Oleh: DR Salman Faris
Akhirnya, tak dapat dielakkan, ujung-ujungnya Pilkada Kota Mataram 2020 ialah arena pertarungan dua ikon Mataram, yakni Ustadz Ahyar Abduh dengan Pak H. Moh. Ruslan. Tidak lagi untuk menentukan siapa yang terbaik di antara keduanya sebab mereka sudah sangat ikonik di Mataram. Namun lebih kepada adakah pengaruh mereka berkontribusi besar untuk memenangkan calon yang terasosiai dengan mereka.
Sebelum lebih jauh, ada baiknya pembaca mengingat-ingat kembali film Joker dan Spiderman. Tidak juga lupa merenung-renung cerita Amaq Abir (salah satu genre drama Sasak yang kini masih berkembang di Marong). Hal ini membantu pembaca untuk dapat lebih menikmati aliran tulisan ini.
Semula saya berfikir, kontestasi politik di Mataram tahun 2020 dapat melahirkan drama dengan alur yang mencengangkan dan menegangkan. Drama yang memberikan plot maju mundur dan sekali waktu nampak seperti realisme magis atau pun surealis. Namun saya keliru. Benar-benar keliru. Hadirnya simbol watak-watak kuat, menonjol dan penuh rahasia saya bayangkan dapat memberikan laju drama politik selain mencerdaskan juga menghibur masyarakat di tengah galau yang tak habis-habis melanda.
Saya membayangkan, misalnya, Rahmat Hidayat melayari watak antagonis yang unik dan penuh daya tarik semisal Joker. Karena kekecewaan mendalam melihat satu kota yang ditinggalinya lambat dalam kemajuan. Jauh tertinggal dibandingkan Denpasar, Banyuwangi lalu membuat rumusan jitu untuk membuka kesadaran masyarakat agar mereka berontak secara bersama. Analogi Joker yang menghentak kota Gotham dengan menawarkan arus baru agar masyarakat tidak terus merasa nyaman di bawah ketergantungan pada sosok yang itu-itu saja, sosok monoton dan takut dicitrai buruk. Lalu Rahmat Hidayat mendorong pendamping hidupnya melayari nasib yang menantang. Gaya permainan di luar garis, keluar dari kotak, menggurat garis zig zag yang dinamis ekpresif dengan melontarkan pernyataan terbuka, genit, nakal, dan sarkastik untuk membuka kedok lawan yang bermanis citra. Tidak nampak dan memang tidak merasa berdosa mengalahakan lawan dengan segala cara. Namun rupanya skenario lakonan tersebut mengecewakan saya sebab akhirnya Rahmat Hidayat terjebak ke plot politik Aristoteles yang sangat konvensional (eksposisi, kompliaksi, klimaks, resolusi, konklusi).
Terjebak ke dalam kelir kharisma Ahyar Abduh yang selalu memegang kendali dalam ketenteraman. Rahmat Hidayat tak berhasil secara sengaja untuk tidak mengambil peran Joker karena takut kalah. Ia setia berfikir yang warga Kora Mataram masih lebih memilih pemimpin yang baik tingkah laku dan tutur katanya. Dan bagi pandangan saya, ini ialah strategi yang keliru sebab dalam konteks perlawanan, semestinya ia menggunakan jurus kontradiktif alias counter grand image yang sudah kadung melekat pada lawan agar masyarakat dapat tercerdaskan dalam menentukan jalan yang mana satu sebagai yang terbaik untuk masa depan Mataram. Sebagai penonton, tentu saja saya amat kecewa karena Rahmat Hidayat tidak menunjukkan kejokeran yang, boleh jadi jurus itu dapat menumbangkan Ahyar Abduh. Sungguh kecewa sebab akhirnya Rahmat Hidayat malah duduk sebagai tritagonis yang amat saleh. Watak yang amat tak sesuai dibawakan oleh Rahmat Hidayat.
Kecewa dengan gaya lakonan politik yang dipilih Rahmat Hidayat, saya masih menumpukan harapan kepada Mohan yang saya bayangkan akan mengambil peran seperti watak Harry Osborn. Watak menonjol yang memiliki dendam kreatif kepada Spiderman. Harry Osborn selalu yakin Spiderman ialah musuh yang mesti dilenyapkan karena ia berasumsi Spiderman telah membunuh ayahnya, yakni Norman Osborn alias Green Goblin. Norman Osborn ialah salah satu ikon kota. Sumbangannya kepada kemajuan tidak boleh dipandang remeh. Ia turut membangun industri kota yang berkemajuan. Meski akhirnya bertentangan dalam konteks etika moral yang diperjuangkan oleh Spiderman, namun Harry Osborn tidak dapat menerima kematian sang ayah di tangan sahabatnya sendiri. Dengan begitu, ia membuat perhitungan dengan Spiderman. Ia tak mau lagi berada di bawah ketiak dan bayang-bayang musuh bebuyutannya itu. Dendam dijalankan lalu terjadilah pertarungan amat sengit. Sebuah tontonan kreatif yang mencengangkan.
Begitulah bayangan saya pada diri Mohan. Kesempatan menunjukkan kualitas diri secara maksimal karena posisinya sebagai wakil Ahyar Abduh, sang ikon yang amat sangat ikonik, Mohan menggunakan kesempatan kontestasi ini untuk mendayung perahu perlawanan yang di luar dugaan. Saya membayangkan, ia benar-benar tutup mata dan telinga, layar dibentangkan secara habis-habisan. Jurus dikembangkan dengan tanpa ampun demi terwujudnya pembuktian diri yang ia sebenarnya dapat terbang jauh lebih tinggi tanpa Ahyar Abduh. Mohan mampu melesatkan langkah kaki jauh lebih membentang tanpa di bawah bayang-bayang kharisma Ahyar Abduh. Saya mengimajinasikan yang, Mohan menunjukkan diri sebagai penerus Pak Ruslan yang jauh lebih hebat. Pak Ruslan sebagai salah satu ikon Kota Mataram yang sangat melekat kuat. Merujuk kepada Harry Osborn, saya bayangkan Mohan tidak rela ikonitas sang ayah semakin larut lemah. Namun amat disayangkan, gaya permainan Mohan pun tak dapat keluar dari lakonan realisme konvensional Stanislavski (dramawan dunia berasal dari Rusia, pencetus gaya lakonan inner acting) yang hanya sesuai untuk penonton mapan dan sejahtera secara ekonomi. Bukan untuk warga Mataram yang memerlukan lakonan Faustis (salah satu karya agung Johann Wolfgang von Goethe, penulis dunia berasal dari Jerman) yang penuh kejutan. Mohan yang saya bayangkan keluar dari kuasa Ahyar Abduh malah semakin terjebak ke dalam permainan Ahyar Abduh yang kalem. Terjerembab ke dalam watak protagonis sebagai medan projek Ahyar Abduh. Tentu saja, di sini, tak ada yang dapat mengalahkan Ahyar Abduh, apalagi Mohan, sebab Ahyar Abduh memang ditakdirkan sebagai yang terbaik membawakan peran watak protagonis yang menghipnotis warga Mataram bertahun-tahun. Dan itulah argumen saya, kenapa saya mengimajinasikan Mohan menyusun draf perlawanannya di bawah konsep “keluar dari ketiak dan bayang-bayang sang ikonik hebat Ahyar Abduh”. Akan tetapi, rupanya Mohan juga amat takut dicitrai sebagai pembangkang, sebagai pemberontak, sebagai pengubah. Risikonya, ia pun tenggelam ke dalam permainan mentereng Ahyar Abduh yang beraliran akting realis Stanislavski tersebut. Akibatnya, perlawanan menjadi tidak menarik. Alur monoton membosankan. Jadi buat apa menukar tontonan yang gaya akting serupa, jika masih ada yang terbaik dalam genre tersebut, yakni Ahyar Abduh.
Gayung tak bersambut pada Rahmat Hidayat dan Mohan, saya mencoba cari seutas imajinasi kemenarikan pertarungan politik Pilkada Mataram 2020 pada gaya pertandingan Baihaqi. Muda dan memiliki kemampun mengkomunikasikan gagasan secara baik. Namun modal yang bagus ini, rupanya tidak dikemas dalam model kampanye yang defiatif. Menyangkal cara-cara konvensional untuk menciptakan warna berbeda (new version-new style). Saya berimajinasi Baihaqi laksana Amaq Abir atau Ken Arok di Jawa. Pendatang baru. Wajah dan sosok yang tidak dikenal dalam dunia amuk politik. Belum mempunyai cacat sekaligus catatan yang diperhitungkan lawan. Begitulah Amaq Abir watak yang datang dari tempat terpinggir, jauh dari hingar bingar pesta pora kekuasaan. Namun secara perlahan merangkak menuju pusat kuasa dengan menembusi hutan lalu membangun dan mengirim citra diri kepada penguasa sebagai orang yang mesti diistimewakan. Melakukan bantahan, sangkalan, hingga perlawanan mencengangkan kepada penguasa. Menunjukkan diri meskipun ia datang dari bukan manusia berkuasa namun ia dapat lebih berkuasa dibandingkan penguasa yang ada. Secara perlahan, Amaq Abir mempunyai pengikut yang kian bertambah dan amat kuat. Dengan menggunakan hutan sebagai markas pergerakan, prajurit Amaq Abir jauh lebih kuat dan menakutkan dibandingkan prajurit penguasa. Nama Amaq Abir berkibar. Sosoknya lebih berpengaruh dbandingkan penguasa karena memainkan cara yang berlawanan arus dengan penguasa. Jika penguasa kejam kepada siapa saja, Amaq Abir hanya kejam kepada musuh. Amaq Abir merampas harta orang-orang kaya yang rakus dan pelit lalu dibagikan kepada rakyat jelata.
Saya menduga Baihaqi mempunyai kesadaran yang tinggi bahwa dia pendatang baru. Kesadaran ini penting dan patut dihargai jika benar-banar ada. Namun amat disayangkan, kesadaran tersebut amat tidak nampak dalam konsep dan metode kampanyenya. Apa yang dimainkan Ahyar Abduh sebagai grand game yang sudah mendarah daging sebagai sosok yang selalu tersenyum, berkata baik, besuara rendah, tidak menyerang lawan secara brutal turut dimainkan oleh Baihaqi. Satu permainan yang amat keliru dalam konteks pertarungan politik yang bengis. Sebab dengan begitu, dia tidak dilirik karena magnet masih terlalu kuat pada sosok yang sudah mempunyai akar pancang mendalam, Ahyar Abduh.
Baik Rahmat Hidayat, Mohan, maupun Baihaqi saya bayangkan menawarkan serangan bertubi-tubi dalam wajah beringas seperti Joker, muka dendam seperti Henry Gordon, dan tampilan pemberantas seperti Amaq Abir agar masyarakat nampak jelas perbedaan antara yang baru dengan Ahyar Abduh. Ketiga watak ini samasekali tidak menggunakan kelemahan terbesar Ahyar Abduh yakni monotonik yang melahirkan kebosanan masyarakat, lalu mendorong situasi tersebut sebagai hasyrat besar masyarakat untuk menukar lampanan yang monoton dengan cara bersama-sama menggulingkan Ahyar Abduh meski mereka amat menghormati dan menyinta Ahyar Abduh. Malahan ketiga watak ini mengikuti secara mendalam alur yang dimainkan Ahyar Abduh. Maka tenggelamlah mereka ke samudera yang keliru. Bermaksud mencitrakan diri sebagai watak protagonis namun akhirnya ditelan habis-habisan oleh sang pemilik watak protagonis tersebut. Dialah Ahyar Abduh.
Apa yang menjadi kekuatan dan keberhasilan terbesar Ahyar Abduh sepanjang pertandingan di arena Pilkada Mataram 2020 ini? Pertama, Ahyar Abduh amat berhasil berperan sebagai sutradara, baik bagi Makmur-Ahda maupun untuk ketiga lawan yang dihadapi. Sebagai sutradara, Ahyar Abduh menulis naskah secara baik dengan menonjolkan watak protagonis secara kuat lalu menyamarkan peranan watak antagonis secara cerdik. Tema naskah yang ditonjolkan ialah kebaikan dan kemuliaan. Di luar kedua hal ini ialah kemungkaran yang mesti dilawan. Melalui tema ini, Ahyar Abduh berhasil membawa masuk ketiga lawan untuk ikut bermain. Apa yang terjadi adalah ketiga lawan benar-benar terlihat tak punya pengalaman dalam dunia kemuliaan dan kebaikan tersebut. Mereka terlihat canggung sebelum akhirnya dilibas secara mudah oleh watak protagonis yang diciptakan oleh Ahyar Abduh.
Kedua, sebagai produser Ahyar Abduh berhasil mempromosikan watak yang sesuai dengan dirinya. Bersuara rendah, mengutamakan etika moral, lemah lembut dalam perkataan yang tersemat pada Makmur-Ahda. Tentu saja ketiga lawan berupaya melakukan hal yang sama. Namun yang terjadi adalah kelucuan sebab mereka terkejut mendapati setali tiga uang, bagai pinang dibelah dua antara sosok Ahyar Abduh dengan watak yang dipromosikan yakni Makmur Ahda. Dengan begitu, masyarakat jadi berfikir, jika ketiga lawan tersebut sama lampanannya dengan Ahyar Abduh, lebih baik mengekalkan pilihan kepada pelabuhan cinta yang pertama mereka, yakni Ahyar Abduh. Buat apa mencoba yang lain kalau yang asli baik jauh lebih bermutu.
Ketiga, sebagai pemain Ahyar Abduh berhasil membuat dirinya mengalun di realisme magis. Tidak ketara namun amat terasa dampaknya. Watak yang tidak dapat diraba namun bau kharismanya dapat dirasakan. Satu misteri yang oleh lawan amat susah diterka. Kapan Ahyar Abduh menjadi walikota dan kapan ia bermain dengan lihainya, oleh lawan amat susah dibedakan. Dengan begitu, lawan mati langkah. Tidak dapat menyerang Ahyar Abduh. Misalnya dengan menyatakan yang Ahyar Abduh telah salah menggunakan kekuasaan. Ahyar Abduh berhasil memainkan konsep alienasi yang dipopulerkan oleh Bertolt Brecht (seorang dramawan dunia berasal dari Jerman). Antara ruang realitas dengan surealitas berhubungan secara cair sehingga amat sukar untuk membedakannya. Antara Ahyar Abduh bukan sebagai calon walikota dengan sosok sentral pada Makmur Ahda tipis sekali garisnya. Situasi ini mengelabui ketiga lawan sehingga mereka selalu kecolongan. Akhirnya, mau tidak mau, ketiga lawan pun mengikuti alur yang diskenariokan Ahyar Abduh, yakni bermain di wilayah dan dengan gaya yang di sanalah Ahyar Abduh menjadi sang maestro. Tentu saja, ia sukar dikalahkan jika ketiga lawan amatiran.
Maka jadilah Ahyar Abduh masih terlalu kuat untuk dikalahkan. Bahkan oleh lawan yang jauh lebih berkualitas dari dirinya, jika lawan tersebut keliru menafsirkan gaya permainan Ahyar Abduh, pun dengan mudah ditumbangkan oleh Ahyar Abduh.
Pemenang tak selalu sebagai yang terbaik. Sebab kemenangan seringsekali ditentukan bukan oleh kualitas petarung namun karena strategi yang hebat.
Yang kalah tak sentiasa sebagai yang buruk. Karena sering sekali kekalahan disebabkan oleh kekeliruan memilih strategi pertempuran.
Bicara pertarungan politik, tidak melulu tentang kualitas dan kefiguran tokoh. Namun amat penting bersandar pada strategi. Begitulah Ahyar Abduh dalam Pilkada Mataram 2020 ini. Ia sadar dapat dengan mudah dikalahkan lawan. Karena itu ia mesti menemukan strategi yang jitu. Dan ia berhasil menunjukkan yang dirinya masih terlalu kuat untuk disingkirkan.
Akan tetapi, kita mesti meyakini hasil Pilkada Kota Mataram 2020 sudah ditentukan oleh kekuasaan Yang Maha Penguasa.
Malaysia, 08 Desember 2020