Waspadalah! BPOM  Temukan 188.640 Produk Pangan Tanpa Izin Edar

Kepala BPOM RI, Lucia  Rizka Andalusia menjelaskan, sejak 4 Maret 2024, Petugas BPOM di 76 unit pelaksana teknis (UPT) BPOM yang tersebar di seluruh Indonesia terjun ke lapangan melakukan pemeriksaan bersama lintas sektor terkait dan masyarakat. Kegiatan akan terus dilanjutkan hingga 1 minggu setelah Idulfitri.

Kegiatan pengawasan ini berfokus pada produk pangan olahan terkemas yang tidak memenuhi ketentuan (TMK), yaitu tanpa izin edar (TIE)/ilegal, kedaluwarsa, rusak, dan pangan takjil buka puasa yang mengandung bahan dilarang. BPOM menargetkan pengawasan pada sarana peredaran yang memiliki rekam jejak kurang baik, termasuk gudang marketplace, sesuai tren belanja masyarakat yang banyak dilakukan melalui online.

Sampai dengan kegiatan pengawasan tahap IV, pemeriksaan telah menyasar 2.208 sarana, terdiri dari 920 sarana ritel modern, 867 sarana ritel tradisional, 386 gudang distributor, 28 gudang importir, dan 7 gudang e-commerce. BPOM akan terus mengintensifkan pengawasan dan melaporkan jumlah sarana yang diperiksa hingga tahap terakhir intensifikasi pengawasan pangan.“Dari hasil pemeriksaan, kami menemukan 628 sarana (28,44%) yang menjual produk TMK berupa pangan TIE, kedaluwarsa, dan rusak, dengan jumlah total temuan pangan TMK sebanyak 188.640 pieces, yang diperkirakan bernilai lebih dari 2,2 Milyar Rupiah”, jelasnya dalam siaran pers yang diterima MATARAMRADIO.COM, Rabu (3/4).

BACA JUGA:  Peras Muda Mudi, Bangun Dibui
Plt Kepala BPOM RI, Lucia Rizka Andalusia

Hasil pengawasan memperlihatkan hasil yang positif yaitu terjadinya penurunan jumlah sarana TMK sebesar 13,14% dibandingkan tahun sebelumnya (723 sarana). Penurunan ini sejalan dengan upaya penguatan post-market yang dilakukan BPOM melalui pembinaan kepada pelaku usaha terkait penerapan cara peredaran pangan olahan yang baik (CPerPOB).

Jenis temuan pangan terbesar merupakan pangan TIE sebesar 49,03%. Produk ini banyak ditemukan di wilayah kerja UPT Tarakan (Kalimantan Utara), Pekanbaru, Palopo (Sulawesi Selatan), Banda Aceh, dan DKI Jakarta. Produk TIE ini berupa cokelat olahan, bumbu, permen, minuman serbuk, dan biskuit. Kemudian temuan pangan kedaluwarsa sebesar 31,89% (60.151 pcs) di wilayah kerja UPT Manado (Sulawesi Utara), Palopo (Sulawesi Selatan), Belu, Kupang, dan Ende (Nusa Tenggara Timur). Produk kedaluwarsa berupa jeli/agar/puding, minuman serbuk, bumbu, bahan tambahan pangan (BTP), dan mi/pasta.

Sementara untuk temuan pangan rusak sebesar 19,09% (36.006 pcs) banyak ditemukan di wilayah kerja UPT Semarang (Jawa Tengah), Pangkal Pinang (Bangka Belitung), Belu (NTT), Sofifi (Maluku Utara), dan Palopo (Sulawesi Selatan). Produk pangan rusak ini berupa ikan olahan dalam kaleng, mi/pasta, produk kental manis (susu/krimer), susu ultra high temperature (UHT)/steril, dan BTP.“Produk TIE impor banyak ditemukan di wilayah perbatasan negara seperti, Tarakan, Pekanbaru, dan Banda Aceh. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat jalur ilegal dan dibutuhkan pengawasan lintas sektor yang lebih intensif. Selain itu, produk TIE impor juga banyak ditemukan di wilayah yang banyak warga negara asing (WNA) berdomisili seperti di wilayah Jakarta dan Palopo. Hal ini karena tingginya demand/permintaan WNA terhadap produk tersebut”, jelas PLt Kepala BPOM.

BACA JUGA:  Kenali Gejala Awal Terpapar Virus Corona dari Ringan Hingga Berat

BPOM telah menindaklanjuti hasil pengawasan tersebut dengan melakukan langkah-langkah penanganan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran. Tindak lanjut ini termasuk melakukan pengamanan dan menginstruksikan retur/pengembalian produk kepada supplier produk TIE, serta pemusnahan terhadap produk rusak dan kedaluwarsa.

Selain pengawasan ke sarana secara langsung, BPOM juga melakukan pengawasan daring/online melalui patroli siber. Dari hasil patroli siber selama pelaksanaan intensifikasi pengawasan tahun ini, ditemukan 17.586 tautan yang menjual produk TIE pada platform e-commerce dengan nilai ekonomi lebih dari 31 Milyar Rupiah. BPOM telah berkoordinasi dengan Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) untuk melakukan penurunan konten (take down) terhadap tautan yang teridentifikasi menjual produk TIE.

Untuk meningkatkan kesadaran pelaku usaha dan mengurangi peredaran pangan TIE, BPOM berperan aktif memfasilitasi pelaku usaha, termasuk usaha mikro kecil (UMK) melalui pendampingan terhadap pemenuhan persyaratan pendaftaran produk pangan olahan. Masyarakat diimbau untuk tidak membeli produk TIE dan beralih ke produk lokal yang aman dan berkualitas. Hal ini penting untuk melindungi kesehatan dan mendukung perekonomian nasional.

Sementara itu, untuk pengawasan terhadap pangan jajanan buka puasa (takjil), BPOM melakukan sampling dan pengujian cepat di 1.057 lokasi sentra penjualan pangan takjil (3.749 pedagang). Pengujian dilakukan terhadap kemungkinan kandungan bahan dilarang digunakan pada pangan, yaitu formalin, boraks, dan pewarna (rhodamin B dan metanil yellow). Pangan mengandung bahan yang dilarang masih ditemukan pada pengawasan kali ini. Namun demikian, terjadi jumlah penurunan takjil yang tidak memenuhi syarat (TMS) sebesar 0,07% dibandingkan tahun 2023 (1,17%).

BACA JUGA:  Satgas Covid Sasar Kampus

Dari 9.262 sampel yang diperiksa, sebanyak 102 sampel (1,1%) mengandung bahan yang dilarang, yaitu formalin (0,53%), rhodamin B (0,30%), boraks (0,28%), dan metanil yellow (0,01%). Pengujian pada satu sampel takjil yang tidak memenuhi syarat (TMS) dapat menunjukkan hasil positif pada lebih dari satu parameter uji.

Konsumen Agar Cek KLIK

BPOM berkomitmen terus mengawal keamanan pangan dalam rangka melindungi kesehatan masyarakat, terutama selama Ramadan dan Idulfitri. Pelaku usaha pangan kembali diminta untuk terus mematuhi peraturan perundang-undangan sehingga dapat menyediakan pangan yang aman bagi masyarakat.

Selain itu Plt. Kepala BPOM juga menyampaikan pentingnya menerapkan Cek KLIK (Cek Kemasan, Label, Izin Edar, dan Kedaluwarsa) sebelum membeli atau mengonsumsi pangan. Masyarakat juga diimbau untuk membaca informasi pada label, memeriksa informasi nilai gizi, dan tetap memperhatikan kandungan gula, garam, dan lemak (GGL) pada pangan yang dikonsumsi.

Masyarakat dapat memilih pangan olahan yang mencantumkan Logo Pilihan Lebih Sehat. Logo ini diberikan pada pangan olahan yang telah memenuhi kriteria “lebih sehat” berdasarkan kandungan gizi dibandingkan dengan produk sejenis, apabila dikonsumsi dalam jumlah wajar. (editorMRC)