Referendum Sasak: Darurat Representasi Politik Nasional

Situasi ini dapat dikatakan darurat apabila merujuk kepada kontribusi kebangsaan orang Sasak secara nasional sejak perjuangan kemerdekaan.

Namun sampai kemerdekaan ke-79 Indonesia, dan yang terkini dalam kabinet merah putih, keterwakilan orang Sasak belum dipandang penting di level kekuasaan nasional. Mari kita melihat rasionalitas paling sederhana.

Dalam pidatonya, salah satu alasan penting kenapa Prabowo memilih membentuk kabinet yang besar adalah karena kamajemukan Indonesia.

Jadi harus mempertimbangkan keterwakilan dari kepelbagaian etnis yang ada. Kalau keterwakilan etnis ini diukur dari populasi, maka orang Sasak tergolong populasi besar di Indonesia.

Bahkan jika dibandingkan dengan Bali dan Papua, dengan Bali hampir setara bahkan bisa jadi Sasak lebih banyak. Namun jika dibandingkan dengan Papua, ada kemungkinan besar Sasak masih jauh lebih banyak.

Kalau merujuk Badan Pusat Statistik (BPS) berdasarkan sensus penduduk 2020, populasi orang Sasak berada di garis yang setara dengan Aceh dan Bali yakni di kisaran 1,3 persen sampai dengan 1,7 persen.

Ini menunjukkan bahwa secara populasi, orang Sasak bukan etnis yang kecil di Indonesia. Terlepas dari sumber daya manusia yang mungkin terbilang masih berada di garis bawah, namun prinsip dasar keterwakilan, saya rasa tidak terlalu mengedepankan hal tersebut.

Dengan kata lain, sebodoh-bodohnya orang Sasak, pasti ada satu atau dua orang dari mereka yang layak dipilih sebagai wakil kekuasaan di pusat.

Jika kualitas sumber daya manusia benar-benar menjadi isu, mari kita coba melihat realitas, di mana kalau sekadar menjadi wakil menteri agama, misalnya, di Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, puluhan profesor atau pun doktor yang memahami al-Quran, moderasi beragama, lintas agama dan sangat mumpuni dalam bidang keilmuan mereka.

Termasuk kalau sekadar menjadi wakil menteri pariwisata, saya rasa Prabowo mengenal Taufan Rahmadi yang sudah berkontribusi secara nasional di bidang pariwisata pada era Sandiaga Uno.

Atau Syawaluddin (Aweng) yang dikenal sebagai pendukung mati Prabowo. Jangankan Prabowo disakiti, disentuh nyamuk pun, Aweng sanggup berkorban nyawa untuk Prabowo.

BACA JUGA:  Keberhasilan Kinerja Pj Bupati Lombok Timur dalam Pengendalian Inflasi, Stunting, Pelayanan Publik, dan Program Unggulan

Untuk kedua orang ini, bisa dibandingkan rekam jejak dan kontribusinya kepada kemenangan Prabowo dengan wakil menteri pariwisata yang dipilih Prabowo.

Begitu juga kalau sekadar menjadi wakil menteri pertanian, di Universitas Mataram sangat banyak profesor pertanian.

Bahkan, dalam catatan sejarah, Lombok pernah menjadi swasembada beras nasional pada tahun 1984 dengan program Gogo Rancah yang kemudian menggaungkan nama NTB atau Lombok sebagai Bumi Gora.

Ini membuktikan bahwa dalam bidang pertanian, orang Sasak bukan kaleng-kaleng.

Kalau politik itu dikaitkan dengan pembagian kekuasaan dan transaksi kuasa. Saya kira, orang Sasak mempunyai hak sangat besar menagih kompensasi politik dari Prabowo.

Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Lombok khususnya merupakan lumbung pemilih fanatik Prabowo (Prabowo harga mati). Sejak Prabowo bertanding menjadi presiden, siapa pun lawannya, Prabowo selalu menang besar di Lombok.

Bahkan ada olok-olokan sosial yang menyatakan, Jokowi tak perlu menghiraukan Lombok, karena dia selalu dipecundangi Prabowo dalam setiap pemilu. Dengan kata lain, Prabowo dijaminkan menang di Lombok, siapa pun lawannya.

Kita bisa melihat hasil Pemilu Presiden 2024 di Nusa Tenggara Barat (NTB), pasangan Prabowo -Gibran meraih kemenangan signifikan. Mereka mendapatkan 2.154.843 suara, unggul di semua kabupaten dan kota di NTB, termasuk di Lombok.

Total pemilih tetap (DPT) di NTB mencapai 3,9 juta, dengan 3,3 juta pemilih menggunakan hak suaranya. Pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar berada di posisi kedua dengan 850.539 suara, sementara Ganjar Pranowo-Mahfud MD di posisi ketiga dengan 241.106 suara (sumber Kompas dan Antara).

Kemudian mari kita bandingkan dengan perolehan sura Prabowo di Bali dalam Pemilu 2024. Meskipun unggul atas pasangan calon yang lain, namun mereka hanya memperoleh suara sah sekitar 1.454.640 suara.

Jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih di Bali mencapai 2.740.692 orang dari total 3.269.516 pemilih terdaftar. Bahkan di Aceh Prabowo mengalami kekalahan telak dengan hanya mendapatkan sekitar 787.024 suara sah.

Begitu juga di Papua, meskipun Prabowo menang, namun Papua hanya menyumbangkan perolehan sekitar 378.908 suara.

Data di atas menunjukkan, pertama, dibandingkan jumlah DPT di Bali dan Papua, DPT di NTB, khususnya di Lombok masih lebih banyak.

BACA JUGA:  NTB dan indeks Keterbukaan Informasi

Meskipun hampir sama jumlah DPT di Aceh dan NTB, namun data menunjukkan bahwa Prabowo kalah telak di Aceh dan menang sempurna di Lombok.

Kedua, meskipun di Bali Prabowo menang, namun sumbangan suara kemenangan tersebut hampir separuh lebih kecil jika dibandingkan dengan kontribusi kemenangan di Lombok.

Ketiga, jumlah kemenangan Prabowo di Provinsi Papua masih jauh lebih kecil dibandingkan kemenangan Prabowo di satu kabupaten di Lombok.

Termasuk jika melihat 6 provinsi yang ada di Papua hampir setara jumlah DPT dengan satu Provinsi NTB khususunya Lombok.

Merujuk kepada data di atas, di mana rasionalitas keterwakilan yang diargumentasikan Prabowo jika kenyataannya bahwa ada dua wakil menteri dari Bali yakni wakil menteri pariwisata dan wakil menteri komunikasi dan informasi.

Kemudian dua orang keterwakilan Papua (1 menteri dan 1 wakil menteri).

Dengan demikian, ada kewajaran jika timbul semacam kecurigaan. Selama ini, dalam setiap kabinet, baik dari era pemerintahan sebelumnya sampai era di mana harapan kesetaraan sosial (boleh baca etnis) dan keadilan yang merata digaungkan oleh Prabowo, keterwakilan Bali dan Papua selalu ada.

Apa ya, karena kedua etnis ini adalah etnis yang diemaskan. Etnis yang diistimewakan. Seolah-olah ada ketakutan dari pemerintah jika mengecewakan kedua etnis ini, Indonesia akan huru-hara secara nasional.

Apabila kekhawatiran itu benar ada, sepatutnya, hal sama berlaku terhadap Lombok. Karena meskipun Papua dikenal kaya sumber daya alamnya dan Bali sebagai magnet pariwisata dunia, namun kedua perkara ini juga bukan tidak dijumpai di Lombok.

Logikanya, jika Lombok tetap diproyeksikan sebagai bagian dari pariwisata unggulan Indonesia, keterwakilan Sasak wajib ada di kekuasaan pusat. Kekhawatiran stabilitas nasional yang ditimbulkan oleh sikap pengetepian pemerintah terhadap Papua dan Bali telah membuat mereka lupa, betapa ganasnya kermarahan orang Sasak.

Sekali lagi, agak susah menerima argumen politik kuasa Prabowo jika salah satu alasan memilih para menterinya berdasarkan keterwakilan etnis maupun balas jasa terhadap perjuangan politik sepanjang pemilu.

BACA JUGA:  Menolak TGB Jadi Menteri

Karena itu, adalah wajar kekecewaan orang Sasak dirasa membakar ubun-ubun. Demi memenangkan Prabowo, begitu banyak orang Sasak yang lebih memilih durhaka kepada Tuan Guru (pusat segala rujukan moral dan nilai orang Sasak).

Mayoritas orang Sasak dituduh tidak pandai berterima kasih kepada Jokowi yang selalu kalah telak oleh Prabowo di Lombok demi sikap politik rela mati untuk Prabowo, tetapi Jokowi memberikan komitmen pembangunan infrastruktur di Lombok yang sangat kuat.

Sikap politik orang Sasak terhadap kemenangan Prabowo sudah terbukti hampir 20 tahun. Lalu ketika melihat menteri yang dipilih Prabowo banyak yang tidak mencerminkan kekuatan tekad politik setia sebesar orang Sasak selama ini, wajar jika orang Sasak meradang.

Kecewa karena Prabowo yang mereka yakini sebagai orang nomor wahid dalam hal berterima kasih, tetapi dalam kasus orang Sasak, Prabowo menjadi orang lain.

Terlebih karena dari ucapan Prabowo sendiri terlontar terkait keterwakilan kepelbagaian etnis.

Prabowo perlu diberikan sinyal bahwa dalam hal jatah menteri, orang Sasak sangat sensitif. Karena selama ini orang Sasak merasa sangat direndahkan ketika etnis lain yang lebih kecil selalu ada keterwakilan.

Sedangkan mereka selalu dipatenkan sebagai etnis belakang Indonesia. Sebagi sebuah simbol, keterwakilan menteri di pusat kuasa selain menjadi kebanggaan juga menunjukkan kelas dan kualitas etnis yang diwakili.

Ini bermakna, orang Sasak merasa dikerdilkan dengan ketiadaan keterwakilan tersebut. Padahal, orang Sasak merasa sangat tidak pantas dikerdilkan atau dilainkan berdasarkan populasi dan kontribusinya terhadap negara bangsa, khususnya kepada kemenangan politik Prabowo.

Dengan begitu, saya rasa, mungkin marah Sasak perlu ditunjukkan hanya untuk membuka kesadaran kekuasaan dewa di Jakarta tentang betapa pentingnya berterima kasih dan menebar keadilan secara merata.

Kesetiaan orang Sasak terhadap Prabowo mungkin tiada penghabisan, tiada juga berpenghujung, namun itu tidak berarti kesabaran orang Sasak tidak memiliki batasan. Ini bermakna, marah Sasak bisa jadi dapat mengganggu stabilitas nasional.

Karena itu, sebagai ketaatan terhadap konstitusi, kemarahan orang Sasak bisa jadi ditumpahkan melalui referendum Sasak. Satu harga yang setimpal bagi kesetiaan yang tersakiti.

Malaysia, 21 Oktober 2024.