Pameran “Perlahan Tapi Tak Terelakan”

Jejak Belajar dan Alam yang Menyapa

Karya-karya yang hadir dalam pameran “Perlahan Tapi Tak Terelakkan”—dengan kurator M. Rusli Oka dan Hujjatul Islam–sesungguhnya bukan semata hasil akhir dari sebuah eksperimen artistik, melainkan juga buah dari proses panjang belajar bersama dalam bingkai Akademi Isin Angsat.

Akademi ini, sebagaimana diungkap Muhammad Gozali, diinisiasi oleh Yayasan Pasirputih Lombok pada tahun 2025 sebagai ruang perjumpaan dan percobaan, yang berusaha mempertemukan para pegiat muda dengan isu-isu riil yang sedang dan akan terus dihadapi masyarakat.

Akademi bukanlah menara gading yang terpisah dari denyut kehidupan, melainkan sebuah wadah di mana pengetahuan lokal, pengalaman keseharian, dan isu ekologis yang mendesak dirajut dalam metode seni lintas disiplin.

Setiap partisipan ditantang untuk menyelami kenyataan sosial dan ekologis, untuk kemudian memprosesnya dengan bahasa artistik yang mereka pilih. Dari sanalah lahir gagasan, visual, suara, puisi, maupun sketsa, yang kemudian dipresentasikan dalam pameran ini.

Ada keyakinan mendasar yang mendorong lahirnya Akademi Isin Angsat: bahwa manusia tidak pernah benar-benar bisa dipisahkan dari alamnya.

Segala yang tumbuh—tradisi, keyakinan, bahkan peradaban—selalu berakar pada hubungan manusia dengan tanah, air, dan hutan. Lombok Utara adalah contoh yang nyata.

Kawasan ini dikenal dengan kelimpahan mata air dan air terjun, namun sejak gempa besar 2018 banyak sumber air perlahan berkurang. Catatan-catatan warga menunjukkan kekeringan mulai menjadi ancaman nyata di beberapa wilayah.

Fenomena ini semakin terasa mendesak di tengah perubahan iklim global. Maka perhatian terhadap sumber mata air, hutan, dan kebudayaan yang lahir dari relasi dengan alam menjadi sangat penting.

BACA JUGA:  Merajut Persaudaraan lewat Pameran Sakaningrat, Jayaningrat dan Paraningrat

Kearifan-kearifan lama yang pernah tumbuh di masyarakat ternyata mampu memberi jawaban terhadap krisis ekologis yang kini dihadapi dunia. Akademi Isin Angsat berusaha mewarisi sekaligus memperbarui kearifan itu, dengan menjadikannya sebagai pijakan artistik sekaligus pengetahuan kritis.

Seni Media sebagai Ruang Dialog

Pameran ini –diselenggarakan pada 20-22 September 2025– dirancang sebagai ruang interaksi, bukan sekadar ruang pamer. Ia mengajak pengunjung untuk menyaksikan, mendengar, dan merasakan ulang pengalaman kolektif dalam menghadapi krisis ekologis.

Seni media dipilih bukan hanya karena sifatnya yang eksperimental, tetapi juga karena potensinya dalam mengolah data, suara, visual, dan teks menjadi medium komunikasi yang lebih intim.

Bencana dan perubahan iklim, yang sering hanya kita pahami sebagai angka statistik atau narasi berita, dihadirkan kembali dalam bentuk yang dekat dengan tubuh.

Ia hadir sebagai denyut yang bergetar di pesisir, di ladang, di sumber mata air, dan di reruntuhan rumah. Dengan cara ini, seni mengingatkan kita bahwa krisis ekologis bukanlah sesuatu yang jauh, melainkan sesuatu yang hidup dalam keseharian kita.

Sering kali isu lingkungan hanya muncul dalam bentuk pidato atau orasi, lalu lenyap tanpa tindak lanjut. Kebijakan pembangunan lebih menekankan fisik infrastruktur, sementara literasi kebencanaan nyaris tidak terbangun di masyarakat.

Inilah mengapa karya seni memiliki peran penting: ia membuka ruang refleksi yang lebih dalam, memantik percakapan baru, dan menempatkan pengalaman masyarakat sebagai sumber pengetahuan.

BACA JUGA:  NTB Boyong banyak Juara pada IKADI 2023

Melalui observasi, pengolahan data, dan keterlibatan langsung, para partisipan Akademi Isin Angsat mengajukan tafsir artistik yang kontekstual. Karya-karya mereka tidak hanya mencatat, tetapi juga memproyeksikan strategi hidup bersama di tengah krisis iklim.

Garis-garis Rumah pasca Bahaya – La Radek Kamamba

Karya-karya: Dari Garis Pantai hingga Rumah

Setiap karya dalam pameran ini bisa dipandang sebagai fragmen kecil dari mosaik besar isu lingkungan dan kebencanaan di Lombok Utara. Mereka menghadirkan kesadaran dengan cara yang berbeda, namun saling melengkapi.

Proyeksi Visual Garis Pantai (2025) karya Anton Sumekah


Karya ini membuka kesadaran tentang perubahan garis pantai dalam 17 tahun terakhir. Abrasi dan kenaikan muka air laut pelan-pelan mengubah cara kita memandang rumah dan daratan. Visualisasi Sumekah membuat waktu terasa seperti ombak: bergerak perlahan, tetapi pasti.

Suara Petani Hutan Kerujuk (2025) karya Wahyu Rizki Inandi


Komposisi audio yang lahir dari wawancara dengan petani hutan ini menghadirkan suara-suara yang biasanya tak terdengar dalam narasi resmi. Bukan sekadar dokumentasi, suara-suara itu berubah menjadi nyanyian lisan tentang strategi bertahan hidup dan kearifan lokal.

Puisi Mata Air (2025) karya Nisak Itriyana


Kompilasi puisi ini membawa kita ke hubungan intim antara manusia dan air. Kata-kata Nisak mengingatkan bahwa air bukanlah sumber daya tanpa batas, melainkan sesuatu yang harus dirawat dan disyukuri. Puisi menjadi doa sekaligus pengetahuan ekologis.

Bingkai-bingkai Beton Berbahaya (2025) karya Rudi Urrahman


Seri fotografi ini menyikapi ironi gedung Tempat Evakuasi Sementara (TES) yang mangkrak di Karang Pangsor. Gedung yang seharusnya menjadi simbol kesiapsiagaan justru menjadi tanda ambigu antara hara[an dan kenyataan.

BACA JUGA:  Kolaborasi Generasi dalam Perayaan Maulid Nabi oleh IKA Apitaik

Garis-garis Rumah pasca Bahaya (2025) karya La Radek Kamamba


Kompilasi sketsa arsitektur ini menawarkan visi tentang rumah sebagai ruang aman, adaptif, dan berkelanjutan. Bukan sekadar blueprint teknis, melainkan imajinasi kolektif tentang bagaimana membangun ulang ruang hidup setelah bencana.

Penutup: Mitigasi sebagai Laku Budaya

Dari visual, suara, puisi, fotografi, hingga sketsa, karya-karya dalam pameran ini menegaskan satu hal: seni bisa bekerja sebagai ruang dialog antara memori dan masa depan. Ia mengingatkan kita bahwa mitigasi bencana bukan hanya urusan teknologi darurat, melainkan sebuah laku budaya yang harus dirawat terus-menerus.

Pameran “Perlahan Tapi Tak Terelakkan” bukan sekadar menampilkan jejak bencana, tetapi juga mengajak kita membayangkan strategi hidup bersama di tengah krisis iklim. Akademi Isin Angsat, melalui proses belajarnya, telah membuka jalan bagi generasi muda untuk mengolah pengalaman sosial-ekologis ke dalam bahasa seni.

Pada akhirnya, karya-karya ini adalah undangan. Undangan untuk mendengar suara alam dan masyarakat yang sering diabaikan. Undangan untuk merenungkan kembali relasi kita dengan air, hutan, dan tanah. Undangan untuk percaya bahwa masa depan hanya mungkin jika kita menumbuhkan imajinasi kolektif, solidaritas, dan kesadaran ekologis.

Selamat berpameran, selamat merayakan proses, dan semoga percikan kecil ini menjadi cahaya yang menerangi jalan bersama di tengah zaman yang perlahan, tetapi tak terelakkan.

Akuair-Ampenan, 21-09-2025