“Merarik Kodek” Bukan Budaya Sasak Lombok

Dalam budaya Sasak, pada ketiga cara “merarik” tersebut dipersyaratkan usia ideal perempuan sekurang-kurangnya telah berhasil membuat atau menyelesaikan kain “Sesekan” (kain tenun) sebanyak 144 lembar kain bermacam motif.

Jika dikonversi, maka total keseluruhan usia seorang perempuan dari sejak ia bisa memegang alat Sesek sampai menghasilkan kain tenun sejumlah tersebut maka membutuhkan waktu kurang lebih selama 22 tahun.

Ketentuan mengenai usia ideal perempuan untuk menikah dalam budaya Sasak yakni minimal 22 tahun dimana pada usia tersebut perempuan dipandang telah memiliki kemandirian dan keterampilan dalam bekerja.

Oleh karena itu, kawin pada usia dini (usia muda) atau “merarik kodek” tidak dikenal dalam budaya Sasak. Karena usia ideal kawin pertama untuk perempuan dalam budaya Sasak adalah minimal 22 tahun.

Proses “melakoq” meliputi 4 tahapan, yaitu “memadik”, “melamar”, “meminang”, “nuntut janji”. Proses “memadik” merupakan pertemuan keluarga pihak laki-laki dan perempuan yang telah memiliki ikatan saling menyukai untuk memastikan pasangan tersebut saling menyukai dan mendapatkan persetujuan dari keluarga untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius (menikah).

BACA JUGA:  Dai Hantam Kromo

Proses “melamar” merupakan bertemunya kembali keluarga kedua calon pengantin, dalam proses ini terdapat klarifikasi terkait kesesuaian kedua calon pengantin untuk menikah terutama usia dimana dipersyaratkan usia ideal calon pengantin perempuan adalah minimal 22 tahun. Setelah tidak ada ketentuan yang dilanggar, dilanjutkan dengan proses “meminang” dan “nuntut janji”.

Dalam proses “meminang” tersebut calon pengantin laki-laki dapat mengunjungi pihak calon pengantin perempuan sebelum “nuntut janji” guna memantapkan hati kedua pihak calon pengantin.

Proses “nuntut janji” merupakan tahapan dimana pihak calon pengantin laki-laki menyatakan kepada calon pengantin perempuan mengenai janji, kesediaan, dan kesiapaan menikah yang biasanya diucapkan pada saat proses “melamar” dan “meminang”.

Dalam proses “nuntut janji” ini calon pengantin perempuan memiliki hak untuk menyatakan apakah hatinya sudah teguh atau benar-benar siap untuk menikah dengan laki-laki yang meminangnya ataukah masih ada keraguan atau terdapat beberapa keberatan.

BACA JUGA:  Nikmatnya Kopi Solar Dryer Dome

Akad nikah akan berlangsung setelah calon pengantin perempuan memantapkan pilihannya terhadap laki-laki tersebut.

Jika dalam proses “meminang” dan “nuntut janji” ternyata calon pengantin perempuan justru lebih memilih untuk menikah dengan laki-laki lain pilihannya dan bukan dengan laki-laki yang melamarnya, maka biasanya dalam hal ini si perempuan dipersilakan untuk bermusyawarah dengan orangtuanya dan dibolehkan ada proses kawin lari.

Dalam konteks budaya Sasak bahwa dalam kawin lari ini terkandung aspek “gender” yakni orangtua memberikan kebebasan kepada anak perempunnya yang telah berusia minimal 22 tahun dalam mengambil keputusan untuk menikah dengan laki-laki pilihan yang dicintainya dengan syarat tidak diketahui oleh orang “sama gubuk” (permukiman dalam satu kampung).

Dengan perkataan lain bahwa kawin lari yang dimaksud adalah seolah-olah memalingkan dari pandangan orang tuanya si perempuan bahwa anaknya memilih pasangan yang dicintainya berdasarkan keputusannya sendiri.

Proses pilihan “merarik” bagi pengantin laki-laki yang bukan berasal dari suku Sasak dengan perempuan dari suku Sasak yang telah berusia minimal 22 tahun yang hendak menikah menurut adat dikenal dengan serah adat.

BACA JUGA:  Merumuskan Kembali Cara Menyinta Kepada Maulanassyekh (Catatan Sederhana Seorang Abituren, Murid, Pecinta tak Berpaling)

Dalam proses serah adat ini dilaksanakan “pengampuan” yakni penyerahan diri bagi pengantin yang bukan berasal dari suku Sasak kepada tokoh adat sehingga secara adat dapat menjadi warga adat Sasak. Hal ini dilakukan sebagai syarat untuk melanjutkan pernikahan secara adat dan agama dalam tradisi adat “merarik”.

Proses “pengampuan” ini berlaku untuk pihak calon pengantin laki-laki maupun perempuan dari luar suku Sasak.

Dalam budaya Sasak bagi pasangan suami-istri yang telah memiliki anak, mereka dipanggil berdasarkan nama anak pertama, misalnya jika anak pertama bernama X maka si suami dipanggil Amaq X untuk rakyat biasa dan Mamiq X untuk bangsawan. Dan si istri dipanggil Inaq X.

Namun sekarang ini penggunaan istilah Mamiq tersebut dipersepsikan keliru dimana istilah Mamiq bukan disematkan pada nama anak pertama dari seorang bangsawan, tetapi pada nama orang tersebut.

Misalnya Lalu A memiliki anak pertama bernama X, kemudian Lalu A disebut Mamiq X. Ini keliru karena jika menggunakan istilah Mamiq maka, Lalu A hendaknya disebut Mamiq X, bukan Mamiq A.***