Kupi dan orang Sasak ialah saudara kandung yang mempunyai sejarah panjang. Cukup berlinang dikenang karena dari deretan sejarah itu, rupanya persaudaraan tersebut penuh dengan penderitaan. Jika ditilik dari sudut nature, kupi ialah kakak bagi orang Sasak. Kakak yang menyebabkan banyak kesengsaraan.
Kakak yang membuat parakaya, parakuasa datang ke halaman rumah orang Sasak yang lemah. Maka jadilah sang adik sebagai budak yang menanam dan memetik sang kakak demi keperluan hidup mewah dan perdagangan kelompok elite yang pada akhirnya menjadi penjajah bagi orang Sasak.
Pada mulanya, meskipun sebagai penanam dan pemetik, orang Sasak tak pernah benar-benar dapat menikmati kupi terbaik sebab yang terbaik itu untuk didagang dan dikonsumsi oleh parakaya parakuasa. Orang Sasak yang melihat betapa besar keuntungan dari komoditas kupi, pun mulai berpikir, pasti sang kakak bukan sembarang benda. Akhirnya mereka mencoba mencicipi sang kakak. Namun amat disayangkan, hanya bagian sampah kupi yang menjadi jatah para budak.
Orang Sasak tak bodoh-bodoh amat meskipun dalam keterjajahan. Mereka berpikir, sampah kupi saja begitu nikmat, apalagi yang diperdagangkan dan dikonsumsi penjajah. Maka satu-satunya cara untuk tetap berhubungan dengan sang kakak, orang Sasak membangun budaya minum sampah kupi. Sampah sang kakak yang dibuang oleh parakaya parakuasa, oleh orang Sasak dioleh sedemikian rupa untuk mendapatkan cita rasa tinggi dari kupi tersebut. Meskipun hanya sampah kupi, orang Sasak pun telah berhasil membangun satu daya juang hidup yang, setelah ratusan tahun kemudian, mereka mulai mengambil peran yang agak menguntungkan dari sang kakak.
Karena hubungan orang Sasak dengan kupi ialah saudara kandung. Maka dalam konsep mereka, kupi tidak diperjualbelikan. Pada awal-awal kesadaran hubungan persaudaraan tersebut, kupi dijadikan sebagai pengikat hubungan sosial dalam ruang lingkup kecil maupun besar. Kupi ialah medium membangun peradaban sekaligus dalam perkembangannya, kupi ialah alat politik kebudayaan orang Sasak.
Ratusan tahun sebagai saudara, kupi dihidangkan sebagai ekspresi kemanusiaan. Meskipun dalam keterjajahan yang panjang, boleh dikatakan, amat jarang rumah orang Sasak yang tidak menyimpan kupi. Sebab kupi ialah pembuka hari, di mana orang Sasak akan menyantapnya sembari sembang di waktu pagi. Di sebalik itu, kupi juga ialah pintu masuk orang Sasak untuk menyelami kemanusiaan terdalam dengan keluarga, tetangga, maupun tamu. Bahkan, salah satu guna-guna paling topcer di kalangan orang Sasak, dioperasikan melalui medium kupi.
Begitu pentingnya kedudukan kupi, bahkan salah satu standar kedewasaan dan kematangan wanita Sasak dilihat dari kemahiran mereka memproses kupi. Proses dasar selepas memetik ialah memilih kupi, lalu menjemur kupi, menyimpan biji kupi. Setelah itu mencampur kupi dengan bahan lain sebelum menggoreng kupi. Kadar percampuran dengan bahan lain dalam tahap penggorengan kupi ialah salah satu fase penentuan, di mana pada fase inilah kedewasaan dan kematangan wanita Sasak mulai diuji secara mendalam. Percampuran dalam proses penggorengan menentukan rasa seterusnya.
Selanjutnya, cara menggoreng, durasi kupi berada dalam kuali gorengan, kadar kepanasan api. Setelah itu menumbuk kupi. Untuk yang satu ini, kemahiran tingkat tinggi amat diperlukan. Maka, wanita Sasak akan segera membangun sistem dalam pemrosesan kupi ini. Mereka tidak bekerja sendiri, namun pembagian kerja ditentukan berdasarkan tingkat kedewasaan dan kematangan wanita Sasak. Di sinilah dapat dilihat secara jelas struktur kualitas diri itu, di mana mereka yang menumbuk kupi dan menentukan tingkat kehalusan kupi merupakan wanita Sasak yang dapat dikategorikan sebagai yang paling matang dan dewasa. Jika ia gadis, maka sudah siap menikah. Dan jika ia janda, maka ia adalah janda yang memiliki kehormatan.
Salah satu proses akhir ialah penyimpanan kupi. Tahap ini menjadi penting karena tempat penyimpanan kupi akan memengaruhi rasa dan daya tahan kupi. Itulah sebabnya, lidah orang Sasak sangat akrab dengan rasa kupi dan hubungannya dengan tempat penyimpanan sekaligus lama waktu penyimpanan kupi tersebut. Tempat penyimpanan yang tepat dan lama waktu penyimpanan yang terukur akan menentukan kelas kupi.
Kembali kepada hubungan orang Sasak dan kupi. Falsafah dasar orang Sasak terkait kupi ialah kemanusiaan. Maka dalam rentang ratusan tahun, tidak ada ditemukan dalam konsep kebudayaan orang Sasak, kupi sebagai komoditas bisnis. Maka jika pada akhirnya orang Sasak terlibat dalam perdagangan kupi, perkara ini perlu dilihat dalam diskursus yang lain.
Sejak kapan orang Sasak memperjualbelikan kupi? Jawaban ini tidak mudah ditemukan. Namun secara sederhana dapat digambarkan melalui evolusi pemikiran kebudayaan orang Sasak tentang kupi. Pasca era penjajahan orang Sasak, mereka masuk fase pemertahanan hidup yang baru. Jika sebelumnya mereka bertahan hidup dari penjajah, fase berikutnya ialah bertahan hidup dari kelaparan. Maka, segala sumber digunakan untuk hal ini, termasuk kupi.
Kupi diperjualbelikan secara sederhana melalui proses pertukaran barang dengan barang. Yang satu mempunyai kupi, yang lain menukarkan apa yang dimiliki untuk mendapatkan kupi. Dalam proses yang hampir sama, transaksi duit mulai berjalan namun dalam ruang lingkup yang amat terbatas. Maka, seiring pertumbuhan sejarah dan kebudayaan, orang Sasak mulai berinteraksi secara lebih terbuka dengan kakak kandung mereka. Yang semula difungsikan sebagai hubungan kemanusiaan, seterusnya mulai membangun kebiasaan sebagai keperluan ekonomi.
Evolusi hubungan persaudaraan orang Sasak dengan kupi ini tak pernah berhenti. Dan boleh dikatakan sebagai puncaknya ialah ketika orang Sasak mempunyai kesadaran tinggi yang, kupi ialah hidup yang wajib menghidupi mereka. Kupi ialah saudara yang wajib menolong mereka. Dalam fase ini, secara tidak sadar, orang Sasak terdorong untuk mengubah rotasi sejarah yang sebelumnya kupi sebagai salah satu sumber kesengsaraan mereka menjadi kupi sebagai ruang kemakmuran. Atas kesadaran itu, orang Sasak termotivasi untuk menjadi pemain dalam komoditas kupi.
Upaya tersebut bukan perkara mudah. Pertama sekali, orang Sasak harus melawan bawah sadar sejarah dan psikologis mereka tentang kupi. Mereka dituntut harus berhasil mereposisi-mereinvensi falsafah persaudaraan mereka dengan kupi yang berlandaskan kemanusiaan murni menjadi persaudaraan dagang. Upaya ini berlangsung cukup lama karena pada fase ini pula, parakaya parakuasa baru kembali mengambil posisi kuat dengan modal kapital yang mereka punyai. Namun orang Sasak yang sudah mulai tersadar terus berupaya mendapatkan posisi sebagai pemain utama dalam bisnis kupi. Secara perlahan, beberapa di antara mereka ada yang berhasil. Namun tidak sedikit juga yang gagal.
Namun persoalan berikutnya ialah adakah orang Sasak pada akhirnya akan kehilangan substansi hubungan persaudaraan mereka dengan kupi? Demi kepentingan keuntungan dari bisnis kupi, orang Sasak akan memutus hubungan falsafah dan sejarah mereka dengan kupi? Pertanyaan ini patut diuji terutama dengan menghubungkannya dengan fenomena bisnis kupi terkini, khususnya yang ditangani oleh orang Sasak sendiri.
Nah, di sinilah saya kemudian melihat posisi Kebon Kupi Sembalun yang diprakarsai oleh saudara saya yang kami panggil Bulat. Pertama sekali, Bulat tumbuh dari generasi terbaru orang Sasak terkait kupi. Jika pun ia mengetahui hubungan sejarah dan falsafah dirinya sebagai orang Sasak dengan kupi, mungkin tidak sedalam orang tua atau kakek, apalagi cucut buyut. Namun saya kira, kesadaran orang Sasak sebagai pemain, mengakar kuat pada diri Bulat. Rupanya, di sinilah tantangan itu. Bagaimana kesadaran baru dan hubungan sejarah serta falsafah orang Sasak dengan kupi dikombinasikan secara cerdik dalam menakhodai bisnis kupi.
Satu contoh yang saya kemukakan di sini. Orang Sasak, lebih dalam lagi, melihat kupi sebagai diri mereka. Maka kupi ialah ekspresi diri mereka. Salah satu ekspresi yang paling kuat ialah ekspresi ketuhanan. Melalui kupi, orang Sasak memvisualkan kadar sosial keimanan dan ketaqwaan mereka. Dengan kata lain, kupi ialah salah satu penjelmaan tertinggi ketuhanan orang Sasak. Itulah sebabnya, tak ada dalam konsep orang Sasak, kupi diperjualbelikan. Kupi dimiliki untuk dibagi atas dasar kesadaran keimanan: sedekah kupi.
Angen kupi, misalnya, ialah salah satu konsep pengejawantahan ketuhanan orang Sasak. Dari konsep inilah kemudian terbangun berbagai bentuk kebudayaan orang Sasak. Maka tidak berlebihan jika orang Sasak minum kopi tidak untuk menghilangkan haus dan dahaga. Karena dengan minum kupi, orang Sasak merasa kenyang. Mereka minum kupi dalam situasi apa pun karena angen kupi membentuk mereka untuk yakin bahwa sisi tertinggi kemanusiaan itu terletak pada kemampuan orang Sasak memvisualkan ketuhahan dalam hubungan kemanusiaan yang mendalam.
Pada sisi yang lain, Bulat merambah kupi sebagi arena baru yakni mendagang kupi. Dalam situasi ini, ada kewajiban moral Bulat untuk meracik kupi pada bingkai harmonisasi masa lalu dengan masa kini. Kupi yang tidak pupus sebagai saudara sekaligus menguntungkan sebagai komoditas. Kupi sebagai manifestasi keimanan sekaligus arena eksistensi perdagangan.
Seharusnya, dua hal itu sebagai payung konsep Bulat membangun Kebon Kupi Sembalun. Sederhananya, orang datang ke ketinggian yang dekat dengan puncak gunung Rinjani itu, tidak hanya untuk menikmati kupi yang disuguhkan, melainkan untuk mendekatkan diri kepada hakikat asal muasal kupi tersebut. Setiap sedutan ialah tasbih pengingat kepada Tuhan.
Dan yang terpenting dari konsep tersebut ialah sebagai pembeda dengan bisnis kupi yang lain. Karena apa? Jika berpikir yang kupi ialah menjual rasa, maka Kebon Kupi Sembalun memerlukan biaya besar untuk membangun brand image agar mengalahkan atau mampu bersaing dengan produk industri kupi global. Padahal, orang Sasak sudah mempunyai brand image tersendiri tentang kupi yang sudah melalui testing dan teruji berhasil dalam sejarah panjang. Kupi ialah manifestasi kemanusiaan dan ekspresi keimanan. Dalam pandangan lain, Bulat seharusnya menjual brand image kupi orang Sasak, bukan menjual rasa kupi. Orang datang ke Kebon Kupi Sembalun untuk merasakan katarsis, untuk trans, untuk berkontemplasi, buat metamorfosis diri, berhijrah. Bukan untuk menyiram lidah dengan rasa kupi.
Sederhananya, jika peminum kupi keluar dari starbucks bercerita dengan bangga tentang rasa dan simbol kelas sosial, maka peminum kupi yang turun dari Kebon Kupi Sembalun merasa semakin dekat dengan Tuhan. Semakin matang menjadi manusia.
Malaysia, 31 Desember 2021