Pembenci TGB: Haters Studies (Towards The Enlightenment Reborn)

Kajian tentang pembenci TGB, sejauh ini, belum dilakukan oleh para pakar. Kalau menilik kepada kompleksitasnya fenomena pembenci TGB ini, kajian tentang mereka sepatutnya sudah dilakukan. Kajian kritis perlu dilakukan bukan untuk membela TGB (sama sekali bukan.

Apalagi untuk untuk mengkultuskan TGB, bukan sama sekali) melainkan untuk menelaah secara lebih mendalam lagi, misalnya, tentang psikologis, mentalitas, habitus para pendulang ayat suci yang begitu gemar mempraktikkan kebencian. Seolah kebencian merupakan ritual penyuci jiwa yang sudah dipupuk rasuk dendam.

Dalam konteks kajian kritis,
kajian keilmuan ia menjadi menarik karena kebencian itu tumbuh di tengah bibir yang zikir, pada saat wuduk selalu dijaga, di kalangan para pendiskusi surga.

Pada era hiperrealitas seperti yang dikemukakan oleh Jean Baudrillard (Sosiolog Posmo Prancis), di mana realitas manunggaling dengan fantasi, halusinasi, nostalgia, fiksi dan imajinasi sehingga amat susah membedakan semua situasi tersebut. Keaslian sudah terbenamkan. Realitas, di mana pembenci sebagai subjek perindu surga, penghafal hadits dan al-Qur’an terbenam ke dalam imajinasi yang dikomandoi oleh rasa benci yang diproduksi oleh halusinasi, fantasi, nostalgia tentang sesuatu atau seseorang yang dibenci.

Penampakan hiperrelitas juga menyemut ke dalam situasi di mana kita amat susah membedakan ketimpangtindihan antara pembenci dan pecinta. Realitas kebaikan sesuatu atau seseorang yang dibenci bertumpang tindih dengan realitas lain yakni pembenci. Logikanya, karena orang itu baik, seharusnya ia tidak dibenci. Begitu juga ketika ada realitas di mana orang itu sudah nyata-nyata terbukti tidak baik, diputuskan bersalah oleh hakim secara adil, terbukti berbuat asusila, namun berjubin-jubin orang yang membela, fanatik hingga habis-habisan. Bahkan selepas dihukum menjadi pejabat tinggi.

Realitas pembenci orang baik dan pemuja orang terhukum sudah tak dapat lagi dibedakan karena keduanya telah melebur ke dalam bayangan, halusinasi, imajinasi yang dibentuk oleh wacana. Dikonstruksi oleh power dan citra yang juga berada di jagat hiperrealitas.

Situasi pembenci yang berada di jagat citra tersebut difahami sebagai satu keadaan di mana mereka tak lagi dapat mengontrol diri sendiri. Halusinasi yang dikonstruksi oleh produsen citra tentang objek kebencian itulah yang telah berperan penting. Akhirnya para pembenci juga berada pada situasi yang runyam karena mereka tak dapat membedakan diri sendiri dengan power yang membangun halusinasi citra pada dirinya.

Itulah sebabnya kajian tentang pembenci TGB ini menarik seperti yang saya katakan di awal. Ada beberapa sebab ia menjadi menarik. Kalau dilihat dari segi jarak masa antara TGB dengan para pembenci, dapat dijumpai yang kebanyakan mereka berjarak masa yang cukup jauh dengan TGB. Umur mereka masih sangat muda. Mereka kebanyakan tidak segenerasi bukan juga sezaman dengan TGB. Boleh dikatakan, rata-rata jarak umur mereka dengan TGB ialah lebih 20 tahun. Dengan kata lain, besar kemungkinan mereka tidak pernah berinteraksi secara langsung dengan TGB. Mereka hanya melihat TGB di foto atau video, jika pernah berjumpa secara langsung, itu sekali dua kali di kalangan khalayak ramai. Kesimpulannya, mereka kebanyakan tidak mengenal, tidak memahami, tidak juga menyelami TGB. Yang terpenting bagi mereka ialah benci.

BACA JUGA:  Sasak Sudah Musnah Tanpa Seniman

Lantas bagaimana seseorang boleh membuat suatu sikap di tengah kebutaan mereka terhadap argumen sikap tersebut? Di situlah hiperrealitas tersebut berperanan. Pembenci tidak memerlukan alasan, bahkan tidak juga mementingkan tujuan. Yang utama bagai mereka ialah merayakan kebencian itu. Mabuk benci, sakau benci, oleng benci ialah satu situasi yang amat penting bagi pembenci. Ketika halusinasi kebencian sudah merasuk, mereka merasa menemukan kulminasi kebahagiaan yang, sesungguhnya itu juga bukan realitas melainkan citra tentang kepuasaan yang tidak akan pernah mereka rasakan hakikatnya. Sakit, kan.

Sebab lain Haters Studies menarik ialah pola kebencian para pembenci yang sama. Warna narasi sama. Menuduh TGB sebagai penghianat dan pendurhaka. Ada yang terbaru, menuduh TGB sebagai bukan yang asli. Boleh dibayangkan bagaimana hebatnya satu kebencian dilakukan oleh begitu banyak orang dalam warna dan pola yang sama. Kebencian massal ini ialah produksi budaya pop yang sangat berhasil di kalangan para penuntut agama. Ketika kebencian sudah menjadi gaya, maka ia memproduksi tanda yang tidak lagi mementingkan objek tanda. TGB tidak lagi penting diketahui sebab bagi mereka yang utama ialah kebencian kepada TGB.

Merujuk pada sekurang-kurangnya dua sebab tersebut di atas, menarik untuk merajut pertanyaan umum. Bagaimana kebencian itu terjadi atau berproses? Dari pertanyaan ini, kita dapat menjumpai sedikitnya tiga pintu masuk. Yang pertama sekali ialah pasti ada aktor di balik budaya pop kebencian tersebut.

Indikasi adanya aktor utama dalam budaya pop kebencian tersebut dapat dilihat pada pola kebencian yang sama. Narasi kebencian tersebut diproduksi secara masif dan massal lalu didistribusikan melalui agen kepada pembenci. Cetakan kebencian tersebut dibuat serupa agar tercipta satu citra yang sama di kepala dan hati pembenci. Yang menarik juga, pola kebencian ini diproduksi secara terus-menerus tanpa mengubah pola dan kualitas. Narasi dapat disesuaikan mengikut kepentingan, namun pola utama dikekalkan sejak pertama kali diproduksi.

BACA JUGA:  Sang Ilusionis Industrialisasi dan Kematian Tragis Penonton

Sederhananya, kebencian itu sudah menjadi brand, sudah sahih menjadi merek dagang yang hak kekayaan intelektualnya dipegang oleh aktor utama. Dari sini, sudah jelas terlihat, keuntungan budaya pop kebencian itu terpulang kepada aktor utama. Sedangkan agen dan pembenci hanya mendapatkan halusinasi. Sebuah perasaan gembira yang bersifat fiktif. Pada tahap ini, kepentingan sudah terbagi tiga. Aktor utama mempunyai kepentingan menjaga posisi atau legitimasi diri. Agen berkepentingan menunjukkan kesetiaan kepada aktor utama (loyalty is capital and advantage). Sedangkan kepentingan pembenci ialah memenuhi kecanduan kebencian. Sejauh ini, aktor utama tersebut sudah sangat berhasil memproduksi keuntungan melalui ideologi “kebencian ialah candu”, “kebencian ialah gaya hidup”, “kebencian ialah eksistensi diri”. Dengan begitu segala jenis kebencian yang diproduksi akan segara dikonsumsi oleh pembenci.

Pintu masuk berikutnya ialah tempat kebencian itu dikilang, diproduksi. Ada indikasi yang menunjukkan lembaga pendidikan formal maupun informal sebagai tempat kebencian itu diproduksi. Ia tidak dincantumkan dalam kurikulum. Namun diselitkan dalam konteks pengajaran ketika proses pembelajaran sedang berlangsung.

Anak-anak yang masih remaja sebagai pembenci itu sudah diperkenalkan objek yang wajib dibenci. Berbagai macam cara dilakukan agar tidak terendus saat akreditasi. Misalnya, peletakan foto tertentu dan terbatas pada orang yang paling disanjung di ruang kelas. Menyanyikan lagu-lagu sindiran yang tendensius.

Seterusnya ialah pintu masuk bagaimana kebencian tersebut didistribusi. Yang menarik dalam fase pendistribusian ini ialah sifatnya yang terus-menerus. Jika seorang yang sudah memilih sebagai pembenci pada umur yang masih remaja, maka hal tersebut tidak terjadi serta merta. Kebencian sudah distimulasi sejak mereka masih bayi hingga pendidikan dasar secara berjenjang. Itulah sebabnya, begitu memasuki usia perguruan tinggi, mereka menjadi pembenci yang bengis.

Kalau melihat umur para pembenci yang rata-rata 20 tahun ke atas dan ke bawah, maka dapat dilihat yang produksi kebencian ini sudah berlangung lebih dari dua dekade. Usaha sangat keras dan bersungguh-sungguh yang sangat mengerikan, bukan? Di dunia realitas, kita mungkin susah menjumpai seseorang yang begitu hebat dalam puluhan tahun memproduksi kebencian. Itulah sebabnya produksi kebencian ini berada di ruang halusinasi yang semakin menunjukkan peradaban mengerikan nan sakit, terutama sekali karena ia berada di lembaga pendidikan keagamaan.

Para pembenci tak dapat lagi membedakan antara realitas keagamaan yang suci dengan fiksi kebencian karena distribusi kebencian tersebut begitu deras, berjenjang tiada habis-habisnya. Akibatnya, mereka tak tahu lagi siapa sebenarnya yang perlu diikuti dan ditampik sebab dalam proses distribusi kebencian itu, mereka hanya diperkenalkan satu kebenaran yang harus dipilih. Kebenaran yang lain ialah kebohongan, ialah palsu yang hanya layak dibenci. Ketika sedang sakau, mereka memberikan pujian tertinggi kepada aktor utama kebencian meski mereka tahu membenci ialah perkara terlarang dalam agama. Pada masa yang sama mereka menyemburkan kebencian kepada seseorang meskipun mereka tahu orang tersebut tak baik untuk dibenci.

BACA JUGA:  Saya Senang, Jika (Kembali KAJAKU)

Perkara lain yang menarik dalam pendistribusian kebencian ini ialah medium atau pun platform yang digunakan. Pada tahap awal kebencian diproduksi, platform utama ialah arena pengajian yang diubah menjadi simulakra, di mana arena pengajian yang semula sebagai pusat transfer of knowledge keagaaman berubah menjadi arena produksi kebencian. Meski mereka sadar sedang berada di arena pengajian, namun mereka sudah tak dapat lagi membedakan apakah sedang mengaji atau sedang menyerap kebencian yang didistribusikan oleh aktor utama.

Setelah itu, media sosial menjadi platform andalan. Grup watsap dibanjiri oleh foto, video dan teks hasutan dan caci maki lainnya. Begitu juga facebook, twitter, instagram dan paltform media sosial lainnya. Sangat menarik ketika memperhatikan pola yang tidak berubah meskipun platform sudah berganti. Ini menunjukkan betapa kebencian itu memang sengaja diproduksi untuk memenuhi keperluan ketergantungan terhadap membenci pada diri pembenci.

Karena tulisan ini hanya bersifat abstraksi dari Haters Studies lebih lanjut, maka ia tak dapat memberikan gambaran komprehensif tentang bagaimana kebencian itu sudah mengubah realitas menjadi hiperrealitas. Namun dari gambaran singkat di atas, setidaknya tulisan ini dapat memberikan pemantik teoretik bahwa semakin jauh jarak umur dan zaman pembenci dengan TGB, maka semakin mudah dan laris manis kebencian itu diproduski.

Pola yang paling mencolok, misalnya, aktor utama kebencian itu memang sengaja mengaburkan TGB sekabur-kaburnya agar semakin sedap dijadikan objek kebencian. Dengan kata lain, semakin jauh jarak umur, jarak waktu, jarak zaman pembenci dengan TGB, maka TGB akan semakin kabur hingga memang TGB benar-benar diobjektivikasi dalam kegelapan total agar produksi kebencian semakin menguntungkan mereka.

Hal tersebut sekaligus menguatkan yang, kebencian tersebut tidak akan berkesudahan sebab ia sudah benar-benar menjadi brand. Menjadi dagangan sosial yang utama sumber keuntungan legitimasi sosial keagamaan sang aktor utama.

Itulah sebabnya Haters Studies, kelak akan menjadi satu disiplin yang penting untuk membawa Nahdlatain menuju pencerahan kembali: The enlightenment reborn.

Malaysia, Ujung Bulan Syawal 1442 H.