Kolaborasi SPWS dan SLB di Panggung Hari Bumi 2025 : Lawan Raksasa Sampah Lewat Pentas Wayang Botol

Lakon ini mengisahkan petualangan Hake, seekor ikan mungil asal Teluk Biscay, Prancis, yang tersesat hingga perairan Indonesia. Dalam pencariannya kembali ke rumah, ia dibantu oleh Octo, gurita ramah penjaga laut. Namun, keduanya harus menghadapi ancaman nyata: sosok Raksasa Sampah yang timbul dari tumpukan limbah manusia.

Cerita dramatis itu dibawakan dengan penuh semangat oleh para siswa SLB dan murid SPWS menggunakan media wayang botol, sebuah bentuk wayang kontemporer dari botol plastik daur ulang. Aksi mereka menyihir ratusan penonton, mulai dari pelajar SMA hingga siswa berkebutuhan khusus, yang memenuhi auditorium.

“Saya sangat terinspirasi dengan pertunjukan ini,” ungkap Lia, siswi SMK 1 Narmada. “Anak-anak SLB saja bisa tampil penuh percaya diri, saya jadi semangat untuk mencoba juga!”

BACA JUGA:  Viral di Media Sosial, Tarian Erotis Buat Sesak Udara Lombok

Panggung Inklusif dan Pesan Global

Pertunjukan ini tidak hanya menjadi wadah ekspresi bagi siswa berkebutuhan khusus, tapi juga menyampaikan pesan penting: jaga laut kita dari bahaya sampah dan rawat warisan budaya lokal. Anak-anak SLB yang biasanya tidak banyak tampil di ruang publik, pada malam itu tampil penuh percaya diri, bahkan bercerita tentang mimpi dan sekolah mereka di hadapan penonton.

“Wayang botol adalah alat edukasi yang menyenangkan sekaligus menyentuh,” ujar Rizkiyah, penonton daring yang mengikuti pertunjukan via Zoom. “Di Lombok Tengah, anak-anak sudah memanfaatkannya untuk kampanye pencegahan pernikahan usia dini. Ini luar biasa.”

Tak hanya disaksikan langsung, pertunjukan juga disiarkan melalui kanal YouTube Sekolah Wayang Sasak, menjangkau lebih banyak penonton dari berbagai wilayah, bahkan lintas negara.

Kolaborasi untuk Budaya dan Lingkungan

Acara ini sekaligus menandai perayaan satu dekade berdirinya SPWS dan 75 tahun hubungan diplomatik antara Indonesia dan Prancis. Kolaborasi lintas institusi pun terlibat, mulai dari Prodi Sendratasik UNU NTB hingga Kedutaan Besar Prancis di Indonesia.

BACA JUGA:  Kolaborasi Generasi dalam Perayaan Maulid Nabi oleh IKA Apitaik

Kamtono, Kepala SLBN 1 Mataram, tak kuasa menyembunyikan kebanggaannya. “Saya berharap kegiatan seperti ini dapat direplikasi di sekolah lain. Wayang tidak boleh hanya jadi warisan, tapi juga alat membentuk karakter dan cinta tanah air,” ujarnya.

Antara Raksasa Sampah dan Harapan Anak Negeri

Lakon “Octo Si Penjaga Laut” ditutup dengan adegan heroik: bersatunya para karakter dan penonton dalam mengusir Raksasa Sampah. Dalam alur cerita, muncul tokoh legendaris Raden Umar Maye dari khasanah wayang kulit Sasak, yang mengajak semua untuk bersatu melawan perusak alam.

Daang Sukardi, dalang ternama Lombok, turut membuka pertunjukan dengan narasi khasnya yang penuh nilai moral dan filosofi hidup. Kehadirannya menegaskan bahwa meski tampil dalam kemasan modern, wayang botol tetap menjunjung tinggi nilai tradisi.

Dari Botol ke Wayang, Dari Sampah ke Kesadaran

Pikong Fitri Rachmawati, sang sutradara dan penulis naskah, sekaligus pendiri SPWS, mengungkapkan harapannya agar anak-anak makin mencintai kesenian lokal. “Wayang botol ini adalah jembatan. Harapan saya, kelak mereka tidak hanya menonton, tapi menjadi dalang-dalang muda yang bangga dengan budaya sendiri.”

BACA JUGA:  Hadiri Sangkep Agung Aliansi Sasak Lombok Indonesia, Gubernur NTB Ingatkan Ini!

Ia juga menegaskan bahwa misi SPWS bukan sekadar pelestarian budaya, tapi juga pembentukan generasi sadar lingkungan. “Kalau kita tidak ajarkan sejak dini, jejak seni kita bisa hilang, laut kita bisa rusak. Maka, dari panggung kecil ini, kita suarakan cinta budaya dan bumi.”

Ulasan Kembali: Wayang Botol dan Misi Kemanusiaan

Dalam beberapa tahun terakhir, wayang botol yang lahir dari tangan-tangan kreatif SPWS tak hanya tampil memukau, tapi juga menyentuh isu-isu penting. Mulai dari pencegahan pernikahan dini, edukasi inklusi, hingga kampanye kebersihan lingkungan.

Karya seperti “Octo Si Penjaga Laut” adalah bukti bahwa seni bukan hanya hiburan, melainkan kekuatan untuk perubahan. Dan anak-anak dari SLBN 1 Mataram serta SPWS telah membuktikan bahwa mereka siap menjadi agen perubahan—dengan botol, dengan cerita, dan dengan hati. (editorMRC)