BEM FHISIP Unram Gelar Kajian Krisis Pengungsi dan Tantangan Hak Asasi Manusia. Inilah Kajian Lengkapnya!

Sayangnya, dalam praktiknya, perlindungan bagi para pengungsi kerap berbenturan dengan kebijakan domestik dan kebutuhan nasional negara penerima, sehingga sering kali hak-hak dasar mereka diabaikan.

Kajian terbaru dari Kementerian Luar Negeri Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mataram (BEM FHISIP UNRAM) memperjelas urgensi ini.

Dalam siaran persnya yang diterima MATARAMRADIO.COM, Robby Firmansyah selaku Koordinator Kajian Internasional BEM FHISIP Unram mengungkapkan kajian digelar pada Selasa (29/10) dan mendalami sudut pandang HAM terhadap krisis pengungsi global dan bagaimana pendekatan teori hukum bisa menawarkan solusi lebih berkeadilan. Namun, dalam upaya memahami kompleksitas ini, kita tidak bisa menafikan k kanionflik antara HAM pengungsi dan kedaulatan negara. Saat ini, hal tersebut perlu dipandang secara holistik agar tercipta keseimbangan antara perlindungan pengungsi dan stabilitas dalam negeri negara penerima.

Kebutuhan Mendesak Perlindungan dan Prinsip Non-Refoulement


Secara fundamental, perlindungan pengungsi merupakan hak asasi yang harus dihormati. Konvensi Pengungsi 1951 menyatakan bahwa para pengungsi memiliki hak-hak dasar, salah satunya melalui prinsip non-refoulement, atau larangan pemulangan paksa ke negara di mana mereka bisa mengalami penganiayaan.

BACA JUGA:  1.286 Pelanggar Kena Sanksi

Prinsip ini idealnya menjadi dasar dari kebijakan negara dalam menangani pengungsi. Namun, dalam kenyataannya, banyak negara lebih memilih untuk memperketat kebijakan imigrasi mereka demi alasan keamanan nasional.

Dr. Amelia Johnson dari Universitas Oxford menegaskan bahwa prinsip ini bukanlah pilihan politik semata, tetapi sudah menjadi kewajiban moral dan hukum yang berlaku secara universal. Ketika pengungsi dipaksa kembali ke negara asal yang penuh risiko, maka prinsip dasar HAM telah dilanggar. Karena itu, mengabaikan prinsip ini hanya akan memperburuk krisis kemanusiaan dan mencerminkan kegagalan dalam menghormati nilai-nilai hak asasi manusia yang telah diakui dunia.

Teori Keadilan Sosial dalam Menjawab Kebutuhan Pengungsi


Salah satu pandangan yang kuat dalam mendukung HAM pengungsi datang dari teori keadilan sosial, seperti yang dikemukakan oleh filsuf John Rawls. Menurut Rawls, ketidakadilan terjadi ketika hak-hak dasar individu, termasuk pengungsi, diabaikan. Negara-negara, dalam teori ini, memiliki tanggung jawab untuk mendistribusikan keadilan demi mengakomodasi hak-hak dasar setiap orang.

Namun, Profesor Manuel Garcia dari Universitas Harvard mengingatkan bahwa krisis pengungsi bukan hanya tentang angka atau statistik, melainkan tentang martabat manusia. Ketika pengungsi ditolak atau diperlakukan semata sebagai masalah keamanan, maka negara gagal memenuhi kewajiban moralnya untuk mendukung nilai-nilai keadilan universal. Di sini, teori keadilan sosial menawarkan perspektif yang menuntut agar hak-hak pengungsi dihormati dan dijamin tanpa diskriminasi.

Positivisme Hukum dan Argumentasi Kedaulatan Negara


Di sisi lain, banyak negara menggunakan positivisme hukum untuk mendukung kebijakan imigrasi ketat demi menjaga kedaulatan dan keamanan nasional. Menurut teori positivisme, aturan tertulis yang dikeluarkan oleh negara merupakan bentuk tertinggi dari hukum, dan negara memiliki hak untuk membuat kebijakan yang mengutamakan keselamatan warga negaranya.

BACA JUGA:  Pendidikan Terintegrasi

Kementerian Dalam Negeri Jerman, misalnya, menegaskan bahwa kebijakan ketat terhadap pengungsi tidak berarti menolak nilai HAM, melainkan upaya mempertahankan stabilitas nasional.

Dalam perspektif ini, kedaulatan negara sering kali berbenturan dengan nilai universal HAM, dan negara berhak melindungi diri dari potensi ketidakstabilan yang mungkin diakibatkan oleh arus pengungsi yang besar. Namun, dalam konteks kemanusiaan, pandangan ini harus dievaluasi agar hak-hak pengungsi tetap mendapat perlindungan yang semestinya.

Deklarasi Universal HAM: Hak Pengungsi sebagai Hak Asasi


Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan bahwa kebebasan dari penganiayaan adalah hak yang harus dijamin bagi semua manusia. Ketika negara-negara menandatangani DUHAM, mereka sepakat untuk mengakui hak dasar pengungsi, termasuk perlindungan dari pemulangan paksa dan hak untuk hidup dengan aman di luar negara asalnya.

Leila Mansour dari Amnesty International berpendapat bahwa kebebasan dari penganiayaan bukanlah hak yang bergantung pada asal negara seseorang. Ketika hak-hak ini dilanggar, maka nilai-nilai kemanusiaan ikut dipertaruhkan. Pandangan ini menggarisbawahi bahwa HAM harus diutamakan dalam menangani krisis pengungsi, tanpa terkendala oleh pembatasan kedaulatan yang berlebihan.

Dukungan Internasional dan Beban Negara Penerima


Salah satu masalah utama dalam krisis pengungsi global adalah beban yang tidak merata. Negara-negara penerima, terutama di kawasan konflik atau yang berbatasan langsung dengan negara asal pengungsi, menghadapi tantangan besar dalam hal finansial dan sosial. Menteri Luar Negeri Turki, dalam pertemuan PBB, menyerukan agar beban ini dibagi lebih adil oleh komunitas internasional.

BACA JUGA:  Kurang Sarana Prasarana, Sekda NTB Berharap SMAN 9 Jadi Sekolah Unggulan

Tanpa dukungan yang memadai dari komunitas internasional, negara-negara ini akan sulit untuk menyeimbangkan perlindungan bagi pengungsi dengan stabilitas domestik. Dalam hal ini, perlunya dukungan finansial dan bantuan teknis dari negara-negara maju menjadi semakin krusial agar krisis pengungsi dapat ditangani dengan lebih manusiawi tanpa membebani negara penerima secara berlebihan.

Harapan Akan Pendekatan Komprehensif


Di tengah perdebatan akademis dan kebijakan yang kompleks ini, pendekatan hukum yang komprehensif dan fleksibel sangat diperlukan untuk mengatasi krisis pengungsi dengan berkeadilan. Akademisi dan praktisi hukum berharap bahwa melalui teori hukum yang adaptif, masyarakat internasional dapat merumuskan panduan yang lebih jelas dan adil untuk melindungi hak-hak pengungsi tanpa mengabaikan kedaulatan negara.

Seperti yang diutarakan oleh Robby Firmansyah, koordinator kajian dari BEM FHISIP UNRAM, “Setiap nyawa pengungsi adalah cerminan dari nilai kemanusiaan kita. Sudah saatnya kita berkolaborasi secara global untuk memastikan hak-hak mereka dilindungi.” Krisis pengungsi adalah ujian nyata bagi dunia dalam mengamalkan nilai-nilai hak asasi manusia secara universal. Dengan upaya bersama, harapannya dunia dapat menghadirkan solusi yang menghormati martabat manusia tanpa mengesampingkan keamanan negara. (editorMRC)