Dari Diskusi HMI Cabang Mataram: “Aktivis itu Manusia Pilihan!”

MATARAMRADIO.COM, Mataram –  Suka tidak suka, pandemi Covid 19 ternyata membuat banyak perubahan seiring kebijakan tatanan kehidupan baru yang sedang dijalani semua orang. Termasuk para pegiat pers atau media dan aktivis mahasiswa yang disebut sedang mengalami krisis identitas dan menurunnya produktivitas dalam melakukan aksi dan gerakan sebagai agen perubahan sosial atau agent of social change. Lantas?

Adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Mataram yang coba membedahnya lewat sebuah diskusi malam mingguan bertajuk Peran Media dan Aktivis dalam Menghadapi Berbagai Dinamika di Tengah Pandemi.  Mengambil lokasi di Kedai Kopi Hang Out  Depan Kampus Fakultas Tehnik Ummat Mataram pada Sabtu (20/3) mulai Pkl. 19.30 Wita dan berakhir hingga 22.30 Wita.  Di luar perkiraan, acara diskusi ternyata cukup ramai dan seru. Diikuti sediktinya 50-an peserta dari berbagai organisasi mahasiswa kampus di Kota Mataram.

Acara dikemas layaknya sebuah talkshow interaktif dipandu Fahrirahman, Ketua Bidang Riset Pengembangan Teknologi HMI Cabang Mataram. Sedangkan yang didaulat sebagai narasumber antara lain Sukri Aruman, selaku Praktisi dan Konsultan Media yang juga Penanggungjawab portal berita mataramradio.com, kemudian  Arif Kurniadin, Ketua HMI Badko Bali Nusra dan Eko Saputra selaku Ketua Umum HMI Cabang Mataram.

Suasana diskusi malam mingguan yang digelar HMI Cabang Mataram berlangsung hangat dan seru I foto: Istimewa

Selaku pemantik diskusi, Eko Saputra membeberkan berbagai hal terkait kondisi aktivis kampus di era kekinian terutama akibat pandemi Covid 19 yang dinilainya sangat mempengaruhi dinamika kehidupan kampus terutama aktivis mahasiswa dalam melakukan aksi dan gerakan.”Aktivis itu mitra kritis pemerintah dalam mengkritisi berbagai masalah yang ada. Baik di tingkat eksekutif, legislatif maupun universal pada bangsa dan pemerintah daerah,”ulasnya.

Menurut Eko, pandemi Covid 19 ikut mengubah wajah aktivis yang senang bersosialisasi sebagai mahluk sosial menjadi personal, individualistik dan egoisme pun muncul dalam pergerakan aktivis. “Pertemuan digital tidak efektif dibanding dengan tatap muka. Walaupun demikian inovasi dan kreasi sebagai modal menghadapi tantangan dunia,sebutnya.

Dikatakan Eko, di masa pandemi Covid 19, peran media penting sebagai instrumen menyampaikan informasi atas peristiwa yang terjadi kepada publik sebagai public knowledge, Inilah peran yang sangat kompatibel untuk menghindari kesan pesimis masyarakat. “Karena tidak bisa dipungkiri media penting memberikan pencerahan di era post truth dimana kebohongan yang diulang terus-menerus akan menjadi kebenaran,”jelasnya seraya menyebutkan bagaimana negara maju banyak juga memanfaatkan media sebagai agenda propaganda.

Eko juga mengingatkan pentingnya menggunakan berbagai sarana yang ada dalam membangun komunikasi satu sama lain termasuk menyuarakan aspirasi baik melalui media sosial.”Memanfaatkan media ini menjadi semacam keniscayaan agar visi dan misi kita bisa sampai pada target sasaran. Kita juga perlu tahu bagaimana sesungguhnya media bekerja di dalam situasi seperti sekarang. Intinya aktivis harus membangun optimisme bukan pesimis dan semua orang berangkat dari hati,”tandasnya seperti ingin memancing peserta untuk bertanya lebih jauh pada sesi dialog.

Sementara itu, Arif Kurniadin dalam pengantar diskusinya menyoroti sosok aktivis yang hadir pada acara diskusi tersebut sebagai orang-orang pilihan.”Setiap orang bisa menjadi aktivis. Tetapi tidak semua orang bisa menjadi aktivis. Persoalan aktivis bukan soal gampang. Aktivis harus responsif terhadap setiap persoalan, tetapi terkadang kita disempitkan hanya mengontrol kekuasaan.Padahal banyak hal urusan sosial kemasyarakatan. Tetapi sekarang ini kesannya aktivis hanya mengontrol kebijakan kekuasaan,”ulasnya.

BACA JUGA:  Ada Apa Dengan Hasil Fit and Proper Test KPID NTB?

Padahal, lanjut Arif, Berbicara keterlibatan aktivis dari zaman sumpah pemuda sampai hari ini selalu diwarnai dengan dinamika di setiap perkembangan zaman. Maka sejujurnya orang-orang yang menjadi aktivis adalah orang-orang pilihan. “Ada beberapa kelompok yang mengatakan tugas aktivis mencari kesalahan kekuasaan. itu yang saya anggap sebagai kelompok hedonis,”sungutnya.

Ia juga mengakui Tidak boleh dipisahkan perjuangan keberadaan aktivis dengan media.”Pengalaman saya selama di lapangan, saya selalu dilegitimasi media. Tidak mungkin saya mengkritik Jokowi kalau tidak bisa saya suarakan melalui media. Tetapi kita perlu bertanya apakah kawan media tulus atau tidak,”ujarnya ragu.

Arif juga menyoroti Aktivis kontemporer, tidak sedikit aktivis yang sejujurnya pernah menjadi tameng kepentingan rakyat, hari ini otaknya diracuni kekuasaan. “Silakan kawan HMI lakukan silaturahmi dengan siapapun juga, tetapi tidak mengendorkan semangat kritis. Resiko jadi aktivis sangat besar, tidak sedikit yang dialami, diintimdasi, dihilangkan bahkan diracun. Tetapi aktivis tidak boleh gentar,”tegasnya menyemangati.

Menyorot bencana Covid,lanjut Arif, bukanlah ancaman untuk menyampaikan aspirasi, karena semua pengambil kebijakan di negeri ini menggunakan dunia maya. “Maka aktivis juga harus canggih, tetapi terkadang orang yang kepanasan bukan yang kita kritik tetapi mereka yang ingin mendapat perhatian dari kekuasaan. Menjadi aktivis tidak sebatas mengkritik menghakimi kekuasaan, tetapi aktivis juga terlibat aktif dan bergandengan tangan dengan kekuasaan sepanjang programnya berkaitan dengan kepentingan rakyat. Ketika ada persoalan dengan kebijakan rakyat, maka aktivis harus melibatkan diri bergandengan tangan dengan kekuasaan,”harapnya.

Dalam pandemi sekarang ini banyak hal yang bisa dilakukan aktivis. Karena banyak sektor yang terpengaruh terutama sektor pendidikan, ekonomi dan kesehatan.”Disinilah kita ambil bagian melibatkan diri secara penuh dan mengajukan konsep yang dapat dipertanggungjawabkan tetapi tidak menghilangkan tanggungjawab kita mengkawal kebijakan. Tugas aktivis bukan menjustifikasi kekuasaan bersalah tetapi selalu menyuarakan bila ada indikasi penyelewengan. Aktivis wajib sensitif, sayangnya, ketika kita mengkritisi kebijakan anggaran Covid, ternyata ada juga aktivis yang mati-matian membela kekuasan dan mempertanyakan kita mana data, Padahal tugas kita bukan menjustifikasi kekuasan itu bersalah, aktivis bukan mencari kesalahan kok,’sungutnya.

Sedangkan Sukri Aruman selaku Praktisi dan Konsultan Media menyoroti pentingnya para aktivis memahami kerja-kerja media dan bahkan aktivis juga bisa terlibat di dalamnya dengan menjadi jurnalis warga.  Dalam paparannya yang menyoroti jurnalisme warga di era disrupsi media, mantan Ketua KPID NTB ini menyebutkan bahwa perkembangan teknologi komunikasi dan informasi saat ini berkembang sangat pesat bahkan tidak bisa diimbangi dengan regulasi media yang memadai.”Saat ini fenomena jurnalis warga sedang jadi trend. Apalagi era media sosial yang mulai menggerus media massa, jumlah pengguna internet di Indonesia menurut data terbaru tahun 2021 menunjukan angka fantastis, lebih dari 73% masyarakat Indonesia terkoneksi dan memanfaatkan internet untuk berbagai keperluan. Artinya, aktivis mahasiswa juga bisa menyampaikan aksinya tidak mesti menggelar aksi jalanan, tetapi memanfaatkan teknologi dan aplikasi platform digital dengan menjadi konten kreator sesuai selera masing-masing. Ya, kita kan sekarang sudah terbiasa mendengar istilah semacam viral, he gaes, jangan lupa like, share and subscriber, itu fenomena dan kita tidak bisa mengelak. Tinggal bagaimana memanfaatkan kemajuan teknologi itu untuk menjadi aktivis yang kritis tapi kreatif dan produktif tanpa kehilangan idealisme menyuarakan kebenaran. Disinilah pentingnya makna sebagai jurnalis warga, karena setiap orang bisa menjadi pewarta untuk kabar baik,”paparnya panjang lebar.

BACA JUGA:  Lagi,Gugus Tugas Lotim Tetapkan 4 PDP Covid 19

Aktivis Menggugat Peran Media

Ketika digelar sesi tanya jawab, ternyata tak sedikit peserta yang meminta klarifikasi terkait dugaan mahasiswa hari ini hanya mementingkan diri sendiri dan kurang kepekaan sosial, bahkan juga mempertanyakan peran media di musim pandemi yang dianggap tidak berpihak pada publik tetapi kepada penguasa.”Tolong kami dijelaskan, apa sih sebenarnya peran media massa di musim pandemi saat ini. Rasanya kok media cenderung menyoroti protokol kesehatan melulu dan lupa yang lain,”tanya seorang aktivis yang mengaku dari Kampus Faterna Unram.

Ada juga aktivis mahasiswi yang merasa kurang terima dengan paparan narasumber yang menilai aktivis mahasiswa kekinian tidak gereget dan kurang gencar.”Kita dituntut sebagai aktivis yang harus banyak terlibat tetapi disisi lain banyak aktivis disebut cenderung mementingkan diri sendiri, kepentingan dirinya, bagaimana ini,”tanya mahasiswi yang menyebut namanya Baiq.

Pernyataan lantang diungkapkan aktivis bernama Firman yang menilai belum ada media di NTB yang berani bicara fakta berkaitan dengan dugaan penyimpangan dan penyelewengan kebijakan pemerintah di musim pandemi.”Menurut saya aktivis dan jurnalis itu harus membangun simbiosis mutualisme, maka pengetahuan menjadi penulis berkualtas yang kreatif dan produktif itu juga penting,”ungkapnya.

Ungkapan bernada kekecewaan juga diluapkan seorang peserta bernama Badai yang menyoroti efek pandemi Covid 19 yang mempengaruhi semua lini kehidupan.”Kebijakan Negara, aktivis dan media tidak sejalan. Kami sering gagal menghadirkan media ketika aktivis menggelar aksi yang sesungguhnya layak diliput, apa sih sebenarnya maunya media agar bisa dipahami aktivis. Apa kami harus jatuh korban dulu, baru dianggap berita, harus anarkis dulu dan sebagainya baru dianggap layak berita,”tanya peserta tadi.

Para narasumber pun memaparkan pandangan sesuai dengan kapasitas masing-masing. Bahkan Arif Kurniadin, Ketua HMI Badko Bali Nusra justru mengajak para aktivis membangun relasi yang baik dengan media massa sebagai mitra strategis memviralkan misi dan aksi gerakan.”Saya sangat mendukung apapun bentuk komunikasi dan relasi yang dibangun oleh aktivis dengan jurnalis atau media sepanjang untuk kepentingan publik. Kita dukung dan terus lakukan itu,”katanya.

Ia juga tidak bisa menampik bahwa ada aktivis yang berkolaborasi dengan kekuasaan untuk semacam menjadi pembanding dan kerapkali mempertanyakan aksi dan gerakan aktivtis tanpa data, fakta dan dasar hukum yang kuat.”Jangan pernah terprovokasi dengan mereka, sebab yang terpenting bagi aktivis bagaimana kepentingan publik itu disuarakan dan sampai kepada pengambil kebijakan. Mengenai data dan apapun namanya itu, akan berproses seiring waktu, yakini itu,”katanya.

BACA JUGA:  Tak Ada Waktu Berleha-leha, H Rachmat Hidayat Ingatkan Pj Gubernur NTB Segera Benahi Tata Kelola Birokrasi dan Keuangan Daerah

Sementara itu, berkaitan dengan sorotan terhadap perilaku media massa yang dinilai belum berpihak pada aktivis, Sukri Aruman justru balik mengajak mahasiswa untuk bersiap-siap menjadi jurnalis warga.”Media itu kan perusahaan juga, maka ada banyak aturan dan kebijakan yang ada di dalamnya termasuk kebijakan redaksional. Maka penting bagi aktivis memahami kerja-kerja media dalam menentukan isu dan kasus atau peristiwa yang dianggap penting untuk mereka liput termasuk bila ada aksi demo yang digelar elemen mahasiswa,”katanya.

Sukri lebih lanjut menyoroti pentingnya aktivis memahami berbagai regulasi yang berkaitan dengan media dan informasi.”Sebagai jurnalis dan aktivis, masalah yang dihadapi beda tipis, tak jauh dari urusan hukum, manakala aksi dan beritanya berpotensi diperkarakan orang. Jurnalis dan aktivis bisa terancam sanksi pidana karena saat ini, banyak aturan yang mesti diwaspadai dan cenderung menerapkan pasal karet seperti dalam UU ITE yang telah memakan korban jurnalis masuk penjara. Padahal karya jurnalistik selayaknya diadili dengan UU Pers dan tidak boleh ada kriminalisasi kepada pekerja pers,”tandasnya.

Ia juga menyoroti fakta bahwa di tengah era industrialisasi pers dengan persaingan yang makin ketat, memang tidak sedikit media yang juga memiliki kebijakan sendiri yang kerap tidak sejalan dengan kepentingan khalayak.”Contoh sederhana,bagaimana seorang jurnalis TV Jakarta yang ada di NTB mengeluhkan kebijakan manajemen media mereka yang mengharuskan wartawan mereka mencari berita yang berkaitan dengan kasus kekerasan dan tindak kejahatan lainnya. Mereka mengeluh karena itu syarat utama kalau ingin berita mereka gampang ditayangkan. Berita kriminal kata mereka ratingnya tinggi, maka kepentingan bisnis media juga jadi parameter mengelola isu,”sebutnya.

Namun demikian, Ia juga mengajak para aktivis untuk semakin meningkatkan keahliannya dalam menguasai teknologi informasi dan komunikasi yang makin canggih saat ini. Menggunakan media sosial menjadi hal yang tidak bisa dielakkan lagi, karena saat ini bukan lagi era kejayaan media mainstream seperti 10 tahun lalu ketika TV, media cetak dan radio masih jadi media paling populer.”Hari ini kita berhadapan dengan media sosial dan setiap orang bisa jadi konten kreator sebagai youtuber, fesbuker, instagramer dan lain-lain. Aktivis juga harus gunakan itu dan soal bagaimana menjadi jurnalis warga, penulis yang berkualitas dan konten kreator yang sukses kita perlu tindaklanjuti pada sesi diskusi selanjutnya,”tandasnya.

Tak terasa, waktu semakin larut dan sesi diskusi berakhir pada Pkl 22.30 Wita. Moderator pun tidak memberi kesempatan lagi sejumlah penanya yang meminta diberi kesempatan menyampaikan uneg-unegnya.”Mohon maaf kawan-kawan, untuk yang masih belum puas dan penasaran, diskusi bisa kita lanjutkan di luar forum ini. Mengingat waktu yang tidak memungkinkan,”jelas moderator seraya mengajak para peserta, aktivis mahasiswa  untuk tetap semangat berkarya dan kritis di tengah pandemi Covid 19. Semoga! (Editor MRC)