MATARAMRADIO.COM – Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, yang lebih dikenal sebagai H.O.S. Cokroaminoto, lahir pada 16 Agustus 1882 di Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur.
Ia adalah anak kedua dari 12 bersaudara, putra Raden Mas Tjokroamiseno, seorang wedana di Kleco, Magetan, dan cucu R.M. Adipati Tjokronegoro, mantan Bupati Ponorogo.
Darah bangsawan dan keturunan ulama dari Kiai Ageng Hasan Besari, pendiri Pesantren Tegalsari, mengalir dalam dirinya, memberikan pengaruh kuat pada jiwa kepemimpinan dan nasionalismenya sejak kecil.

Sejak kecil, Tjokroaminoto dikenal cerdas, berani, dan kadang bandel. Ia sering berpindah sekolah karena keberaniannya yang kerap menimbulkan keributan, namun kecerdasannya membuatnya disegani teman-temannya.Ia mengenyam pendidikan di sekolah Belanda, yang saat itu hanya diperuntukkan bagi kalangan pejabat dan orang Eropa.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, ia melanjutkan ke Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Magelang, sebuah sekolah administrasi pemerintahan untuk calon pegawai kolonial Belanda. Ia lulus pada tahun 1902 dan mulai bekerja sebagai juru tulis patih di Ngawi.
Di Surabaya, Tjokroaminoto bekerja di perusahaan swasta Kooy & Co sambil melanjutkan pendidikan di Burgerlijke Avondschool, jurusan Teknik Mesin. Ia juga bekerja sebagai ahli kimia dan teknisi di Pabrik Gula Rogojampi serta merintis karier sebagai wartawan di surat kabar Bintang Soerabaja. Tulisannya yang kritis terhadap penjajahan Belanda membuatnya dikenal sebagai ancaman oleh pemerintah kolonial. Rumahnya di Gang Peneleh, Surabaya, menjadi indekos bagi para pemuda pribumi, seperti Soekarno, Musso, Semaun, Alimin, dan Kartosuwiryo, yang belajar nasionalisme dan politik darinya.
Pada masa ini, Tjokroaminoto menikah dengan Raden Ajeng Soeharsikin, putri Raden Mas Mangoensomo, wakil bupati Ponorogo. Dari pernikahan ini, ia dikaruniai lima anak, salah satunya Siti Oetari, yang kelak menjadi istri pertama Soekarno.
Namun, pada September 1905, Tjokroaminoto mengundurkan diri dari pekerjaannya karena merasa diperlakukan seperti budak oleh Belanda dan menyaksikan ketidakadilan terhadap pribumi. Keputusan ini ditentang keluarga dan mertuanya, yang menginginkannya menjadi birokrat, tetapi ia tetap teguh. Ia kemudian merantau, terinspirasi oleh kisah hijrah Nabi Muhammad, sebelum akhirnya menetap di Surabaya pada 1907.
Pada Mei 1912, Tjokroaminoto bergabung dengan Sarekat Dagang Islam (SDI), yang didirikan oleh Haji Samanhudi pada 1905 untuk melindungi pedagang pribumi dari dominasi pedagang asing. Ia mengubah nama organisasi menjadi Sarekat Islam (SI) pada 1912, memperluas visi dari ekonomi ke politik, dengan tujuan kemerdekaan dan persatuan bangsa Indonesia.
Di bawah kepemimpinannya, SI mendapat pengakuan hukum dari pemerintah kolonial Belanda, dan jumlah anggotanya melonjak hingga mencapai 2,5 juta orang. Pidato-pidatonya yang berapi-api mampu memengaruhi massa, membuat Belanda menjulukinya “De Ongekroonde van Java” atau “Raja Jawa Tanpa Mahkota.”
Tjokroaminoto memimpin SI dengan kebijakan tegas namun bersahaja, mengintegrasikan nilai-nilai Islam, nasionalisme, dan perdagangan.
Ia mendesak pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat (Volksraad) dan menyuarakan pemerintahan sendiri untuk Indonesia. Namun, SI menghadapi perpecahan ideologi, terutama dengan munculnya faksi komunis (SI Merah) yang dipimpin Semaun dan Darsono.
Pada 1921, Tjokroaminoto mengeluarkan mereka dari SI atas desakan Muhammadiyah, dan SI diubah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada 1929. Ia juga menolak jabatan di Volksraad pada 1927, menunjukkan sikap non-kooperatif terhadap Belanda.
Selain politik, Tjokroaminoto aktif dalam seni, seperti karawitan dan wayang orang, serta menyebarkan pendidikan untuk membangun kesadaran nasional.
Ia berprinsip bahwa pendidikan adalah kunci memerdekakan bangsa. Namun, kesehatannya mulai menurun pada 1933.
Setelah menghadiri Kongres PSII di Banjarmasin pada 1934, ia jatuh sakit dan meninggal dunia pada 17 Desember 1934 di Yogyakarta, pada usia 52 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Pekuncen, Yogyakarta. Pada 9 November 1961, Pres:n Soekarno menganugerahkannya gelar Pahlawan Nasional atas jasa-jasanya dalam perjuangan kemerdekaan.
Narasi Kata-Kata Bijak H.O.S. Cokroaminoto tentang Pemerintahan
H.O.S. Cokroaminoto bukan hanya seorang pemimpin politik, tetapi juga seorang guru bangsa yang meninggalkan warisan pemikiran mendalam melalui kata-kata bijaknya. Salah satu trilogi legendarisnya adalah, “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.”
Trilogi ini mencerminkan pandangannya bahwa seorang pemimpin harus memiliki ilmu yang luas, keimanan yang kokoh, dan strategi yang cerdas untuk memimpin bangsa.
Dalam konteks pemerintahan, Tjokroaminoto menekankan bahwa kepemimpinan harus berlandaskan nilai-nilai luhur, seperti keadilan, persaudaraan, dan kemerdekaan, sebagaimana ia petik dari tatanan pemerintahan Islam di masa Rasulullah dan Khalifah Umar bin Khattab, yang ia anggap sosialistis dan dermawan.
Prinsip lain yang terkenal adalah, “Satu buat semua, semua buat satu,” yang menggambarkan visinya tentang pemerintahan yang inklusif dan memuliakan martabat manusia.
Ia percaya bahwa pemerintahan yang baik harus menciptakan kehidupan aman dan sejahtera dengan menghindari paham liberal yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan budaya Indonesia. Melalui pendidikan dan kebudayaan, Tjokroaminoto ingin membangun harmoni antara jiwa, masyarakat, dan Tuhan, sebagai fondasi pemerintahan yang berkeadilan. Kata-kata ini menginspirasi murid-muridnya, termasuk Soekarno, untuk membangun Indonesia yang merdeka dan bersatu, menjadikan Tjokroaminoto sebagai “Raja Jawa Tanpa Mahkota” yang abadi dalam sejarah perjuangan bangsa.(editorMRC)










































































































































