Menanti Meritokrasi Gubernur Iqbal di Tengah Lingkaran Setan Birokrasi NTB

Janji-janji reformasi birokrasi dan peningkatan profesionalisme Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi angin segar setelah bertahun-tahun sistem pemerintahan daerah ini terjebak dalam pusaran birokrasi yang lamban, politisasi jabatan, dan budaya kerja yang masih jauh dari ideal. Namun, di tengah semangat perubahan itu, tantangan terbesar yang dihadapi adalah bagaimana membebaskan NTB dari “lingkaran setan” birokrasi yang telah mengakar kuat.

Kedua narasi di bawah ini adalah salah satu cara untuk memahami betapa rumitnya relasi kekuasaan dalam birokrasi NTB. Birokrasi, yang seharusnya menjadi mesin administratif yang efisien, justru berkembang menjadi arena pertempuran kepentingan yang tak kasatmata. Di balik struktur yang tampak rapi, ada ketegangan laten yang mengatur dinamika di dalamnya.

Pada suatu ketika dahulu, birokrasi di NTB terbagi ke dalam tiga arus besar yang sama bertanding menggunakan pengaruh. Satu gubernur, wakil gubernur, dan juga Sekda. Ketiga simbol kekuasaan dan pemerintahan ini masing-masing memiliki balatentara andalan di birokrasi.

Persaingan sangat sengit yang berdampak pada sirkulasi birokrasi yang rumit. Hubungan ketiga aktor tersebut sangat rumit karena semakin di penghujung masa jabatan, sepak terjang mereka semakin terkotak-kotak ke kepentingan masing-masing. Meskipun ada mekanisme birokrasi yang wajib dijalankan, namun karena ketiga-tiga gerbong tersebut sudah terjebak ke dalam pertarungan kepentingan masing-masing, mekanisme tersebut luntur oleh tujuan politik.

Ada salah satu kepala OPD yang sentiasa heran, tidak habis pikir, bahkan sering tersinggung dan merasa diintimidasi. Bagaimana tidak? Segala yang terjadi di OPD yang dia pimpin pasti terendus oleh kegubernuran dalam masa yang singkat. Belum lima menit terjadi, sudah sampai ke kegubernuran.

Tidak hanya terkait kebijakannya, tetapi termasuk tingkah laku dan kata-katanya, sepenuhnya sampai ke kegubernuran dalam masa yang singkat. Keadaan yang sama semakin mengganggu. Dia pun mulai menyadari bahwa ada ASN yang sengaja ditempatkan oleh pejabat tinggi birokrasi di kegubernuran untuk memata-matainya. Tidak satu ASN melainkan hampir di semua seksi dan bidang ada. Pekerjaannya memang ditugaskan untuk memata-matai dirinya.

Dia termasuk kepala OPD yang progresif. Karena itu, bagi salah seorang pejabat tinggi birokrasi NTB, dia harus dihentikan sebab dia sangat berpotensi sebagai pesaing. Berhasil membangun OPD yang dia pimpin, dia pun dipindah ke OPD yang lain. Hal yang sama berlaku, dia progresif namun mata-mata sudah ditempatkan di sana. Akibatnya, di awal kepemimpinannya, banyak masalah yang terjadi di internal OPD yang dia pimpin. Bukan semata-mata karena kepemimpinannya yang progresif, melainkan karena mata-mata terus bekerja sesuai instruksi atasan yang menempatkannya.

Pola semacam ini tidak terjadi dalam satu-dua tahun, melainkan sudah menjadi warna birokrasi NTB sejak lama. Birokrasi, yang seharusnya menjadi instrumen administratif untuk menjalankan roda pemerintahan dengan efektif dan efisien, justru berubah menjadi arena pertarungan kekuasaan.

Dinamika ini berulang, menandakan bahwa birokrasi NTB tidak pernah benar-benar menjadi ruang yang steril dari tarik-menarik kepentingan politik. Alih-alih bergerak berdasarkan meritokrasi, birokrasi NTB justru sering kali lebih dekat dengan model oligarkis, di mana kekuasaan terdistribusi di antara segelintir elite yang memiliki akses terhadap sumber daya dan jaringan politik yang luas.

Selama bertahun-tahun, model pemerintahan yang terbentuk di NTB bukanlah sepenuhnya birokrasi yang bersih dan profesional, melainkan birokrasi yang hidup dalam ekosistem politik yang berlapis-lapis. Ekosistem birokrasi yang terkotak-kotak ke dalam kepentingan pimpinan. Ekosistem di mana OPD yang ada terbagi ke dalam kepentingan atasan. Kelompok OPD yang satu milik si A, kelompok OPD yang satu lagi menjadi arena kekuasaan si B.

BACA JUGA:  Komedi Inovasi: Kontradiksi Masyarakat Inovatif dengan Birokrat Terasi

Begitu seterusnya. Mekanisme yang seharusnya mengatur jalannya pemerintahan semakin kehilangan esensinya ketika kepentingan politik menjadi lebih dominan daripada kepentingan administrasi yang berorientasi pada pelayanan publik. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan sering kali lebih banyak dipengaruhi oleh kompromi politik daripada analisis rasional berbasis kebutuhan masyarakat.

Fenomena ini tidak sekadar tentang siapa yang duduk di kursi kekuasaan, tetapi juga tentang bagaimana birokrasi diperlakukan sebagai instrumen politik. Bagi sebagian aktor, birokrasi adalah alat untuk melanggengkan kekuasaan. Bagi sebagian yang lain, birokrasi adalah arena di mana mereka bisa mengamankan posisi dan kepentingan jangka panjang.

Sementara itu, bagi pegawai birokrasi yang hanya ingin bekerja sesuai regulasi, permainan ini menjadi ancaman yang harus mereka navigasi dengan hati-hati. Keterlibatan mereka dalam faksi tertentu dapat membuka jalan bagi kenaikan pangkat, tetapi juga bisa menjadi batu sandungan jika terjadi pergantian kekuasaan di kemudian hari.

Para ASN menjadi kelompok sosial yang sanga genius memahami bahwa yang mereka jalani bukan hanya sekadar tugas pemerintahan, tetapi juga pertaruhan posisi dalam peta kekuasaan politik dan birokrasi pemerinatahan yang selalu berubah. Keseimbangan antara profesionalisme dan loyalitas menjadi semakin kabur, dan dengan itu, esensi birokrasi sebagai pilar utama pelayanan publik semakin kehilangan bentuknya.

Birokrasi di NTB yang seharusnya menjadi arena kerja profesional berubah menjadi ruang penuh intrik, penuh tipu daya, penuh mata-mata, di mana loyalitas lebih dihargai daripada kinerja.

Ketika gubernur NTB yang berintegritas, misalnya, berusaha menegakkan reformasi birokrasi sering kali harus berhadapan dengan tembok birokrasi tak kasatmata yang dikendalikan oleh kelompok atau faksi dalam birokrasi NTB itu sendiri.

Dalam situasi seperti ini, setiap kebijakan gubernur NTByang tidak sejalan dengan kepentingan elite birokrasi berisiko dipelintir, disabotase, atau bahkan dihentikan sebelum benar-benar berjalan. Dengan begitu, gubernur NTB kadanga-kadang nampak seperti boneka penuh bayang-bayang, karena intrik para birokrat yang terlalu tangguh mengendalikan birokrasi NTB.

Birokrasi di NTB, dengan yakin saya gambarkan sebagai “lingkaran setan” yang sulit diputus. Reformasi birokrasi sering kali hanya menjadi retorika tanpa implementasi yang konsisten.

Pergantian gubernur NTB diiringi dengan janji perubahan, tetapi pola lama terus berulang. Sistem meritokrasi, yang seharusnya menjadi pilar utama dalam seleksi pejabat publik, berhadapan dengan realitas politik, intrik, faksi birokrasi yang lebih kompleks.

Karena itu, sebelum menyentuh meritokrasi, langkah pertama adalah mesti betul-betul paham secara mendalam masalah dasar birokrasi NTB yang sangat kompleks. Birokrasi NTB tidak hanya sekadar sistem administrasi, tetapi juga sebuah jaringan kekuasaan yang tumbuh subur dalam waktu yang begitu lama.

Ada sosok birokrat yang telah bercokol selama lebih dari tiga dekade, menjadikan birokrasi sebagai ladang kekuasaan yang tidak terpengaruh oleh pergantian gubernur NTB.

Mereka bukan sekadar pejabat, tetapi aktor utama dalam panggung kekuasaan yang memastikan bahwa siapa pun yang memimpin NTB, kendali tetap berada di tangan mereka. Merekalah dalang di balik permainan intrik, arsitek di balik kekacauan yang membuat birokrasi NTB berjalan seperti roda yang dipaksa berputar di jalan berlumpur.

Birokrasi di NTB bukan sekadar institusi pemerintahan. Ia telah menjelma menjadi kerajaan kecil yang diwariskan turun-temurun. Ada monarki yang bekerja dengan rapi, memastikan bahwa kekuasaan tetap berada dalam lingkaran kecil elite birokrat.

Strateginya jitu, menanam orang-orang kepercayaan, membangun loyalitas, menciptakan struktur yang tidak memungkinkan masuknya darah baru yang tidak sejalan dengan kepentingan mereka.

Hasilnya, meskipun sudah pensiun, mereka tetap punya cengkeraman. Salah seorang dari mereka bahkan tersandung dalam dugaan kasus korupsi DAK Dikbud NTB, membuktikan bahwa kendali itu tidak pernah benar-benar lepas. Jika yang sudah pensiun saja masih mampu memainkan peran, apalagi mereka yang masih aktif?

BACA JUGA:  JIKA MAKMUR MENANG (Serupa Antitesis Tulisan “Kekalahan Makmur Said”)

Namun, bukan hanya cengkeraman elite birokrat yang menjadi masalah. Birokrasi NTB juga terjerumus dalam belenggu geografis yang begitu akut. Alih-alih berpikir sebagai satu kesatuan yang melayani seluruh provinsi NTB (watak ke-NTB-an), birokrat NTB lebih sering melihat dirinya sebagai perwakilan kelompoknya sendiri.

Mereka terkotak dalam identitas kedaerahan yang mempersempit visi mereka. Birokrat Dou Mbojo, birokrat Tau Samawa, birokrasi Sasak. Semuanya hidup dalam sekat-sekat yang bahkan lebih kecil lagi.

Di dalam faksi Dou Mbojo dan Tau Samawa, ada sekat antarkabupaten hingga kecamatan. Di dalam birokrasi Sasak, faksi lebih buruk lagi, perpecahan tidak hanya berdasarkan wilayah, tetapi juga garis sosial.

Ada yang berplat “La”, ada yang berplat “Jaka”, dan faksi sering kali bersaing seolah birokrasi adalah ajang supremasi kelompok. Faksi ini bahkan semakin diperumit dengan identitas alumni, birokrat lulusan IPDN punya kelompok sendiri, berbeda dengan mereka yang masuk melalui seleksi umum. Akibatnya, birokrasi bukan lagi soal kinerja, melainkan soal siapa berasal dari mana, siapa bersama siapa, siapa lebih berhak atas apa.

Di tengah semua ini, birokrasi NTB masih terjebak dalam mentalitas VOC. Birokrat tidak akan bergerak tanpa anggaran, tidak ada kebijakan tanpa dana yang menyertainya.

Ide bukan lahir dari kebutuhan publik, tetapi dari ketersediaan anggaran. Tanpa itu, segalanya lumpuh. Sindiran yang beredar begitu jelas, “tidak ada ide tanpa anggaran”. Sebuah potret birokrasi yang bekerja bukan berdasarkan inisiatif dan visi, tetapi berdasarkan aliran dana.

Tidak cukup dengan itu, birokrasi NTB juga masih kental dengan nuansa feodal. Status birokrat diromantisasi dengan panggilan-panggilan yang berbau aristokrasi: “Mamiq Gub”, “Mamiq Sekda”, “Mamiq Kadis”, atau “Dae Gub”, “Dae Sekda”, “Dae Kadis”.

Seolah-olah mereka bukan aparatur negara yang digaji oleh rakyat, melainkan tuan-tuan besar yang memimpin dengan darah ningrat. Padahal, mereka adalah abdi negara, yang seharusnya bekerja demi kepentingan publik, bukan memperkuat tradisi feodal yang justru merusak birokrasi yang profesional.

Begitulah lingkaran setan birokrasi NTB yang tak pernah rapuh, malah nampak semakin kukuh. Menjelma menjadi sistem yang membajak mekanisme birokrasi demi kepentingan segelintir elite.

Siapa pun yang masuk ke dalamnya, jika tidak tunduk pada aturan main yang sudah terpatri, akan tersingkir atau dilemahkan dengan berbagai cara. Lebih buruk lagi, kekuatan mereka tidak hanya bertumpu pada kontrol struktural, tetapi juga telah berkelindan dengan berbagai bentuk korupsi yang menjadikan birokrasi sebagai mesin perampokan yang sistematis. Setiap celah anggaran adalah ladang untuk mengukuhkan kekuasaan, bukan untuk melayani masyarakat.

Korupsi di lingkaran birokrasi NTB dirancang sebagai bagian dari strategi bertahan. Bukan lagi soal individu yang menyalahgunakan jabatan, melainkan sebuah mekanisme yang dirancang sedemikian rupa untuk memastikan bahwa kekuasaan tetap berada di tangan aktor birokrat yang sama.

Bahkan ketika seorang pejabat tersandung kasus hukum, sistem ini telah memiliki mekanisme regenerasi untuk memastikan bahwa aktor yang tersingkir segera digantikan oleh yang masih setia pada pakem lama.

Lantas, apakah meritokrasi bisa diharapkan dalam kondisi seperti ini? Apakah mungkin ada reformasi birokrasi jika akar masalahnya tidak dicabut hingga ke dasarnya?

Jawabannya jelas, tidak mungkin. Tidak ada sistem yang bisa berfungsi dengan baik jika lingkaran setan ini tetap dibiarkan beroperasi. Meritokrasi hanyalah slogan jika yang berkuasa adalah mereka yang mewarisi jabatan berdasarkan kesetiaan, bukan berdasarkan kapasitas dan integritas.

Selama jaringan feodal ini masih bercokol, kompetensi akan selalu dikalahkan oleh kepentingan patronase. Orang-orang yang berkompeten justru menjadi ancaman bagi para elite birokrat, karena mereka membawa gagasan yang bertentangan dengan kepentingan kelompok yang ingin mempertahankan status quo.

BACA JUGA:  Inflasi Lotim Januari 2024 “Rendah dan Stabil”

Aktor monarki harus ditindak tegas terlebih dahulu. Mereka adalah sumbu yang menjaga nyala api kebobrokan birokrasi NTB. Tanpa menghancurkan jaringan mereka, tidak ada harapan untuk sebuah sistem yang lebih bersih dan profesional. Mereka bukan sekadar individu yang berkuasa, tetapi arsitek yang merancang sistem agar tetap melanggengkan dominasi mereka. Selama mereka masih bercokol, reformasi birokrasi hanyalah fatamorgana yang tidak akan pernah menjadi kenyataan. Oleh karena itu, jika ada satu langkah fundamental yang harus diambil, maka langkah itu adalah merobohkan kerajaan yang telah dibangun di dalam birokrasi NTB.

Namun, masalahnya adalah siapa yang berani? Sistem ini telah begitu rapi, terstruktur, dan saling melindungi. Mereka bukan sekadar birokrat biasa, tetapi juga memiliki hubungan erat dengan berbagai kepentingan politik dan ekonomi yang lebih luas. Bahkan ketika skandal demi skandal terungkap, mereka tetap bisa bertahan.

Hukuman bagi segelintir individu tidak cukup untuk menghancurkan bangunan yang telah berdiri kokoh selama puluhan tahun. Jika ingin perubahan nyata, maka diperlukan gebrakan besar yang bukan hanya sekadar membersihkan individu, tetapi mencabut hingga ke akar segala mekanisme yang memungkinkan mereka terus berkuasa.

Sudah dapat dibaca, perjuangan gubernur Iqbal memberantas “lingkaran setan” birokrasi NTB dengan langkah seperti, pertama, reformasi birokrasi. Kedua, rekrutmen dan promosi jabatan akan dilakukan secara transparan. Penggunaan sistem berbasis asesmen independen, audit kinerja berkala, serta mekanisme pengaduan publik terhadap penyalahgunaan wewenang.

Ketiga, digitalisasi birokrasi. Keempat, membangun sistem pengawasan yang lebih ketat. Sekali lagi ini, cara konvensional yang juga telah dilakukan oleh gubernur NTB terdahulu. Hasilnya gagal total. Aktor monarki birokrasi NTB masih kukuh dalam kuasa.

Karena itu, dengan tegas saya katakan, birokrasi NTB tidak cukup hanya dimeritokrasi, tetapi harus memasuki tahap postmeritokrasi yaitu konsep yang melampaui meritokrasi konvensional, yang tidak hanya menekankan sistem berbasis prestasi dan kompetensi, tetapi juga mengakui realitas kompleks birokrasi yang penuh dengan jaringan kekuasaan, intrik, dan habitus sosial yang mengakar.

Postmeritokrasi di NTB berarti bahwa reformasi birokrasi tidak cukup hanya dengan menegakkan sistem berbasis prestasi, melainkan harus dilakukan dengan membuang jauh “perangen ate”. Juga mesti bertangan besi (ketegasan, keberanian untuk memutus jaringan lama yang penuh intrik dan feodalistik).

Postmeritokrasi di NTB sebuah campuran antara logika, akal sehat, “maik angen”, serta tangan besi yang dijalankan secara bersamaan. Dalam situasi di mana intrik birokrasi telah menjelma menjadi monarki yang mengendalikan segala sesuatu dari balik layar, meritokrasi konvensional tak lagi cukup.

Iqbal, sebagai gubernur, memang bukan tipikal pemimpin yang keras hati, kejam, atau lihai dalam permainan kekuasaan, tetapi justru kebalikan dari sifat ini yang harus diterapkan jika ingin membawa NTB keluar dari labirin birokrasi feodal yang sudah mengakar.

Iqbal mesti berani menutup mata terhadap segala bentuk ikatan habitus dengan elite birokrat yang selama ini menjadi sumber penyakit birokrasi di NTB. Ia harus tegas, tanpa ragu, tanpa kompromi.

Jika tidak, maka Iqbal akan terjebak dalam lingkaran yang sama seperti gubernur NTB sebelumnya: berkuasa, tetapi selalu berada dalam bayang-bayang intrik para jurukunci monarki birokrasi NTB. Iqbal mungkin bersih dari korupsi, tetapi birokrasi yang dipimpinnya masih berlumur darah korupsi dan tipu muslihat.

Jika ia tak segera bertindak, maka bayang-bayang itu akan terus menghantui, menekan, dan pada akhirnya menelan kekuasaan Iqbal sendiri.

Sekali lagi, jika tidak berani, gubernur Iqbal pasti terjebak dalam labirin yang sama seperti gubernur NTB yang lain sebelum ini: berkuasa di atas kertas tetapi dikendalikan oleh tangan-tangan lama yang menguasai sistem birokrasi NTB.

Malaysia, Syakban-Puasa, 2025