Suatu malam di Taman Budaya Mataram, saya ngobrol seru dengan Ahmad Bages, musisi senior di Mataram.
Usianya kini 79 tahun. Tetapi ia nampak tak tua-tua. “Teman-teman seusia ana (saya) sudah banyak ji’un (meninggal dunia). Kalau pun masih ada yang hidup, rata-rata mereka stroke,” sahutnya. Ujaran sekaligus sebuah penegasan, menjadi seniman musik memberi dampak umur panjang dan tak rentan segala macam penyakit. Seni adalah semacam imunisasi yang mempertangguh jiwa dan raga.
Dengan bakat musiknya, Bages mendapat prioritas menjadi PNS sejak Gatot Soeherman memimpin NTB di tahun 80an. “Ana ditawari langsung Pak Gatot. Tapi ana ndak langsung terima. Ana bilang pada Pak Gatot, ana musti minta ijin dulu kepada ibu ana,” kenang Ahmad Bages.
Ijin pun diberikan sang bunda. Bages memulai mengabdi di kantor Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7). Instansi yang begitu populer di masa rezim Soeharto yang secara masif menyelenggarakan penataran-penataran tentang Pancasila. “Ana dapat jatah beras setiap bulan. Ana pernah berikan ayam beras itu. Ternyata dikais-kais dulu, baru dipatuk sedikit-sedikit,” tuturnya.
Bages tak merasa punya pekerjaan yang relevan dengan tugas-tugas kantor, hingga saat ia pensiun beberapa tahun lalu. “Kerjaan utama ana hanya main musik. Ana main keyboard tiap malam memberi hiburan,” katanya, sambil menjelaskan semasa aktifnya sebagai pegawai ia telah berdinas di 10 instansi.
Nasib mujur selalu menyertai lelaki yang memiliki silsilah dari lembah padang pasir Hadramaut, Yaman, negeri asal Nabi Hud dan Saleh ini. Bahkan belum lama setelah ia purna tugas, ia diminta kembali bekerja di sebuah kantor di jajaran pemerintah provinsi.
Lebih dari setengah abad bermusik, Bages telah memainkan keyboard dari berbagai merek dunia. Dengan tiada hari tanpa main musik, menjadikan kepiawaian lelaki ini sulit dicari tandingannya.
Ia menceritakan organ terbarunya, salah satu seri terakhir Yamaha. “Ini keyboard luar biasa. Hampir semua sample lagu di dunia ini ada di keyboard ini. Iblis pun ana bisa iringi menyanyi, sepanjang sample-nya ada. Ana tinggal mainkan dan iringi saja,” ujarnya.
Saya mengatakan sewaktu-waktu akan berkunjung ke rumahnya, melihat dan mencoba memainkan keyboard-nya yang dahsyat itu. Ia menanggapinya sungguh-sungguh. “Ente tinggal bawa flashdisk. Ente copy semua sample yang ada. Gratis untuk ente. Ndak usah dibayar. Mungkin dengan jalan itu kelak ana bisa masuk surga,” ucapnya ceplas-ceplos.
Dan malam semakin larut. Kami berpamitan.
Penulis: Buyung Sutan Muhlis