Di dinding candi Borobudur terpahat sebanyak 2.672 panel relief. Terbagi menjadi dua kelompok, yaitu 1.460 panel cerita dan 1.212 panel dekoratif. Dari kelompok panel relief yang disebut terakhir, 226 diantaranya adalah relief alat musik.
Alat-alat musik tersebut terbagi menjadi empat jenis, masing-masing idiofon berupa kentongan dan kerincingan, membranofon atau jenis gendang, alat musik dawai atau senar yang lazim disebut kordofon, dan instrumen tiup atau aerofon.
Dengan cukup banyaknya alat musik yang ditampilkan, mencerminkan kesenian telah berperan pada peradaban Jawa Kuno 13 abad silam — saat candi Borobudur dibangun. Beragamnya peralatan tersebut juga gambaran masyarakat yang telah mengenal pagelaran musik menggunakan instrumen yang tak hanya berasal dari Pulau Jawa.
Satu dari 226 perangkat musik itu datang dari Lombok. Masyarakat Suku Sasak menyebutnya penting. Bentuknya mirip dayung. Alat musik petik — disebut juga gambus Sasak dan di luar Lombok ada yang menyebutnya panting — ini memang terkait erat dengan kehidupan masyarakat pesisir.
“Dayung itu dipasangi tali pancing. Jadi bahannya semua dari perlengkapan yang dimiliki nelayan. Di waktu senggang mereka memainkannya,” jelas etnomusikologis MA Nur Kholis, SR, S.Sn, M,Sn.
Pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) NTB ini beberapa waktu lalu telah mendaftarkan penting di Kemenkumham RI. Dari institusi ini, di akhir tahun 2020, penting akhirnya memperoleh suaka hukum sebagai warisan budaya dan Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) Suku Sasak.
Alat musik itu pula yang dimainkan Kholis di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Juni tahun lalu. Di acara konferensi internasional Sound of Borobudur bertajuk “Music Over Nations: Menggali Jejak Persaudaraan Lintas Bangsa Melalui Musik” yang dilaksanakan secara daring ini, ia berkolaborasi dengan beberapa seniman nasional, diantaranya gitaris Dewa Bujana dan penyanyi Trie Utami.
Di luar Indonesia, ada 10 negara mengikuti kegiatan tersebut, masing-masing Vietnam, Filipina, Laos, Myanmar, Taiwan, Jepang, China, Amerika, Italia, dan Spanyol. Melibatkan tokoh dan akademisi musik Indonesia dan mancanegara, diantaranya komposer musik Addie MS dan pakar etnomusikologi Profesor Emerita Margaret Joy Kartomi AM FAHA, Guru Besar di Sir Zelman Cowen School of Music and Performance Monash University, Australia.
Menurut Addie MS, Sound of Borobudur menjadi sangat relevan untuk menjawab situasi krisis global saat ini. “Khususnya dalam perspektif membangun musik lingua franca komunikasi antarbangsa,” ujarnya.
Dia mengutip sejarawan dan arkeolog Dwi Cahyono yang menyebutkan ada 40 panel relief Borobudur yang menggambarkan kegiatan ansambel. “Ini berarti, kegiatan bermain musik bersama sudah dipentaskan sejak 13 abad yang lalu,” katanya kagum.
Dan, alat musik dari Lombok bernama penting itu menjadi penting.
Dalam hajat itu, inisiator Sound of Borobudur Trie Utami yang lima tahun terakhir aktif melakukan riset terhadap relief-relief musik di Borobudur, memberi penilaian khusus pada alat musik tersebut.
“Setelah saya mendalami relief itu, saya mengetahui bahwa orang Sasak dengan alat musik penting ada di situ, dan bermusik bersama bangsa-bangsa lainnya pada 1300 tahun yang lalu,” ungkap Trie Utami.
Kolaborasi musik antar banyak bangsa ini, kata Trie Utami, tidak ada dalam budaya Jawa. “Kami mengundang orang Sasak dan etnis lainnya yang tergambar di relief candi, untuk bermain musik bersama dengan alat musik daerah masing-masing, agar ruh dari relief musik itu benar-benar mampu berpindah dan hidup,” tandasnya.
Kholis memainkan nada-nada bernuasa Sasak di Borobudur, meningkahi bunyi alat musik lainnya yang berasal dari bermacam daerah di Nusantara dan benua lain. Nada-nada yang mengandung pesan yang sarat makna. Pesan untuk semesta, sebagaimana yang dilakukan leluhur Bangsa Sasak, yang terpahat di dinding Borobudur, 1300 tahun yang lalu.(*)