Trump Bekukan VOA! Pers Bebas Amerika di Ujung Tanduk?

Presiden Amerika Serikat ke-45 itu resmi mengeluarkan perintah eksekutif yang membekukan semua media di bawah US Agency for Global Media (USAGM), termasuk Voice of America (VOA), Radio Free Asia, Radio Marti, Radio Liberty, dan Middle East Broadcasting Networks.

Langkah mengejutkan ini diumumkan pada Sabtu (15/3) dan langsung berdampak besar pada keberlangsungan media-media yang selama ini dikenal sebagai corong kebebasan pers Amerika.

VOA Dimatikan: Jurnalis Kehilangan Akses

Keputusan Trump ini bukan sekadar wacana politik. Para jurnalis VOA di berbagai belahan dunia, termasuk di Washington, D.C., menerima pemberitahuan resmi bahwa mereka tidak lagi dapat bekerja.

“Saya menerima email yang menyatakan bahwa VOA dibekukan dan kantor ditutup untuk sementara. Kami semua terkena administrative leave hingga ada pemberitahuan lebih lanjut,” ujar seorang jurnalis VOA yang telah bekerja selama 20 tahun.

BACA JUGA:  Sukseskan NTB Maju Melaju, Bunda Lale Dukung Empat Program Pj Gubernur

Seorang produser VOA lainnya bahkan menyebut bahwa seluruh sistem telah dimatikan. “Kami tidak punya akses sama sekali, bahkan email dan Microsoft Teams juga tidak bisa digunakan,” ungkapnya melalui pesan WhatsApp.

Trump & Musk: Duet Kontroversial di Balik Pembekuan VOA

Sejak lama, Trump dan kelompok Make America Great Again (MAGA) menuduh VOA sebagai media yang dikendalikan kelompok kiri dan liberal. Tuduhan ini membuat anggaran USAGM menjadi sasaran pemotongan dana oleh Elon Musk, yang mendukung kebijakan Trump dalam mengurangi pembiayaan media pemerintah.

Musk, pemilik platform X (sebelumnya Twitter), secara terang-terangan menyebut bahwa VOA dan media USAGM bukanlah aset, melainkan beban.

VOA: Pilar Kebebasan Pers Amerika yang Kini Terkikis

BACA JUGA:  Bunda Lale Sambut Lombok TV Berkolaborasi untuk Kemajuan NTB

Didirikan 83 tahun lalu saat Perang Dunia II, VOA lahir untuk melawan propaganda Nazi Jerman. Dalam siaran perdananya pada Februari 1942, penyiar VOA William Harlan Hale mengatakan:

“The news may be good for us. The news may be bad. We shall tell you the truth.”

Mantan jurnalis VOA, Frans Padak Demon, yang bekerja selama 14 tahun di media tersebut, menegaskan bahwa selama bertugas, ia tidak pernah mengalami intervensi pemerintah AS dalam pemberitaan.

“Meskipun saya menerima gaji dari pemerintah Amerika melalui Kedubes AS di Jakarta, tidak pernah ada arahan untuk meliput atau menyembunyikan suatu berita,” ujarnya. Bahkan, ia sering mendapat instruksi dari direktur VOA di Washington untuk melaporkan jika ada tekanan dari pemerintah.

Dampak Global: Amerika Kehilangan Alat Diplomasi Publik?

Selama ini, VOA menjadi alat penting diplomasi publik AS, terutama di negara-negara berkembang. Pada tahun 2005, hanya 6,4 juta orang Indonesia yang mengakses berita VOA setiap minggunya. Namun, pada 2016, angka ini melonjak menjadi 35 juta orang, berkat strategi pemberitaan yang lebih netral dan berfokus pada diaspora Indonesia di Amerika.

BACA JUGA:  Kemenangan Prabowo Gibran dan Masa Depan Kebebasan Pers

Dengan pembekuan ini, banyak yang khawatir bahwa sentimen anti-Amerika bisa meningkat, karena informasi objektif dari media seperti VOA tidak lagi tersedia untuk menandingi propaganda dari musuh-musuh Amerika.

Apa Selanjutnya?

Kini, 1.300 karyawan tetap VOA kehilangan pekerjaan, sementara kontrak para jurnalis lepas dinyatakan berakhir. Dunia pun menanti apakah keputusan ini akan bertahan atau ada upaya hukum untuk menentangnya.

Yang jelas, Trump dan Musk telah mengguncang kebebasan pers Amerika. Pertanyaannya, apakah ini awal dari pembungkaman media yang lebih besar?