MATARAMRADIO.COM, Mataram – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Mataram Prof DR H Zainal Asikin SH SU memberikan kajian hukum terkait nota kesepahaman yang dibuat Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan PT Gili Trawangan Indah (GTI) tentang adendum pengelolaan aset lahan seluas 65 hektar di Gili Trawangan, Lombok Utara.
Menurut Prof Asikin, tindakan Pemerintah Provinsi NTB tersebut sangat aneh dan mengandung kontra produktif baik secara logika hukum dan sosiologi hukum.”Secara logika hukum manakala kontrak diadendum maka kedudukan lahan tersebut masih tetap berada di PT GTI Atau lahan sudah di levering ke GTI,”jelasnya kepada MATARAMRADIO.COM, Selasa (15/6).
Persoalannya, Asikin mempertanyakan mengapa kejaksaan menyurati rakyat untuk mengontrak lahan tersebut selama satu tahun dan harus keluar dari lahan tersebut setelah satu tahun.”Artinya apa kedudukan Kejaksaan dalam hal ini ? Apakah alat untuk menakut-nakuti rakyat,”tanya mantan Dekan FH Unram ini.
Lebih lanjut, Prof Asikin mengungkapkan, seharusnya jika PT GTI merasa punya hak atas tanah tersebut sejak awal, mengapa perusahaan tersebut tidak turun ke masyarakat melakukan dialog dan mediasi dengan masyarakat.”Berarti dengan keterlibatan Jaksa untuk meminta masyarakat keluar lahan yang dikuasai berpuluh tahun membuktikan bahwa kontrak GTI dengan Pemerintah tidak pernah terjadi,”tegasnya,
Disebutkan, lahan yang dikuasai berpuluh tahun membuktikan bahwa kontrak PT GTI dengan Pemerintah tidak pernah terjadi karena lahan tersebut secara hukum kontrak belum pernah beralih tangan dari Pemerintah ke GTI.”Bahwa jika GTI telah menelantarkan tanah selama lebih dari 30 tahun. Mengapa Pemda tidak menyerahkan tanah tersebut kepada masyarakat melalui Koperasi yang telah dibentuk masyarakat. Padahal masyarakat bersedia membayar pajak atau redistribusi sebesar apa yang akan diberikan oleh PT GTI malahan mampu memberikan pemasukan yang lebih besar dari iming-iming yang dijanjikan oleh GTI,”tandasnya seraya menambahkan bahwa jika pemerintah memaksa memperpanjang kontrak melalui adendum dengan GTI tanpa mendengar hak-hak masyarakat, maka masyarakat akan melakukan perlawanan secara hukum dan non hukum.
Perlawanan secara hukum, tersebut, kata Prof Asikin bisa melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri, melakukan permintaan perlindungan hukum ke Komisi Hak Azasi Manusia dan bisa juga melakukan perjuangan melalui lembaga resmi pemerintah.
Adapun perlawanan non hukum, ungkapnya, tentu saja rakyat akan mempertahankan hak hidupnya sampai titik darah penghabisan.”Perjuangan secara hukum dan non hukum dilakukan melalui jaringan nasional dan internasional agar masyarakat internasional mengetahui betapa pemerintah NTB telah melakukan pelanggaran hak azasi manusia. Dengan demikian pergelaran Motor GP yang dijadikan simbol kehebatan pariwisata NTB. ternyata penuh dengan penindasan dan pertumbahan darah,”imbuhnya.
Kilas Balik Pengelolaan Lahan Gili Trawangan
Prof Asikin menyebutkan, Tanah HGU (Hak Guna Usaha,red) yang diberikan kepada masyarakat adalah tanah yang ditelantarkan sejak tahun 1995 dan sama sekali tidak pernah dilakukan usaha membangun oleh PT GTI dan dinilai melanggar Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2010.
Setelah tanah tersebut kosong dan ditelantarkan, maka atas seizin Pemerintah Daerah Lombok Barat yang dipimpin Bupati Drs H Iskandar datang ke lokasi agar masyarakat menggarap tanah yang terlantar agar produktif.”Untuk masuk ke tanah tersebut maka terjunlah BPN Lombok Barat mengukur dan mengkapling tanah tersebut menurut ukuran-ukuran yang seperti saat ini ditempati masarakat,”jelasnya.
Atas dasar itu, lanjut Prof Asikin, kemudian masing-masing masyarakat diberikan SPPT untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan.”Jadi sampai saat ini, tahun 2021, masyarakat rutin membayar pajak Ke Kabupaten KLU yang nilainya lebih dari Rp 2 Miliar yang masuk ke kas Pemda KLU,”paparnya.
Menurut Prof Asikin, bedasarkan fakta fakta hukum ini, menunjukkan bahwa PT GTI telah melakukan wanprestasi karena telah melanggar kontraknya dengan Pemerintah sehingga merugikan pemerintah dan masyarakat.
PT GTI, katanya, juga telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu menelantarkan tanah sesuai dengan PP No 11 Tahun 2020. Dengan demikian maka seharusnya Pemda mencabut HGU yang dipegang dan bukan justru memperpanjang (adendum) atas tindakan GTI yang wan prestasi dan onrechtmatige daad (melawan hukum,red).”Bahwa penguasaan masyarakat Gili Trawangan pada Lokasi GTI didasari oleh pemberian langsung Pemda Lombok Barat dan diikuti dengan pengukuran BPN dan kemudian penerbitan SPPT dan membayar pajak maka jelaslah kedudukan rakyat yang menempati tanah tersebut adalah sah menurut hukum dan harus dilindungi,”cetusnya.
Pertanyaannya, lanjut Prof Asikin, jika PT GTI merasa masih mengklaim memiliki hak mengelola lahan tersebut kenapa membayar retribusi hanya sebesar Rp 25 juta setahun. “Bandingkan dengan pemasukan yang diberikan oleh rakyat yang jumlahnya miliaran rupiah. Jelaslah tindakan GTI telah sangat merugikan Pemda KLU dan masyarakat,”tegasnya.
Sebagaimana diketahui, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan PT Gili Trawangan Indah (GTI) menandatangani berita acara kesepakatan pokok pokok addendum perjanjian kontrak produksi. Sedikitnya sembilan kesepakatan dalam addendum kontrak produksi pengelolaan aset lahan seluas 65 Ha di Gili Trawangan akan dibahas berkelanjutan antara tim Pemprov NTB yang diketuai oleh Kepala Kejaksaan Tinggi sebagai pengacara negara bersama pengusaha Winoto dan direksi PT GTI.
Beberapa diantaranya adalah perubahan kontrak kerjasama dan besaran retribusi PT GTI selama 25 tahun beroperasi.
“Pemerintah memutuskan upaya addendum dengan komitmen PT GTI siap membangun dan mengelola izin investasi yang sudah diberikan”, tegas Gubernur Dr. Zulkieflimansyah, S.E., M.Sc. sebagaimana dikutip situs resmi Pemerintah Provinsi NTB, ntbprov.go.id.
Menurut Gubernur, komitmen melanjutkan pengelolaan aset dalam kontrak kerjasama sampai dengan 2026 itu menjadi salah satu kesepakatan yang akan dibahas dan dituangkan dalam addendum.
Sekretaris Daerah NTB, H. L. Gita Ariadi menjelaskan, pembahasan direncanakan selesai pada Agustus mendatang. Termasuk ketentuan mengenai hak dan kewajiban terkait komitmen investasi. Adapun mengenai retribusi juga akan disepakati sesuai aturan hukum yang berlaku serta kesepakatan mengenai pengusaha maupun pengusaha yang saat ini menempati lahan PT GTI untuk diberikan masa transisi penghentian usaha mereka. “Bahkan kalau diperlukan, kontrak kerjasama bisa diperbaharui jika klausul lama dianggap tidak lagi sesuai dengan kesepakatan dua pihak”, demikian HL Gita Ariadi, Sekretaris Daerah NTB. (EditorMRC).