kenaikan upah sehingga makin sedikit tenaga kerja yang diserap. Dengan makin sedikitnya tenaga kerja yang diserap, maka tingkat pengangguran pun makin tinggi seiring dengan makin tingginya inflasi. Dalam perspektif ekonomi ekspektasi rasional, ekspektasi inflasi merupakan tingkat inflasi yang berada pada “benak” masyarakat. Inflasi ini bergantung pada pandangan subyektif pelaku ekonomi (baca:usaha). Inflasi yang terjadi pada hari-hari besar keagamaan, seperti inflasi pada puasa bulan Ramadhan merupakan contoh dari ekspektasi inflasi ini. Contoh lainya yakni nilai suatu mata uang dan tingkat depresiasinya tergantung pada ekspektasi masyarakat.
Dari sisi kebijakan publik, diperlukan kebijakan sasaran atau target inflasi sebagai “anchor” atau jangkar yang dapat dijadikan acuan bagi pelaku ekonomi dalam melakukan perkiraan-perkiraan untuk pengambilan keputusan kedepan di masa datang. Kebijakan dalam RPJMN 2020-2024 ditetapkan sasaran atau target inflasi sebesar 3,0 persen dengan deviasi sebesar plus atau minus 1 persen. Kebijakan sasaran atau target inflasi dimaksud dilakukan utuk menjamin agar perekonomi nasional tetap stabil.(*)