Kebudayaan dalam Sistem Pemerintahan (Respons Terhadap Dinas Kebudayaan yang Dibentuk Gubernur Iqbal

Pertama, kebijakan Gubernur Iqbal terkait kebudayaan ini sangat wajib diapresiasi. Hanya saja, untuk dapat mengelola kebudayaan dalam pemerintahan, Gubernur Iqbal tidak bisa bekerja sendiri dengan mengandalkan sepenuhnya ASN yang dipunyai.

Kedua, Gubernur Iqbal sangat penting melibatkan para pakar kebudayaan yang secara akademik belajar, faham sekaligus melakoni kebudayaan itu sendiri. Di NTB, tidak sedikit akademisi kebudayaan yang sangat pakar. Ada Prof. Wahid dan Prof. Ending di UIN Mataram. Ada juga Prof. Nuriadi di Unram. Termasuk Prof. Haq yang sangat mumpuni dalam mengintegrasikan hukum dengan kebudayaan. Selain itu ada Dr. Fauzan, Wakil Rektor UNU NTB yang sangat detail penguasaan kebudayaan secara akademik. Para pakar ini, hemat saya, sangat penting dilibatkan Gubernur Iqbal dalam membangun fondasi Dinas Kebudayaan.

Ketiga, agar ASN yang ditempatkan dalam Dinas Kebudayaan memahami secara mendalam dan komprehensif tugas dan tanggung jawab, sangat penting diadakan Diklat Kebudayaan dalam sistem pemerintahan.

Kebijakan kebudayaan dalam sistem pemerintahan bukan hanya sekadar administratif, tetapi merupakan upaya membangun dan mengelola identitas kolektif masyarakat. Pemerintahan yang berhasil mengelola kebudayaan dengan baik akan mampu menciptakan harmoni sosial serta mengoptimalkan potensi budaya sebagai sumber daya strategis dalam pembangunan. Oleh karena itu, keterlibatan para pakar bukan hanya sekadar pelengkap, melainkan keharusan agar kebijakan yang dihasilkan memiliki dasar akademik yang kuat dan dapat diterapkan secara efektif.

Selain itu, penting diingat bahwa kebudayaan bukan entitas yang statis, melainkan terus berkembang sesuai dengan dinamika sosial dan politik yang ada. Maka dari itu, kebijakan yang dibangun harus bersifat fleksibel dan adaptif terhadap perubahan zaman. Sebuah Dinas Kebudayaan yang ideal tidak hanya bertugas melestarikan tradisi, tetapi juga menciptakan ruang bagi inovasi budaya agar kebudayaan tetap relevan dan tidak terjebak dalam romantisme masa lalu yang stagnan.

Kebudayaan bukan hanya kesenian, melainkan mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan alam dan sesamanya. Dalam pandangan Edward B. Tylor (1871) dalam Primitive Culture, kebudayaan merupakan keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu, pendekatan kebijakan kebudayaan harus holistik dan tidak terbatas pada aspek seni semata, tetapi juga pada pola pikir, sistem nilai, dan cara manusia beradaptasi dengan lingkungannya dalam berbagai aspek kehidupan.

Dalam konteks ini, ASN yang ditugaskan di Dinas Kebudayaan harus memiliki pemahaman mendalam mengenai teori kebudayaan serta bagaimana kebudayaan bekerja dalam kehidupan sehari-hari masyarakat NTB. Oleh karena itu, pelatihan atau Diklat Kebudayaan dalam sistem pemerintahan menjadi kebutuhan mendesak. Diklat ini tidak hanya harus berisi materi teoritis mengenai kebudayaan, tetapi juga mencakup praktik langsung, studi lapangan, serta diskusi bersama para pelaku budaya. Dengan demikian, ASN yang bertugas di Dinas Kebudayaan tidak hanya menjadi birokrat administratif, tetapi juga mediator budaya yang mampu memahami, merespons, dan mengembangkan kebijakan yang berbasis pada realitas kebudayaan masyarakat NTB.

Dalam konteks keilmuan, kebudayaan merupakan salah satu pilar utama dalam pembangunan suatu bangsa. Ia bukan hanya sekadar warisan leluhur yang harus dijaga, tetapi juga menjadi ruang dinamis tempat berlangsungnya negosiasi makna, identitas, dan kekuasaan. Dalam konteks pemerintahan, kebudayaan memainkan peran strategis sebagai instrumen yang tidak hanya membentuk identitas nasional, tetapi juga menjadi medium bagi kebijakan publik, regulasi sosial, dan pembangunan ekonomi berbasis kearifan lokal. Oleh karena itu, kebijakan budaya harus dirancang dengan pendekatan yang tidak hanya berorientasi pada pelestarian, tetapi juga pengembangan dan adaptasi terhadap tantangan zaman.

BACA JUGA:  NTB dan indeks Keterbukaan Informasi

Hakikat kebudayaan dalam sistem pemerintahan dapat dipahami melalui pendekatan ontologis yang melihat kebudayaan sebagai realitas kompleks. Edward B. Tylor (1871) dalam Primitive Culture mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan sistem yang mencakup kepercayaan, seni, hukum, dan kebiasaan manusia. Sementara itu, Clifford Geertz (1973) dalam The Interpretation of Cultures memandang kebudayaan sebagai jaringan makna yang harus ditafsirkan. Dalam pemerintahan, kebudayaan tidak hanya dipandang sebagai aspek warisan yang perlu dilestarikan, tetapi juga sebagai instrumen strategis dalam pengelolaan negara, baik melalui regulasi hukum adat, kebijakan industri kreatif, maupun diplomasi budaya dalam hubungan internasional.

Clyde Kluckhohn (1962) dalam Culture and Behavior merumuskan unsur-unsur wajib dalam kebudayaan. Pertama, sistem makna dan simbol menjadi elemen utama yang membentuk kebudayaan. Setiap masyarakat memiliki simbol dan makna budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Hal ini mencakup bahasa, mitos, ritual, dan seni yang membentuk identitas kolektif. Kedua, struktur sosial menentukan pola hubungan yang mengatur interaksi antara individu dan kelompok, termasuk sistem kekerabatan, stratifikasi sosial, dan organisasi politik.

Ketiga, nilai dan norma menjadi prinsip moral serta aturan yang mengatur perilaku masyarakat, baik dalam bentuk hukum tertulis maupun aturan adat yang diwariskan secara turun-temurun. Keempat, teknologi dan peralatan hidup menjadi faktor penting dalam menunjang keberlangsungan budaya, mencakup inovasi teknis dan alat yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti sistem pertanian, alat transportasi, dan teknologi komunikasi. Kelima, sistem ekonomi mengatur bagaimana masyarakat mengorganisasi produksi, distribusi, dan konsumsi sumber daya untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Keenam, relasi ekologi dan budaya menjadi faktor yang tidak dapat diabaikan karena interaksi antara manusia dan lingkungannya menentukan bagaimana kebudayaan menyesuaikan diri dengan kondisi geografis dan ekologis tertentu. Unsur-unsur ini menjadi dasar dalam memahami bagaimana kebudayaan dikelola dalam suatu sistem pemerintahan.

Dalam memahami kebudayaan, epistemologi menawarkan berbagai pendekatan yang dapat digunakan oleh pemerintahan dalam merancang kebijakan yang berbasis data dan kajian mendalam. Pendekatan interpretatif, seperti yang dikembangkan oleh Clifford Geertz (1973) menekankan pentingnya memahami simbol dan narasi budaya yang berkembang di masyarakat. Geertz menyoroti konsep “thick description,” di mana kebudayaan harus dipahami sebagai jaringan makna yang kompleks dan kontekstual.

Di sisi lain, pendekatan strukturalis dan materialis yang diwakili oleh pemikir seperti Karl Marx (1867) dalam Das Kapital melihat kebudayaan sebagai konstruksi sosial yang erat kaitannya dengan relasi kekuasaan dan ekonomi. Dalam perspektif ini, kebudayaan tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan produk dari dinamika kelas yang terbentuk dalam sistem produksi. Antonio Gramsci (1971) dalam Selections from the Prison Notebooks menambahkan bahwa kebudayaan adalah alat hegemoni yang digunakan oleh kelas dominan untuk mempertahankan kekuasaannya melalui institusi seperti pendidikan dan media.

Raymond Williams (1976) dalam Keywords: A Vocabulary of Culture and Society menegaskan bahwa kebudayaan bukan hanya refleksi sosial tetapi juga arena perjuangan makna dalam masyarakat. Ia membedakan antara kebudayaan sebagai “struktur perasaan” dan kebudayaan sebagai “cara hidup” yang berkembang seiring perubahan sosial.

Pierre Bourdieu (1979) dalam Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste mengembangkan konsep habitus, yang menggambarkan bagaimana kebiasaan sosial membentuk selera budaya dan bagaimana budaya menjadi alat diferensiasi sosial. Dalam perspektif ini, kebudayaan bukan hanya ekspresi simbolik tetapi juga merupakan mekanisme yang mereproduksi ketimpangan sosial.

Claude Lévi-Strauss (1958) dalam Structural Anthropology menawarkan pendekatan strukturalis yang melihat kebudayaan sebagai sistem tanda yang memiliki pola universal. Pendekatan ini menekankan pentingnya memahami struktur di balik fenomena budaya untuk mengungkap pola-pola tersembunyi yang membentuk pemikiran dan praktik sosial.

BACA JUGA:  Sasak Gagal Sasak Fatal

Dalam konteks pemerintahan, studi etnografi dan penelitian kualitatif menjadi alat utama dalam mengidentifikasi dinamika kebudayaan lokal. Kajian yang dilakukan oleh Margaret Mead (1928) dalam Coming of Age in Samoa dan Bronislaw Malinowski (1922) dalam Argonauts of the Western Pacific menunjukkan bahwa kebijakan kebudayaan harus berbasis pada pemahaman mendalam mengenai praktik sosial masyarakat.

Dengan memahami berbagai pendekatan epistemologis dalam kebudayaan serta unsur-unsur wajib yang membentuknya, pemerintah dapat menyusun kebijakan yang tidak hanya berbasis pada pelestarian, tetapi juga pengembangan kebudayaan sebagai aset sosial, ekonomi, dan politik yang berkelanjutan.

Dalam sistem pemerintahan, kebudayaan memiliki nilai aksiologis yang luas, mencakup aspek sosial, estetis, ekonomi, dan politik. Nilai sosial dan moral dalam kebudayaan berperan dalam membentuk norma dan etika yang mengatur kehidupan masyarakat. Dalam konteks kebijakan, hal ini mencerminkan pentingnya regulasi yang melindungi budaya lokal dari erosi akibat globalisasi. Dari aspek estetika, kebudayaan menjadi sumber ekspresi seni yang tidak hanya memperkuat identitas manusia NTB, tetapi juga menjadi modal dalam industri kreatif. Secara ekonomi, kebudayaan telah berkembang menjadi sektor strategis melalui pariwisata berbasis budaya dan hak kekayaan intelektual atas produk budaya NTB. Dalam politik, kebudayaan berfungsi sebagai soft power (Antonio Gramsci, 1971) yang dapat digunakan gubernur Iqbal dan masayarakat dalam diplomasi global.

Berdasarkan beberapa pandangan terkait kebudayaan tersebut, maka dapat dilihat bahwa pembentukan Dinas Kebudayaan oleh Gubernur Iqbal merupakan langkah strategis dalam menginstitusionalisasikan kebijakan kebudayaan dalam pemerintahan NTB. Karena itu, struktur organisasi yang dikembangkan dalam dinas ini harus mampu mengakomodasi berbagai dimensi kebudayaan, baik dalam bentuk pelestarian warisan budaya, pengembangan ekonomi kreatif, maupun diplomasi budaya. Kepala Dinas Kebudayaan berperan sebagai pemegang kebijakan utama, dengan berbagai bidang di bawahnya yang mengelola aspek-aspek krusial seperti sistem makna dan simbol, struktur sosial, nilai dan norma, teknologi budaya, serta relasi ekologi dan budaya.

Dalam pelaksanaannya, struktur organisasi yang ideal dalam pengelolaan kebudayaan di pemerintahan dapat disusun secara berjenjang agar setiap aspek kebudayaan dapat terkelola secara efektif. Tawaran struktur organisasi yang lebih sistematis untuk Dinas Kebudayaan adalah sebagai berikut: 1) Kepala Dinas Kebudayaan bertanggung jawab atas kebijakan utama, koordinasi lintas sektor, serta hubungan dengan pemerintah pusat dan internasional. Posisi ini juga menentukan arah kebijakan strategis dalam pengelolaan kebudayaan, termasuk program pelestarian dan pengembangan budaya. 2) Sekretaris Dinas menangani administrasi, perencanaan, dan pengawasan program kebudayaan. Fungsi utama sekretariat adalah memastikan keberlanjutan operasional dinas serta pengelolaan anggaran dan sumber daya manusia.

3) Bidang Pelestarian Budaya mengelola konservasi cagar budaya, bahasa daerah, sastra, dan sejarah lokal. Bidang ini bertugas merancang program perlindungan budaya takbenda serta restorasi situs budaya yang memiliki nilai sejarah penting. 4) Bidang Pengembangan Ekonomi Kreatif dan Industri Budaya mendorong industri seni, perfilman, musik, dan pariwisata berbasis budaya NTB. Tujuan utama bidang ini adalah meningkatkan kontribusi ekonomi dari sektor kebudayaan dan memastikan kesejahteraan pelaku seni dan budaya.

5) Bidang Regulasi dan Hukum Adat mengawal kebijakan hukum yang terkait dengan hak intelektual budaya, hukum adat, dan perlindungan warisan budaya takbenda. Bidang ini bekerja sama dengan lembaga hukum untuk memastikan perlindungan yang optimal terhadap aset budaya. 6) Bidang Diplomasi Budaya dan Hubungan Internasional mempromosikan budaya NTB dalam skala nasional dan internasional melalui program kerja sama global. Kegiatan seperti festival budaya, pertukaran seniman, dan perjanjian kerja sama budaya menjadi fokus utama.

7) Bidang Riset dan Kajian Budaya melakukan penelitian dan dokumentasi kebudayaan sebagai dasar pembuatan kebijakan yang lebih berbasis data. Kajian ilmiah yang dilakukan oleh bidang ini digunakan untuk merancang program yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 8) Bidang Partisipasi Masyarakat dan Komunitas Budaya memfasilitasi keterlibatan masyarakat dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan. Bidang ini menjembatani komunikasi antara pemerintah dan komunitas budaya untuk memastikan kebijakan yang inklusif dan partisipatif.

BACA JUGA:  Kebaikan yang Terserak di Samudera Sunyi (Respons Pertama Terhadap Hingar Bingar Gubernur NTB Turun ke Desa)

Selain itu, untuk membumikan kebudayaan NTB, sangat penting menambah UPT, yaitu: 1) UPT Taman Budaya, 2) UPT Museum, dan 3) UPT baru, yakni UPT Ekonomi Kreatif dan Industri Budaya yang berfungsi sebagai pusat pengembangan, fasilitasi, dan regulasi sektor ekonomi kreatif berbasis budaya di NTB. Unit ini mendukung pelaku industri kreatif melalui pelatihan, pendanaan, serta jejaring pasar lokal dan global, sekaligus menjaga dan menduniakan budaya NTB dengan pendekatan inovatif dan berbasis komunitas.

Seterusnya, sangat baik untuk Gubernur Iqbal memandalam dalam konteks kebudayaan masa kini dan masa depan, Stuart Hall (1997) dalam Representation: Cultural Representations and Signifying Practices menegaskan bahwa kebudayaan adalah arena pertarungan makna yang terus mengalami negosiasi. Oleh karena itu, kebijakan kebudayaan yang diterapkan pemerintah, termasuk oleh Gubernur Iqbal, harus memungkinkan masyarakat untuk turut serta dalam membentuk dan mendefinisikan budaya mereka sendiri. Kebijakan yang bersifat top-down tanpa mendengar suara masyarakat hanya akan menghasilkan budaya yang homogen dan kehilangan dinamika alaminya.

Adorno dan Horkheimer (1944) dalam Dialectic of Enlightenment mengingatkan bahwa dalam era industri budaya, ada kecenderungan kebudayaan menjadi komoditas yang kehilangan nilai kritisnya. Pemerintah harus berhati-hati agar kebudayaan tidak direduksi sekadar menjadi alat konsumsi dan hiburan semata, melainkan tetap menjadi ruang refleksi dan kritik sosial bagi masyarakat. Baudrillard (1981) dalam Simulacra and Simulation bahkan menegaskan bahwa dalam dunia yang penuh simulasi, kebudayaan dapat kehilangan makna aslinya dan berubah menjadi sekadar representasi kosong. Oleh karena itu, penting bagi Gubernur Iqbal yang dibersamai para pakar untuk merancang kebijakan yang menjaga substansi dan makna kebudayaan tetap autentik dan tidak terdistorsi oleh kepentingan pasar.

Bourdieu (1984) menyoroti bahwa kebudayaan juga beroperasi dalam struktur sosial yang sarat dengan kapital simbolik. Artinya, akses terhadap kebudayaan sering kali dikendalikan oleh kelas-kelas sosial tertentu. Oleh karena itu, kebijakan kebudayaan harus berorientasi pada inklusivitas, memastikan bahwa seluruh masyarakat memiliki akses yang sama terhadap produksi dan konsumsi budaya. Gubernur Iqbal, dalam membentuk Dinas Kebudayaan, seyogianya mempertimbangkan aspek ini agar kebijakan yang dibuat tidak hanya berpihak pada elit budaya, tetapi benar-benar memberdayakan seluruh lapisan masyarakat.

Raymond Williams (1976) menekankan bahwa kebudayaan adalah proses dinamis yang terus berkembang sesuai dengan konteks sosial dan politiknya. Maka, Gubernur Iqbal sangat penting untuk membaca perubahan zaman dan menyesuaikan kebijakan agar kebudayaan tetap relevan serta tidak kehilangan esensinya. Dengan demikian, kebudayaan tidak hanya menjadi warisan masa lalu, tetapi juga fondasi bagi masa depan yang lebih inklusif dan berkeadilan.

Dalam menghadapi tantangan kebudayaan di masa kini dan masa depan, Gubernur Iqbal serta masyarakat dituntut memahami bahwa kebudayaan bukanlah sesuatu yang dapat dipaksakan dari atas ke bawah, melainkan harus menjadi hasil dari partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat.

Gubernur Iqbal memiliki tanggung jawab untuk menciptakan kebijakan yang tidak hanya melindungi kebudayaan dari erosi globalisasi, tetapi juga memberinya ruang untuk berkembang secara organik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakatnya. Dengan demikian, kebudayaan dapat tetap menjadi elemen yang hidup dan terus berkembang, bukan sekadar artefak yang dibekukan dalam kebijakan yang kaku dan usang.

Di tangan Gubernur Iqbal, saatnya kebudayaan berperan signifikan dalam membentuk identitas, karakter, mentalitas, imajinasi kolektif dan kekuatan politik kebudayaan-ekonomi manusia NTB makmur mendunia.

Malaysia, Bulan Puasa 2025.