Saya berasal dari dunia pondok. Meskipun saya bukan manusia baik dan bermoral tinggi. Saya juga bukan manusia suci. Bahkan bisa jadi mulut dan jari saya termasuk paling jahat, kejam, dan kasar di Lombok.
Tetapi saya tak dapat memungkiri bahwa saya tumbuh dalam sistem pendidikan yang dibentuk oleh tradisi keilmuan, keteladanan akhlak, dan kedisiplinan nilai.
Oleh karena itu, saya merasa memiliki tanggung jawab moral untuk berbicara di tengah berbagai opini yang kini diarahkan kepada lembaga-lembaga pendidikan pondok pesantren. Diam bukanlah pilihan etis ketika pondok sedang menjadi sasaran tudingan publik.

Ketika suara dari dalam tidak muncul secara sepadan dengan masifnya opini yang berkembang di luar, maka suara yang mendistorsi akan menjadi dominan dan diterima sebagai kebenaran tunggal oleh masyarakat luas.
Dalam beberapa waktu terakhir, publik diguncang oleh kabar mengenai kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi di sejumlah pondok pesantren di Lombok. Fakta tersebut tidak dapat diingkari, dan sudah semestinya mendapat perhatian serius dari semua pihak.
Namun, saya ingin menggarisbawahi bahwa persoalan ini tidak sesederhana yang terlihat di permukaan. Tidak semua pondok bersalah. Tidak semua guru atau pengasuh pondok adalah pelaku.
Generalisasi yang menyamakan seluruh institusi pondok dengan tindakan satu atau dua oknum adalah bentuk ketidakadilan yang tidak hanya melukai nilai-nilai pendidikan pondok, tetapi juga memperburuk wacana publik yang semestinya objektif, proporsional, dan berdasarkan analisis yang jernih.
Sebagai orang pondok, saya wajib bicara karena suara kami hampir tidak terdengar ketika opini-opini yang semakin liar terus berkembang ke belakangan ini. Akibatnya, kita hampir terjebak ke dalam kebenaran yang gelap, di mana opini-opini liar, meskipun tidak sepenuhnya benar, karena menguasai publik, ia sangat berpotensi menjadi kebenaran tunggal yang berdampak kepada menghilangkan lautan kebaikan yang masih mengakar kuat di pondok.
Karena itu, semestinya masyarakat pondok di Lombok wajib membuat kesetaraan wacana agar masyarakat tidak terjerumus ke dalam liarnya opini yang tak sepenuhnya benar.
Malangnya, di tengah masifnya opini negatif yang menyudutkan pondok, saya tidak melihat adanya suara penyeimbang yang mampu menjelaskan duduk persoalan dengan jernih dan objektif dari dalam lingkungan pondok itu sendiri.
Forum-forum persatuan tuan guru di Lombok tampak tidak mengeluarkan pernyataan yang dapat meredam ketegangan opini. Organisasi-organisasi masyarakat yang selama ini menaungi pondok juga tidak bersuara. Diam ini berbahaya. Ia membiarkan opini liar berkembang tanpa tandingan. Ia menciptakan ruang hampa dalam wacana publik yang kemudian diisi oleh prasangka, stigma, dan penghakiman kolektif yang tidak berdasar.
Dalam situasi seperti ini, masyarakat umum yang sebagian besar tidak memiliki pengalaman langsung dengan kehidupan pondok cenderung tergesa-gesa dalam mengambil kesimpulan.
Para pengamat, para akademisi yang tidak banyak bersentuhan dengan budaya pondok selama ini, mendadak menjadi pengamat dan pengkritik dengan hanya membesarkan pelecehan seksual yang kasuistik itu tanpa menyelami taburan kebaikan di masyarakat pondok. Bagi saya, ini penguatan narasi sepihak yang tidak adil.
Seterusnya, media sosial memperkuat pola ini dengan kecepatan penyebaran narasi yang tidak selalu berdasar fakta. Pondok pesantren, yang selama ini menjadi simbol moral dan keteladanan, tiba-tiba disamakan dengan lembaga yang kotor dan penuh dosa.
Pengamat dan pengkritik cenderung tidak meletakkan secara adil antara kasus pelecehan seksual dan pondok pensatren sebagai penjaga moral. Pelecehan seksual digelembungkan tanpa menghuraikan secara jernih peran besar pondok dalam menjaga masyarakat Lombok selama ini, Masyarakat, dalam posisi sebagai penonton yang marah, cenderung menghakimi secara total.
Ada semacam kesan bahwa semua orang tiba-tiba berubah menjadi manusia suci yang tidak memiliki dosa, lalu secara moral mengadili seluruh sistem pondok hanya karena kesalahan individu.
Padahal, saya sangat yakin bahwa sistem pendidikan pondok hingga kini masih merupakan salah satu sistem pendidikan terbaik yang dimiliki bangsa ini. Pondok tidak hanya mendidik dalam arti formal, tetapi juga membentuk karakter, menanamkan kesabaran, menumbuhkan sikap rendah hati, serta memperkuat hubungan spiritual dengan Tuhan.
Iklim pondok memastikan yang semua murid berada dalam ibadah. Sistem ini bertahan dan bahkan berkembang dalam tekanan zaman, di tengah kerusakan moral yang merambah di berbagai lini kehidupan. Oleh karena itu, sangat tidak masuk akal jika satu atau dua kasus kejahatan seksual dijadikan alasan untuk menyimpulkan bahwa pondok secara keseluruhan telah gagal.
Pelecehan seksual adalah kejahatan yang tidak bisa ditoleransi. Saya setuju dan mendukung paling di depan untuk pelakunya harus dihukum seberat-beratnya. Namun kejahatan itu, sejauh yang saya lihat, tidak dilahirkan oleh sistem pendidikan pondok itu sendiri. Ia lahir dari penyimpangan individu.
Tumbuh dari manusia yang kebetulan berada dalam sistem tersebut. Ia lahir dari kompleksitas zaman velocity, di mana tak ada dinding yang kebal oleh algoritma. Ia lahir dari kekuasaan media yang tanpa batas. Ia lahir dari dunia hedonitas dan keracunan moral dunia.
Dengan demikian, kritik dan koreksi perlu diarahkan kepada sistem pengawasan, kepada ketidaksiapan lembaga dalam menangani pengaduan, kepada lemahnya mekanisme perlindungan santri, kepada lemahnya security negara, security pemerintah dalam menjaga masyarakatnya dari kemencairan dunia saat ini.
Bukan kepada nilai-nilai pondok yang secara prinsip justru menjunjung tinggi kemuliaan akhlak dan tanggung jawab sosial.
Penting pula untuk diingat bahwa kesalahan manusia dapat terjadi di mana saja, tidak hanya di pondok. Bahkan di lembaga-lembaga formal pendidikan lain yang memiliki sistem modern dan teknologi pengawasan canggih, kasus pelecehan tetap terjadi.
Apakah kemudian lembaga-lembaga tersebut kita bubarkan? Apakah kemudian kita menstigmakan seluruh dunia pendidikan modern sebagai tempat yang gagal? Tentu tidak.
Maka perlakuan terhadap pondok pun seharusnya tidak jauh berbeda. Kita harus mampu membedakan antara sistem dan pelaku, antara nilai yang diajarkan dan perilaku oknum yang menyimpang.
Saya berbicara karena saya menyaksikan bagaimana opini publik bergerak begitu cepat, begitu destruktif, dan sangat sedikit memberi ruang bagi penjelasan. Kritik terhadap pondok menjadi tidak sehat ketika sudah menjurus pada penghukuman kolektif.
Kita tidak lagi melihat setiap kasus sebagai kasus yang berdiri sendiri, melainkan kita menjadikannya sebagai alat untuk menjustifikasi asumsi bahwa dunia pondok adalah dunia yang gelap dan tertutup.
Ini adalah bentuk logika berpikir yang berbahaya, yang pada akhirnya bisa menghancurkan lembaga yang telah berperan besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Silakan coba buat try dan error sosial dengan bubarkan pondik di Lombok, kemudian lihat apa yang akan terjadi. Saya jaminkan, ketelanjangan moral yang hancur, yang berserak di mana-mana di Lombok itu, akan tersiar dengan jelas. Kejahatan manusia akan menjamur. Lombok akan diselimuti kegelapan.
Lantas kenapa selama ini Lombok tidak ditelanjangi secara total oleh rusaknya dunia ini, dengan tegas saya katakan, pondok yang berperan besar dalam melindungi Lombok atas kegelapan zaman.
Bahkan pondok menjadi salah dari yang sangat terbatas, yang mempunyai artefak sebagai bukti sejarah dalam penguatan manusia di Lombok. Karena itu, sekali lagi, tidak adil jika kita menghakimi pondok secara berlebihan hanya karena kasus pelecehan seksual yang kasuistik itu.
Saya berbicara bukan karena ingin menutup-nutupi kesalahan. Bahkan saya termasuk yang awal mengkritik pondok (sejak tahun 2007) ketika novel saya, Tuan Guru, terbit pertama kali.
Karena itu, malahan saya mendorong agar setiap kasus diusut tuntas. Namun saya juga menolak jika pondok dijadikan kambing hitam dari kegagalan kita dalam membangun sistem perlindungan yang adil dan manusiawi.
Kritik itu perlu, tetapi harus diarahkan dengan proporsional. Jika pondok melakukan kekeliruan, maka harus dibenahi. Namun jika kita menyerang pondok hanya karena sentimen atau ketidaktahuan, maka kita telah berbuat zalim terhadap warisan pendidikan yang telah terbukti berkontribusi besar dalam pembangunan karakter bangsa. Berkontribusi besar dalam mengangkat harkat martabat manusia Lombok.
Tanpa pondok, saya yakin sebagian besar orang Lombok buta huruf dan buta agama sepanjang masa. Bahkan tanpa pondok, manusia Lombok akan terus terjajah. Dari Pondoklah banyak tumbuh revolusi pergerakan manusia Lombok melawan keterjajahan.
Terlebih karena pemerintah pun tidak sanggup sendirian melenyapkan kebodohan dan kegelapan iman manusia Lombok. Inilah peran penting, peran besar pondok yang haram diabaikan. Inilah hal penting yang semestinya diletakkan sejajar ketika menganalisis kasus pelecehan seksual yang sedang ramai saat ini.
Kritik harus selalu bertujuan memperbaiki, bukan menghancurkan. Itulah sebabnya saya ingin agar wacana ini dikembalikan ke jalur intelektual dan moral yang sehat. Saya mengajak para alumni pondok, para tuan guru, para pemangku kepentingan, serta organisasi-organisasi Islam untuk tidak lagi diam.
Keterlibatan aktif dalam membentuk narasi yang adil adalah bagian dari tanggung jawab kita bersama. Kita harus menjelaskan secara terbuka bahwa pondok bukan tempat suci yang bebas dari kesalahan, tetapi juga bukan tempat gelap yang pantas dihancurkan.
Saya percaya bahwa hanya dengan keberanian untuk berbicara jujur, kita dapat menyelamatkan nilai-nilai pondok dari kehancuran persepsi. Hanya dengan keterlibatan dalam wacana publik, kita dapat mendorong reformasi yang perlu di internal pondok tanpa harus menumbalkan seluruh institusi.
Saya yakin bahwa pembaruan hanya bisa terjadi ketika kritik dan pembelaan berjalan bersama, ketika pengakuan kesalahan tidak disertai dengan penghukuman buta, dan ketika suara kebenaran tidak dibungkam oleh kebisingan prasangka.
Saya menulis ini sebagai seorang yang dibentuk oleh sistem pondok. Sistem itu telah mengajarkan saya nilai kebenaran, kejujuran, dan keberanian. Saya tidak bisa tinggal diam ketika nilai-nilai itu dihancurkan oleh opini yang tidak berimbang. Saya tidak bisa menonton ketika dunia yang telah memberi saya makna hidup kini digambarkan sebagai dunia yang kelam dan memalukan. Saya tidak bisa bersembunyi di balik tembok diam sementara gelombang fitnah terus menerpa tanpa henti.
Pondok adalah lembaga pendidikan yang telah menghasilkan ribuan orang baik. Ia bukan lembaga yang sempurna, tetapi ia bukan lembaga yang gagal. Kesalahan yang terjadi harus dijadikan pelajaran. Bukan justifikasi untuk penghancuran. Kita harus mendukung korban pelecehan seksual.
Kita wajib menghukum pelaku dengan hukum positif, hukum sosial dan hukum adat sekaligus. Tetapi kita juga harus menyelamatkan sistem yang telah menghidupi ribuan jiwa dengan nilai dan harapan. Saya yakin bahwa dengan keberanian untuk bicara, kita bisa membangun ulang kepercayaan yang rusak.
Kita bisa mereformasi dari dalam. Kita bisa melindungi masa depan pendidikan Islam dari kehancuran yang tidak perlu.
Saya, sebagai orang pondok, wajib bicara. Karena jika saya diam, maka segala hal yang belum tentu semuanya benar akan terus dianggap sebagai kebenaran. Jika saya diam, jika pemangku kepentingan pondok berdiam diri, maka pondok akan kehilangan wibawa dan maknanya. Saya berbicara bukan untuk membela kesalahan pelecehan seksual jahat itu, tetapi untuk menjaga kebaikan dan kemuliaan pondok yang sudah mengakar ribuan tahun yang ditepikan dalam diskusi liar.
Malaysia, 29 Mei 2025.










































































































































