Revlon Bangkrut, Ini Penyebabnya!

MATARAMRADIO.COM – Perusahaan kosmetik Revlon Inc. mengajukan kebangkrutan Chapter 11 ke pengadilan sebagai dampak dari ketidakmampuan mengelola beban utangnya yang berat setelah gagal memanfaatkan ledakan penjualan kosmetik yang didorong oleh influencer sosial media.

Perusahaan kosmetik yang dimiliki oleh miliarder Ron Perelman ini mencari perlindungan pengadilan di Distrik Selatan New York setelah krisis rantai pasokan global dan inflasi yang tajam memperdalam tekanan pada kinerja perseroan.

Laporan Bloomberg, Kamis (16/6/2022), Revlon tidak mampu mengimbangi saingannya L’Oreal SA dan Estee Lauder Cos. serta merek makeup dan perawatan pribadi pemula yang telah beralih ke blogger video dan influencer Instagram untuk mendorong pertumbuhan.

Dalam pengajuan pengadilannya, Revlon mencatatkan aset senilai total US$2,3 miliar pada akhir April 2022. Nilai itu berbeda dengan total utang sebesar US$3,7 miliar, yang termasuk 6,25 persen senior notes yang jatuh tempo pada 2024, menurut dokumen pengadilan tertanggal 15 Juni 2022. Pengajuan Chapter 11 memungkinkan perusahaan untuk terus beroperasi sambil menyusun rencana untuk membayar kreditur.

BACA JUGA:  NTB Songsong Swasembada Daging

Kebangkrutan menutup periode yang penuh gejolak bagi perusahaan, yang menderita selama pandemi dan menghadapi penurunan penjualan selama bertahun-tahun karena selera konsumen berubah dan merek-merek pemula memakan pangsa pasarnya.

Sebagai catatat, Revlon yang berusia 90 tahun ini mulai menjual cat kuku di tengah periode Great Depression, dan kemudian menambahkan produk lipstik ke dalam koleksinya. Pada 1955, Revlon masuk ke pasar internasional.

Perusahaan induk Perelman, MacAndrews & Forbes Inc., mengambil alih Revlon dalam pengambilalihan yang sengit pada tahun 1985, mendanai kesepakatan dengan junk debt yang diajukan oleh Michael Milken.

BACA JUGA:  Bunda Niken Dorong UMKM Kembangkan Produk Dimasa Pandemi

MacAndrews & Forbes pada satu titik menggugat Revlon atas penerimaan perusahaan atas tawaran yang lebih rendah dari Forstmann Little & Co., menghasilkan keputusan pengadilan Delaware yang penting tentang tugas fidusia anggota dewan direksi. Peristiwa ini dijuluki “Revlon Rule.”

Berdasarkan data yang dihimpun Bloomberg, terlepas dari obligasi dolar, Revlon memiliki 10 pinjaman dengan jumlah total sekitar US$2,6 miliar dan jatuh tempo dalam tiga tahun ke depan. Beban utang perusahaan terbukti memberatkan, terutama setelah menggalang dana lebih dari US$2 miliar pinjaman dan obligasi untuk mendanai akuisisi Elizabeth Arden pada 2016. Perusahaan juga memiliki merek termasuk Cutex dan Almay, dan pasar di lebih dari 150 negara.

BACA JUGA:  Rp 6.118 Triliun Kenaikan Utang Luar Negeri Indonesia

Dalam beberapa tahun terakhir, Revlon berjuang untuk bersaing dengan merek baru yang banyak beriklan di media sosial. Pandemi memberikan pukulan lain, dan baru-baru ini, perusahaan berjuang untuk mengatasi masalah rantai pasokan dan inflasi yang mengurangi margin.

Revlon sebenarnya berupaya mencegah beberapa potensi gagal bayar dengan memotong kesepakatan dengan kreditur untuk mengerjakan ulang kewajibannya di luar pengadilan. Namun entah mengapa Revlon justru terjerat dalam salah satu kesalahan paling terkenal di industri perbankan.

Ketika itu Citigroup Inc. yang berniat untuk memproses pembayaran bunga pinjaman rutin malah secara keliru membayar beberapa kreditur Revlon hampir US$900 juta. (EditorMRC))