
Sampah, masih menjadi persoalan pelik nan unik. Pasalnya, jika tidak disikapi dengan bijak bisa menimbulkan masalah tapi jika disikapi dengan ilmu dan kemauan maka bisa membawa berkah bagi ketahanan pangan masyarakat. Ibaratnya, dalam melihat persoalan sampah tidak boleh menggunakan cermin retak sehingga sampah bisa membawa berkah.
MATARAMRADIO.COM – Desa Semparu, desa yang menjadi bagian dari wilayah Kecamatan Kopang Kabupaten Lombok Tengah memiliki berbagai inovasi yang bisa menjadi contoh bagi desa lainnya di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Sejak lepas dari desa induknya, Muncan pada tahun 2018, desa yang memiliki posisi strategis diapit oleh pusat kegiatan warga seperti pasar terus menggeliatkan kehidupan ekonomi.

Meski memiliki potensi besar dalam pengembangan ekonomi, namun diawal-awal berdirinya, desa ini memiliki angka pengangguran cukup tinggi sekitar 10 persen.
Seiring waktu dan banyaknya inovasi yang dilakukan aparat pemerintah desa, tingkat pengangguran berkurang cukup signifikan.
“Saat ini, tingkat pengangguran sekitar lima persen,” kata Kepala Desa Semparu, Lalu Ratmaji Hijrat, Senin 24 November 2025..
Berkurangnya tingkat pengangguran di Desa Semparu, kata Kades Ratmaji tidak terlepas dari keinginan masyarakat dan juga pemerintah desa yang ingin memajukan desanya lebih baik dari sebelumnya.
Adanya Anggaran Dana Desa (ADD) yang dikucurkan pemerintah pusat, perlahan namun pasti, beberapa program yang digagas berdampak bagi kehidupan masyarakat.
“Awalnya kami ingin mengolah sampah hingga berhasil mengembangkan usaha turunannya,” katanya.
Keprihatinan Kades terhadap permasalahan sampah bukan hanya terlihat saat melewati Pasar Semparu tapi juga di beberapa sudut perumahan warga, sampah masih menimbulkan masalah.
“Dari situ, kami berpikir bagaimana sampah bisa dikelola dan menghasilkan,” katanya.
Sebiye dan Batako

Lewat diskusi intens, lahirlah Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) yang dibangun di atas tanah desa seluas 12 are atau 1200 meter persegi.
Untuk mengolah sampah, kata Kades Ratmaji ada sekitar 12 tenaga kerja yang dipekerjakan mulai pagi hingga sore hari.
“Mereka memilah dan mengolah sampah dengan menggunakan inseminator,,” katanya.
Abu dari proses inseminator, jelas Muhamad, salah satu pekerja di TPST sebagian dimanfaatkan untuk pembuatan batako sebagian lagi digunakan untuk pupuk tanaman.
“Banyak diambil sama warga untuk sayur sebiye (tanaman cabe). Subur, bagus tumbuhnya,” katanya.
Selain warga sekitar yang memanfaatkan abu sampah, kata Muhamad ada juga warga dari jauh yang datang untuk mengambilnya.
“Kalau dari jauh, biasanya bawa kaisar (kendaraan roda tiga) untuk mengangkutnya,” katanya.
Biogas, Tekan Uang Dapur

Dalam pengelolaannya, sampah yang masuk ke TPST, jelas Kades Ratmaji tidak semuanya diolah menjadi pupuk dan batako. Ada sebagian sampah organik yang dimanfaatkan untuk biogas. “Ada dua instalasi biogas di TPST,” katanya
Biasanya, kata Kades Ratmaji para pekerja di TPST memanfaatkan kompor biogas saat ingin menyeduh kopi dan keperluan lain yang menggunakan air mendidih
“Para pekerja di TPST tidak pelru lagi memikirkan beli gas untuk memasak air. Cukup manfaatkan biogas dari sampah,” katanya.
Agar bisa mendapatkan manfaat dari sampah terutama biogas, jelas Kades Ratmaji sampah dimasukan dalam tabung (inlet) dengan ditekan dan menggunakan air. Ketika sudah masuk penampungan maka dibiarkan berproses hingga keluar gas. Gas ini kemudian disalurkan lewat instalasi ke kompor.
“Kalau ingin masak air atau lainnya, tinggal nyalakan kompornya,” katanya.
Warga lainnya, Yanti mengaku dengan memanfaatkan biogas dirinya mampu menekan biaya untuk pembelian gas melon.
“Sebelum menggunakan biogas, seminggu sekali beli gas. Tapi setelah pakai biogas, dua minggu sekali baru beli gas melon,’ katanya.
Meski sama-sama menggunakan biogas, namun sumber biogas yang digunakan berbeda.
“Sejak tiga tahun lalu, kami menggunakan kotoran sapi untuk biogas,” katanya.
Menurut Kepala Desa Semparu, Lalu Ratmaji Hijrat anggaran untuk membuat instalasi biogas baik yang ada di TPST maupun rumah warga, diambil dari dana desa. Sedang yang membuat instalasi kompor biogas pihak lain.
“Kami bekerja sama dengan Yayasan Rumah Energi (YRE) dalam membuat instalasi kompor biogas,” katanya.
Ratmaji mengaku, dipilihnya Yayasan Rumah Energi untuk membuat instalasi biogas karena pihaknya tidak memiliki keahlian di bidang tersebut
Magot dan MBG

Setelah mampu mengelola sampah lewat inseminator dan memanfaatkan sampah organik untuk biogas, Kepala Desa Semparu Lalu Ratmaji Hijrat kembali membuat gebrakan dengan budidaya magot.
Sebagaimana diketahui, magot menjadi salah satu elemen yang mampu meningkatkan produktivitas ternak unggas dan ikan karena kandungnan proteinnya yang tinggi. Apalagi, dalam memelihara magot tidak perlu memusingkan pakannya, cukup sampah organik.
Dengan adanya pemilahan sampah organik, kata Kades Ratmaji kebutuhan pakan magot yang mencapai 1,2 kwintal perhari untuk satu lajur biopon bisa terpenuhi.
“Kami ada tiga lajur biopon. Jadi, dalam sehari butuh sampah organik sekitar 3,6 kwintal,” katanya
Kebutuhan sampah organik tersebut, jelas Kades Ratmaji selain terpenuhi dengan pengambilan sampah dari pasar dan warga juga ada dari dapur makanan bergizi gratis (MBG).
“Saat ini ada tiga dapur MBG yang sampahnya kami kelola. Masih ada beberapa dapur MBG yang sudah minta tapi belum bisa kami terima karena satu dan lain hal,” katanya.
Yasin, pengelola magot mengaku sejak adanya sampah dari dapur MBG, panen magot bisa dipercepat
‘Kalau menggunakan sampah organik biasa, magot dapat dipanen di umur 14 hari. Tapi kalau makanan magotnya dari sampah MBG, umur 8 hari sudah bisa dipanen,” katanya.
Dengan adanya sampah dari dapur MBG, kata Yasin dapat meningkatkan produksi magot. Sayangnya, peningkatan produksi magot tersebut belum mampu memenuhi pesanan magot dari peternak unggas, petani ikan dan pemancing.
“Sekarang ada yang pesan 50 kilogram. Magot yang ada di biopon akan habis dan kami harus kembali memenuhi pesanan peternak lainnya,” katanya.
Saat ini, kata Yasin pihaknya belum bisa memenuhi pesanan dari peternak yang mencapai 10 kilo perhari.
“Kalau produksi sudah bisa ditingkatkan lagi, kami akan MoU dengan peternak untuk pemenuhan magot 10 kg perhari,” katanya.
Meski sudah berhasil membudidayakan magot dan bisa memenuhi sebagian pesanan magot, Kades Lalu Ratmaji merasa sedih karena pihak pemerintah Desa Semparu belum bisa mengembangkan peternakan unggas.
“Kami ingin juga mengembangkan peternakan unggas dengan memanfaatkan magot sebagai salah satu pakannya. Kami yang produksi magot tapi kami belum bisa kembangkan peternakan,” ucapnya
Pertanian Hidroponik

Meski sedih karena belum bisa mengembangkan peternakan, senyum Kades Ratmaji muncul ketika pihak pemerintah desa mengembangkan pertanian Hidroponik.
Dengan empat instalasi, kata Kades pihaknya mampu panen perdana sayuran hidroponik. “Hasil panen masih kami bagikan gratis kepada warga sebagai promosi. Dan saat ini, kami kembangkan sayur sawi,” katanya.
Promosi yang dilakukan pihak pemerintah desa dengan hasil dari pertanian Hidroponiknya, kata Ratmaji sebagai upaya mengenalkan pola pertanian alternatif kepada masyarakat
” Kan, belum banyak yang tahu bagaimana pertanian Hidroponik, kami ingin masyarakat juga bisa bertani Hidroponik,’ katanya.
Sayangnya, jelas Ratmaji dalam pertanian organik ini pupuk cair yang digunakan masih menggunakan hasil pabrikan.
‘Kami ingin agar pupuk cair hasil dari budidaya magot dan biogas, bisa dimanfaatkan untuk pertanian. Cuma kami belum tahu caranya,” katanya.
Atas ketidaktahuan itulah, Kades Ratmaji berharap pemerintah daerah bisa memberi solusi dengan membantu pihak pemerintah desa bagaimana menggunakan pupuk cair hasil biogas dan magot untuk pertanian Hidroponik.
“Kami berharap ada bimbingan dari dinas terkait,” katanya.
Meski mampu melakukan berbagai terobosan dalam pengelolaan sampah, Kades Ratmaji mengingatkan, pemerintah desa harus terus membangun kesadaran masyarakat, bagaimana sampah bisa memberikan manfaat kepada masyarakat.
“Kami membangun kesadaran masyarakat akan manfaat sampah dari tahun 2018. Itu perjalanan panjang dan butuh kesabaran serta keseriusan dari seluruh stakeholder,” katanya.
Yang tak bisa diabaikan, kata Kades Ratmaji pimpinan harus mampu memberikan contoh nyata bukan sekedar teriak-teriak diatas mimbar.
“Contoh nyata dan kepedulian dari seorang pimpinan akan berdampak bagi masyarakat,” katanya.
Terbukti, dengan keseriusan dari seluruh stakeholder, dari lima dusun yang berada di Desa Semparu yakni Dusun Semparu I, Dusun Semparu II, Dusun Semparu III, Dusun Jelateng, dan Dusun Rengkak, semuanya sudah peduli dengan sampah.
“Alhamdulillah, semua warga di Desa Semparu sudah peduli dengan sampah dan aktif dalam pengelolaan sampah,” katanya
Tanggapan Pemerintah Provinsi NTB

Keberhasilan Pemerintah Desa Semparu Kecamatan Kopang Kabupaten Lombok Tengah dalam mengelola sampah dengan berbagai produk turunannya, mendapat apresiasi dari Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi NTB, Ahmadi.
“Bagus dan patut dicontoh oleh desa lainnya di NTB,” katanya usai apel kesiapsiagaan bencana, Jumat 28 November 2025.
Menurutnya, dengan mengolah sampah organik menjadi pakan magot, pupuk kompos, dan biogas bisa menjadi salah upaya meningkatkan ketahanan pangan bagi warga Desa Semparu.
“Disini bisa dilihat berapa banyak tenaga kerja yang termanfaatkan dalam pengelolaan sampah. Dan berapa orang yang memanfaatkan biogas, tentunya berimbas kepada berkurangnya pengeluaran uang untuk beli gas,” katanya.
Ahmadi menegaskan, pihak pemerintah Provinsi NTB Khususnya Dinas LHK siap memberikan pendampingan bagi warga yang ingin mengelola sampah khususnya sampah organik.
“Intinya, pemerintah provinsi NTB siap memberikan pendampingan kepada warga yang berinovasi memajukan daerahnya. Dan kita sudah lakukan itu,” katanya.***










































































































































