Politik Orang Sasak: Politik Ormas dan Politik Timuk Bat Lauk Daye

Jika ditanya, bagaimana bentuk politik orang Sasak. Rumit dan njlimet untuk menjawabnya. Apalagi mau membincangkan mengenai falsafah politik mereka. Jauh lebih demit lagi. Mereka ada mengenal Aiq Meneng Tunjung Tilah Empak Bau, baik untuk kepentingan sosial maupun budaya mereka. Namun dalam praktik politik, falsafah ini agak rumit diterapkan karena dalam banyak hal, malah yang terjadi sebaliknya.

Maka lahirlah antitesis, yakni apa yang mereka sebut politik jurakan. Jangankan tetap berpegang pada bagaimana keharmonisasian semua Sasak, mencapai tujuan bersama pun menjadi lenyap seketika itu juga karena semua mau, akhirnya sikut sana tendang sini.

Maka di tengah kerumitan alias kedemitan memahami bentuk politik orang Sasak itu, saya menyebut sebagai politik ormas dan politik timuk bat lauk daye sebagai gambaran umum untuk sedikit dapat mencerna cara berpolitik orang Sasak.

Politik ormas merupakan garis panduan ideologi politik orang Sasak. Mereka jauh lebih mengarusutamakan kepentingan ormas dalam berpolitik dibandingkan kepentingan Sasak sebagai bangsa, sebagai entitas etnik. Sebagai contoh, jika ada dua tokoh yang beradu, yang satu lebih layak dan satu lagi sebaliknya, apa yang terjadi adalah orang Sasak akan segera menepikan nalar objektif mereka. Layak dan tidak layak itu tidak dinalari karena bagi mereka ialah sikap “yang penting” mendukung keterwakilan ormas mereka, meskipun sudah nyata-nyata tokoh tersebut dikategorikan tidak layak. Akibatnya, jangankan menang, kalah selalu menjadi hadiah terindah dalam kepahitan realitas sosial mereka.

Hanya karena mengutamakan ormas, akal sehat orang Sasak jadi luntur. Bahkan hal ini berlaku di semua kalangan. Mereka yang paling terdidik hingga yang paling buta huruf memilih sikap yang sama, “yang penting” mendukung tokoh yang mewakili ormas.

Ada yang paling brutal dari bentuk politik ormas ini, yakni praktik memaksakan kehendak dan menggunakan segala cara. Dalam beberapa ruang publik dan hak sosial, perkara ini sering dijumpai. Misalnya dalam pemilihan jabatan struktural politik yang lebih sempit. Ada calon kalah suara dan ada calon yang menang dalam pemilihan. Namun di garis akhir nanti, malah yang ditetapkan sebagai pemenang adalah yang kalah suara. Usut punya usut, ternyata praktik politik ormas dijalankan secara brutal. Ormas digunakan sebagai landas pacu untuk merampas hak orang lain dengan menggunakan kuasa dan kewenangan.

BACA JUGA:  Waspada Gim Daring: Kenali Modus dan Ketahui Pencegahannya

Tentu saja, dalam melihat fenomena tersebut di atas bukan hanya dari sisi salah benar, hitam putih. Namun yang paling utama ialah melihatnya dari sisi kepentingan besar orang Sasak sebagai bangsa. Jika praktik politik ormas terus dijalankan secara brutal, maka dendam antarkelompok akan terus membiak, beranak pinak hingga ke level keturunan paling jauh. Dendam politik ini sewaktu-waktu akan tersulut dalam setiap zaman. Akibatnya, dalam kedewasaan dan kekuatan berpolitik, orang Sasak akan terus terancam dan selalu dalam posisi rentan untuk saling tikam di tiang jurakan.

Kalau tidak percaya, dapat dibuktikan melalui politik timuk bat lauk daye yang sudah lebih dahulu ada, jauh sebelum politik ormas di tengah orang Sasak. Ratusan tahun sebelum mereka diretakkan oleh praktik politik ormas yang brutal, orang Sasak sudah kocar kacir dalam memperjuangkan kepentingan bersama sebagai orang Sasak karena politik teritori, politik geografik tersebut.

Boleh dikatakan, hingga saat ini, orang Sasak tidak pernah mempunyai tokoh politik lintas geografik (tokoh pemersatu bangsa Sasak tidak pernah ada. Tokoh pemersatu kelompok, sangat banyak). Seorang tokoh Sasak yang paling berpengaruh sekalipun, ia tidak berhasil menembus sekat fanatisme teritori. Orang Sasak lauk, akan terus mengarusutamakan keselatanan mereka. Akibatnya, meskipun tokoh Sasak dari bat, daye, dan timuk memiliki ketokohan yang besar, ia akan dihalau di gumi selatan karena orang selatan hanya bertumpu kepada tokoh selatan saja. (Pengecualian jika tokoh daye, misalnya, mendapat banyak dukungan di selatan, bukan karena ketokohannya melainkan karena ormas atau kelompok).

BACA JUGA:  KEKALAHAN MAKMUR SAID (Sudut Pandang Budaya, Bukan Politik)

Banyak narasi bawah sadar yang menggambarkan betapa politik timuk bat lauk daye begitu mengancam kepentingan bersama orang Sasak. Misalnya mengukuhkan seorang tokoh sebagai tokoh lauk. Bukan sebagai tokoh Sasak. Begitu juga tokoh yang berasal dari oet yang lain. Bukti nyata dalam perkara ini akhirnya dijumpai dalam setiap kontestasi politik. Tanpa melakukan polarisasi, tiba-tiba hasil kontestasi mencerminkan yang, tokoh tersebut memang hanya menang di lauk. Kalah di tempat lain. Begitu juga tokoh lain yang hanya menang di tanak kedawon mereka.

Adalah lumrah seorang tokoh mempunyai basis massa. Dalam keumuman politik, perkara ini sentiasa dijumpai. Namun dalam konteks Sasak, situasi menjadi bahaya karena tak dapat dilepaskan dari sejarah mereka yang tanpa mereka sadari telah membangun prasasti dendam satu sama lain. Tentu saja mereka menolak keras disebut dendam, namun dalam praktik sosial dan politik, mereka tidak dapat menutupi diri. Realitas ini terus-menerus berlangsung karena dendam yang terlarang itu sudah berubah menjadi commonly. Kelaziman. Dendam yang berterima secara sosial padahal dampaknya tetap membahayakan Sasak sendiri.

Untuk menggambarkan betapa dendam bawah sadar itu sudah membatu karang, dapat dijejaki melalui bukti sederhana ini. Dalam konteksnya sebagai legenda, Putri Mandalika disepakati sebagai legenda Sasak. Ini bermakna, legenda Putri Mandalika telah membabat semua jarak dan sekat teritori orang Sasak. Semua orang Sasak merasa memiliki dan terikat secara kultural dengan legenda tersebut.

Akan tetapi, begitu Putri Mandalika menjadi Kek Mandalika, menjadi Sirkuit Mandalika. Tiba-tiba berubah menjadi terbatas. Bahkan sangat eksklusif. Hal ini dikarenakan dorongan bawah sadar orang Sasak yang memang tersekat oleh batas-batas gubuk. Orang Sasak selatan mendadak merasa paling memiliki, paling kanggo, paling berkepentingan. Lihat saja, jika ada masalah dalam Kek Mandalika atau pun Sirkuit Mandalika, seolah-olah yang boleh merasa paling terluka ialah Sasak selatan. Dan seolah-olah pula, orang Sasak di belahan bumi yang lain tidak boleh ikut terluka.

BACA JUGA:  Kemiskinan Terselubung Kaum Berpendidikan (Refleksi 3 Tahun Kekuasaan Zulrohmi)

Kebatinan kultural semacam itu terus merambah ke hampir semua sektor dan instansi. Demi kepentingan Sasak daye di satu instantsi, orang Sasak daye yang secara kebetulan sedang memimpin, menjadi rektor, menjadi kepala dinas, menjadi pegawai tertinggi, dan menjadi yang lain, mengarusutamakan kedayean dan mengetepikan Sasak dari sisi yang lain. Akibatnya, secara kolektif, orang Sasak menjadi sangat lemah dan rapuh di setiap sektor.

Dengan begitu, orang Sasak menjadi sangat kuat dalam berkelompok (ormas, belauk bedaye, betimuk bebat) namun sangat lemah dalam berbangsa. Padahal, untuk kepentingan Sasak yang jauh lebih luas dan besar, orang Sasak sebagai bangsa itulah modal dasar dan utama. Ormas, timuk bat lauk daye sebagai komplimen yang berfungsi sebagai pemacu.

Nah, dapat dibayangkan, bukan? Betapa rapuh ringkihnya Sasak. Ketika bangsa lain mengarusutamakan kebangsaan mereka, eh malah Sasak lebih utamakan ormas, timuk bat lau daye dalam perjuangan politik mereka.

Doktrin dasar dan utama sosial budaya sejarah orang Sasak ialah doktrin ormas timuk bat lauk daye. Bukan doktrin Sasak sebagai bangsa yang utuh.

Yang teranyar, orang Sasak lebih mengutamakan partai politik mereka dibandingkan bangsa mereka sendiri karena Sasak sebagai bangsa tak pernah memberikan apa-apa kepada mereka. Hanya begejuh. Hanya saling pelengek.

Jadi apes terus deh.

Kaye gamak Sasak.

Malaysia, 5 Februari 2022