“WTP” Dibalik Cermin Tata Kelola Keuangan Daerah

Dianugerahkannya predikat Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) ke-tujuh untuk Kota Mataram dan ke-10 untuk Provinsi NTB memang membuahkan makna tersendiri. Layaknya sebuah pengakuan atas suatu capaian, tentunya diimbangi itikad melestarikannya secara periodik.

Wajar saja, kebanggaan itu memang manusiawi, tapi opini WTP bukanlah tujuan akhir. Esensinya juga bukan sekedar gugur urusan/tanggung jawab, melainkan sebuah keniscayaan dalam tata kelola keuangan negara dan daerah.

Dalam pemahaman kaidahnya, setidaknya kriteria WTP mengisyaratkan penegasan kehati-hatian dan spirit dalam mengelola administratif pertanggungjawaban ataupun menyerap dan membelanjakan serta pelaporan anggaran secara terarah dan terukur oleh pemerintah.

Kriteria WTP dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan tujuan utama yang diinginkan pemerintah level apapun, dalam melahirkan strategi kebijakan pembangunan yang proporsional dan linier dengan postur anggaran tersedia.

BPK membagi kriteria pemberian opini tersebut ke dalam beberapa poin, sebagai berikut, (a) kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan; (b) kecukupan pengungkapan (adequate disclosures); (c) kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan; dan (d) efektivitas sistem pengendalian intern (SPI).

Keempat jenis opini yang bisa diberikan oleh BPK tersebut dasar pertimbangan utamanya adalah kewajaran penyajian pos-pos laporan keuangan sesuai dengan SAP. Kewajaran disini tidal serta-merta ditafsirkan sebagai sebuah kebenaran atas suatu transaksi. Opini atas laporan keuangan tidak mendasarkan kepada apakah pada entitas tertentu terdapat indikasi korupsi atau tidak.

Dalam pemahaman penulis bahwa baik-buruknya tata kelola keuangan negara atau daerah sangat identik dengan parameter struktur penganggaran yang sehat, akurat, terbuka/transparan dan akuntabel. Secara sederhana, ada dua pendekatan dalam memahami pokok opini WTP ini. 1). Secara makro, melalui akumulasi dokumen pelaksanaan anggaran (DPA) / daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) berupa semua belanja sektor pemerintahan untuk satu tahun anggaran – berikut bukti administrasinya; dan 2). Spesifikasi/mikro, yaitu item per program/kegiatan mata anggaran yang dilaksanakan oleh masing-masing departemen – OPD kalau level daerah.

Sementara empat kriteria berdasarkan standar BPK, yaitu kesesuaian atas laporan keuangan dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP), kecukupan informasi laporan keuangan, efektivitas Sistem Pengendalian Intern dan Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan.

Tujuan pemeriksaan atas laporan keuangan adalah untuk memberikan pendapat/opini atas kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan. Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan.

BPK dapat memberikan empat jenis opini, yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP/unqualified Opinion), Wajar Dengan Pengecualian (WDP/Qualified Opinion), Tidak Memberikan Pendapat (TMT/Disclaimer Opinion) dan Tidak Wajar (TW/Adverse Opinion).

Opini WTP diberikan dengan kriteria: sistem pengendalian internal memadai dan tidak ada salah saji yang material atas pos-pos laporan keuangan. Secara keseluruhan laporan keuangan telah menyajikan secara wajar sesuai dengan SAP.

Opini WDP diberikan dengan kriteria: sistem pengendalian internal memadai, namun terdapat salah saji yang material pada beberapa pos laporan keuangan. Laporan keuangan dengan opini WDP dapat diandalkan, tetapi pemilik kepentingan harus memperhatikan beberapa permasalahan yang diungkapkan auditor atas pos yang dikecualikan tersebut agar tidak mengalami kekeliruan dalam pengambilan keputusan.

Opini TMP diberikan apabila terdapat suatu nilai yang secara material tidak dapat diyakini auditor karena ada pembatasan lingkup pemeriksaan oleh manajemen sehingga auditor tidak cukup bukti dan atau sistem pengendalian intern yang sangat lemah. Dalam kondisi demikian, auditor tidak dapat menilai kewajaran laporan keuangan. Misalnya, auditor tidak diperbolehkan meminta data-data terkait penjualan atau aktiva tetap, sehingga tidak dapat mengetahui berapa jumlah penjualan dan pengadaan aktiva tetapnya, serta apakah sudah dicatat dengan benar sesuai dengan SAP. Dalam hal ini auditor tidak bisa memberikan penilaian apakah laporan keuangan WTP, WDP, atau TW.

BACA JUGA:  42 Peserta Lulus Seleksi Administrasi Calon Anggota KPID NTB, Ada Mantan Komisioner dan Praktisi Media

Opini TW diberikan jika sistem pengendalian internal tidak memadai dan terdapat salah saji pada banyak pos laporan keuangan yang material. Dengan demikian secara keseluruhan laporan keuangan tidak disajikan secara wajar sesuai dengan SAP.

Dalam rangka memperkuat peran BPK sebagai Supreme Audit Institution, maka kerja sama yang efektif dan profesional harus dilakukan oleh BPK dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK-RI) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Pertanyaannya besarnya, kemudian, bagaimana formulasi kerjasama yang perlu diciptakan oleh BPK bersama KPK dan PPATK dalam rangka mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang baik. (sumber internet).

Seringkali menjadi pertanyaan bagaimana mungkin pengelolaan keuangan negara yang transparan menghasilkan pertanggungjawa-
ban yang akuntabel. Secara konsep hukum sesungguhnya lazim saja ketika politik hukum keuangan negara yang dibangun dijalankan secara responsif. Sangat disayangkan, politik hukum keuangan negara, hari ini, secara kontemporer mengalami pergeseran. Ke-tidak transparan-an pengelolaan keuangan negara, tumpang-tindih kewenangan antar lembaga pengawas, dan kegamangan penegak hukum dalam
menindak perbuatan yang merugikan keuangan negara adalah bukti bahwa konsep hukum keuangan negara yang dikonstruksikan selama ini masih jauh dari kepastian dan kemanfaatan hukum. (Ikhwan Fahrojih, 2016: ix).
Atas bukti dan pertimbangan tersebut, maka penyelenggaraan pemerintahan negara, baik pada tataran pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah dalam rangka mewujudkan tujuan bernegara harus menimbulkan hak dan kewajiban negara yang perlu dikelola dan dipertanggungjawabkan dalam suatu sistem pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Sebab, pengaturan dalam
sistem hukum keuangan negara yang baik dan wajar merupakan suatu conditio sine qua non dalam rangka pelaksanaan dan pertumbuhan pembangunan. Karena salah satu perwujudan dari tata kelola pemerintahan yang baik, itu pelaksanaan pembangunan yang tepat sasaran dan memberikan dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat. Hal inilah yang sesungguhnya menjadi impian dan cita-cita sebuah negara kesejahteraan (welfare state), khususnya Indonesia.

Cermin ini memperlihatkan betapa sistim pengelolaan keuangan, peng-administrasian serta pertanggungjawaban yang baik pada pemerintahan kita, belum berjalan efektif. Faktor serapan anggaran pun masih kerap dipaksakan, ketimbang bermuara ke dalam dokumen selisih lebih pembiayaan anggaran (SILPA) tahun berkenaan. Yang kemanfaatannya tak dinikmati rakyat secara langsung. Bukan kah anggaran negara/daerah bersumber dari uang Rakyat, oleh Rakyat, dan untuk Rakyat? Sudah begitu, terkadang sisi pemanfaatannya rentan pada situasi labirin.

Sepanjang eksistensinya, sekitar 2003, silam lembaga KPK sendiri sudah membukukan pengungkapan kasus kasus korupsi kelas kakap yang tak terbayangkan bisa terungkap pada era sebelumnya. Sepanjang era 2016-2019 misalnya, tercatat sekitar 539 kasus tindak pidana korupsi. Diantaranya mencakup pengadaan barang/jasa, perizinan, penyuapan, pungutan, penyalahgunaan anggaran, hingga pencucian uang (money laundry). Lonjakan jumlah kasus korupsi terjadi pada tahun 2017-2019. Hal ini tidak terlepas dari pelaksanaan pilkada serentak sepanjang rentang waktu tersebut. Dimana tak sedikit bilangannya, kepala daerah dan calon kepala daerah yang tersangkut kasus suap dan korupsi.

BACA JUGA:  Pemkot Mataram Hentikan Layanan Internet Gratis Untuk Pelajar Tahun 2021

Salah satu mekanisme kerja lembaga anti rasuah ini, yakni saat resmi menetapkan pejabat negara atau tokoh penting sebagai target tersangka koruptor, maka di saat itulah biasanya ditampilkan si oknum yang tertangkap basah melalui operasi tangkap tangan (OTT), lengkap dengan tumpukan barang bukti berupa uang serta barang berharga lainnya. Seperti kutipan dari artikel dengan tagline KPK – yang tayang di website kompaspedia.kompas.id. Na’uzubillah.

Pemprov Dilaporkan

Baru-baru, ini Gubernur NTB dan beberapa jajaran teknisnya dilaporkan ke KPK oleh lembaga lokal, bernama LSM Garuda atau Gerakan Rakyat untuk Demokrasi dan Kemanusiaan. Ketua LSM tersebut, M Zaini, melaporkan Gubernur NTB, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTB dan Kepala Biro Humas NTB ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat, 22 Oktober 2021. Begitu pokok pikiran berita yang dikutip dari media siber SuaraPulauNews.com.

Laporannya terkait dengan indikasi korupsi Belanja Jasa Publikasi pada Biro Humas dan Protokol Sekretariat Daerah tidak sesuai ketentuan tahun anggaran 2020 dan adanya indikasi korupsi Belanja Beasiswa Kepada Masyarakat Berprestasi tidak berpedoman pada ketentuan yang berlaku tahun anggaran 2020 NTB.

Menurut Sang Nakhoda, Zaini, Pemerintah Provinsi NTB tahun 2020 menganggarkan Belanja Beasiswa kepada Masyarakat Berprestasi senilai Rp29.239.000.000,00 dengan realisasi senilai Rp26.370.330.932,01 atau senilai 90,19%.

Untuk kasus indikasi korupsi pada anggaran beasiswa, LSM menemukan ada beberapa pelanggaran yang dilakukan. Yaitu, terdapat pembayaran biaya hidup dan dana bantuan penelitian tidak didukung dengan SK, masih ditemukannya pelanggaran secara admnistrasi dalam proses perekrutannya dan kelebihan pembayaran biaya hidup.

Sedangkan untuk indikasi korupsi pada Biro Humas dan Protokol terdapat pelanggaran dalam bentuk realisasi Belanja Jasa Publikasi kepada media yang tidak memiliki perjanjian kerja sama dengan Biro Humas dan Protokol serta adanya temuan pembayaran Belanja Jasa Publikasi tidak berpedoman pada standar satuan harga.

Untuk diketahui bahwa Pemerintah Provinsi NTB tahun 2020 menganggarkan Belanja Barang dan Jasa senilai Rp1.137.792.752.468,38 dengan realisasi senilai Rp1.080.977.858.050,00 atau 95,01%. Dari akumulasi nominal tersebut, pada poin Belanja Barang dan Jasa tersebut, Biro Humas dan Protokol menganggarkan Belanja Jasa Publikasi senilai Rp5.916.640.000,00 dengan realisasi senilai Rp5.903.969.754,00 atau 99,79%.

“Untuk itu kami sangat mengharapkan KPK menindaklanjuti laporan kami,” harap Zaini kepada pers ketika ditemui di gedung KPK.

Menanggapi usikan LSM tersebut, Gubernur NTB Dr H Zulkiflimansyah, tak terlihat gundah sama sekali. Ia bahkan merespon tenang dan menyilakan si pelapor meneruskan laporannya.

“Sudah kita klarifikasi lama ini Bang, LSM saja yang telat baca berita,” ungkap Bang Zul kepada media SuaraPulauNews.com melalui saluran media sosial whatsapp, belum lama ini.

“Laporkan saja, semua orang bisa melapor (ke KPK -red),” tantangnya melalui pemberitaan yang dimuat tersebut.

Menurut Gubernur, hasil verifikasi Inspektorat Provinsi NTB, menyimpulkan tidak ada kerugian negara terhadap penyelenggaraan program beasiswa NTB pada tahun anggaran 2020.

“Dari beberapa catatan dan rekomendasi terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan yang disampaikan oleh BPK RI, temuan kerugian negara akibat biaya yang sudah terlanjur dibayarkan sebesar Rp. 87.030.000 seluruhnya sudah dikembalikan ke kas negara. Artinya, uang negara atau daerah sudah masuk kas lagi dan tidak ada kerugian negara,” jelas Bang Zul mengutip penegasan Inspektur Inspektorat Provinsi NTB, Ibnu Salim yang merilis hal tersebut pada akhir Mei 2021.

BACA JUGA:  Menyoal Penundaan Migrasi Siaran TV Analog ke Digital di NTB

Saat itu, Ibnu Salim menjelaskan bahwa beberapa catatan lainnya mengenai LHP BPK terhadap program beasiswa NTB ini seluruhnya bersifat administratif dan sudah dituntaskan sesuai rekomendasi BPK.

Menurut Ibnu Salim, ini hanya faktor kelemahan pemahaman terhadap administrasi tata kelola pertanggungjawaban keuangan.

“Untuk penyempurnaan kedepan dalam pengelolaannya diarahkan pada ketentuan yang ada. Ini hanya faktor kelemahan pemahaman tata kelola. Sedangkan programnya sudah terlaksana sesuai yang direncanakan,” ungkapnya.

Demikian juga disampaikan oleh Sekretaris LPP NTB, Sri Hastuti, bahwa temuan kerugian yang telah dikembalikan tersebut murni sifatnya administrasi dan teknis pelaksanaan kegiatan. Seperti pengembalian sisa pembelian tiket dari anggaran yang sudah diberikan kepada penerima beasiswa.

“Sudah kami kembalikan. Karena memang yang 87 juta itu adalah sisa dana. Misal kita menganggarkan pembayaran tiket 30 juta, tapi real costnya 27 juta. Sisanya 3 juta. Itulah yang kita kembalikan. Itulah rinciannya sampai ada catatan sebanyak 87 juta,” terang Tuti panggilan akrabnya, yang dilansir Samawa Rea, 28 Mei 2021.

Tuti memastikan bahwa LPP NTB telah melaksanakan seluruh rekomendasi yang menjadi catatan BPK RI terhadap pengelolaan keuangan pada tahun anggaran 2020. Termasuk beberapa di antaranya mengenai penundaan keberangkatan mahasiswa NTB yang akan melaksanakan study di Rusia.

“Karena Negara Rusia saat itu tutup border untuk orang asing sampai dengan hari ini. Tetapi mereka telah melaksanakan perkuliahan sejak Oktober 2020. Sehingga BPK RI memberi catatan, jika hingga 30 Desember 2021 belum juga berangkat ke Rusia, maka beberapa komponen beasiswa seperti biaya hidup harus sudah dikembalikan,” pungkasnya.

Terkait bea siswa ke Rusia, Kepala Biro Kesejahteraan Rakyat Setda Provinsi NTB, H. Ahmad Masyhuri, yang menanganani langsung anggaran program beasiswa NTB, juga memastikan seluruh rekomendasi LHP BPK untuk program beasiswa NTB akan ditindaklanjuti dan menjadi bahan penyempurnaan pengelolaan beasiswa NTB pada tahun 2021. Termasuk beberapa komponen beasiswa yang harus dikembalikan oleh mahasiswa jika tidak jadi berangkat ke Rusia.

“Walaupun mereka saat ini belum berada di Rusia, tetapi mereka sebenarnya telah mengikuti perkuliahan secara online dan membayar biaya pendidikan yang dibebankan. Sehingga nanti ketika batas waktu yang diberikan oleh BPK telah tiba, mereka diwajibkan mengembalikan beberapa komponen beasiswa, seperti biaya hidup di luar negeri,” tutup Masyhuri.

Sementara poin belanja jasa publikasi pada Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi NTB (kini nomenklateur menjadi Biro Adpim) senilai Rp 5,9 miliar lebih tak terkupas pada angle berita SuaraPulauNews.com. Entah kenapa? Padahal laporan LSM Garuda juga melirik kas negara satu ini.

Wagub NTB, Siti Rohmi Djalillah, dalam sebuah kesempatan mengatakan, predikat Opini WTP sepuluh kali berturut turut untuk Provinsi NTB merupakan pembuktian bahwa pembangunan NTB berada dalam situasi yang baik. Demikian pula dengan penanganan pandemi yang tiap waktu makin baik, sehingga NTB mampu berada di level 1. Pertanyaannya sekarang, jika dikatakan “baik”, mengapa sampai berhembus indikasi tidak sedap dalam belanja negara? Entahlah. Wallahu’a’lam bissawab. (*)