ORANG SASAK SAKIT (Renungan di Sabit Pertama)

Orang Sasak sakit. Sebenarnya sejak dahulu. Namun kini sakit itu semakin membinasakan. Kenyataan dan pos-kenyataan Sasak kabur. Akan tetapi, yang pasti tetaplah satu. Orang Sasak terus miskin.

Totalitarianisme kemiskinan yang telah membutakan orang Sasak untuk kritis kepada kemiskinan mereka sendiri. Konfromisme orang Sasak terhadap kemiskinan mereka sendiri, membuat mereka bermental penerima terhadap kekalahan. Satu situasi yang amat paradoks jika disandingkan dengan esensi keimanan yang menjalar dalam dada mereka. Karena keimanan yang ambigu itu pula akhirnya yang membentuk mereka menjadi bangsa penerima kemiskinan dan kekalahan.

Ketumpulan nalar tak dapat dielakkan, nalar yang tak tercerahkan akhirnya terus mengakar. Bagaimana tidak? Mereka yang miskin dan kalah, malah menjadi pemarah ketika disematkan sebagai orang Sasak miskin dan kalah. Tidak mau mengakui kenyataan yang pahit ialah salah satu watak dasar para budak. Terutama berlaku pada era selepas-penjajahan. Untuk dapat bertahan, para budak mesti menutupi segala kelemahan. Namun sayangnya, semakin ditutupi, malah jenis penjajahan baru semakin menguasai.

Orang Sasak, sudah pasti tak mengakui diri miskin dan kalah. Dalam masa yang sama, mereka tak dapat mengelak dari kenyataan baru, di mana mereka sudah tak punya lumbung padi, tak punya sumber mata air, tak punya tanah yang subur. Tak punya garis pantai. Tak punya pulau. Sebab orang Sasak miskin dan kalah itu, tak punya kekuasaan dan modal untuk mempertahankan sumber kehidupan mereka tersebut.

Realitas sebenar, di mana orang Sasak sudah terasing dari kampung halaman mereka sendiri, terjerat oleh kemiskinan berpanjangan, bahkan terkungkung oleh mentalitas budak, telah terkaburkan begitu saja. Orang Sasak kini berada di ruang, yang oleh Baudrillard disebut sebagai hiperrealitas. Di mana orang Sasak kehilangan kesadaran tentang kenyataan yang mendera mereka. Orang Sasak tak mampu membedakan mana yang nyata dan luar biasa tidak nyata: Tikus mate lek dalem loang.

Tanah di lahan subur yang sudah hampir sepenuhnya dikuasai oleh lawan-lawan mereka sejak ratusan tahun lalu: Penjajahan sebenar, penjajahan wacana, penajajahan ide, dan penjajahan simbolik. Mereka lebih tertumpu pada melihat gemerlap pariwisata sebagai kemajuan dan kemegahan. Pembangunan jalan raya dan gedung-gedung tempat para penghibur berlenggak-lenggok dan arena di mana para penjual kepalsuan berpesta pora karena orang Sasak, sebagai pasar utama mereka untuk menjadi penonton dan pesuruh, benar-benar terkelabui. Buta tak melihat apa pun jua.

BACA JUGA:  Budikapedik Beda Kelas, Upaya Tingkatkan Kemampuan Literasi Siswa

Orang Sasak lebih banyak tercurah untuk melihat Mandalika: Simbol kepalsuan sejati, sebagai diri mereka sendiri. Lebur ke dalam cahaya-cahaya yang kontrolnya di bawah kendali para kaya. Anyong ke dalam kelokan hiasan-hiasang dinding perkotaan yang menutupi kemiskinan di kampung-kampung. Orang Sasak tak melihat betapa laparnya orang kampung, betapa menjeritnya orang kampung yang hanya dapat menelan liur di depan pintu Alfarmart-Indomaret yang sudah bagai jamur di pekarangan terpencil sekalipun.

Orang Sasak hanya melihat deretan kendaraan, bising klakson sebagai kemajuan. Mereka benar-benar buta melihat kenyataan pahit yang terus-menerus ditutupi oleh baliho, billboard, iklan-iklan kepalsuan, mondar-mandirnya para rentenir licik serta tokoh-tokoh picik. Yang semua itu, lebih kejam dari lintah darat peradaban yang selama ini amat dimusuhi oleh orang Sasak.

Orang Sasak hanya terpusat melihat joget yang tak lebih dari beriak sangat kecil di tengah gelombang amuk para kaya yang bertubi-tubi menanam kekuataan ekonomi. Lalu dengan ekonomi itu pula, para kaya itu dengan mudah memperbudak orang Sasak. Menghamba kepada Tuan yang entah datang dari mana. Lalu berlomba-lomba memijak pijak kepala sesama Sasak sendiri hanya untuk mempertahankan hidup yang semu.

Orang Sasak begitu fasih bersilat kalam dalam membicarakan moral Sasak. Menyerukan tentang religiusitas Sasak. Namun lidah mereka kelu, tak lebih kelam dari lidah para bisu ketika di hadpaan mereka, begitu banyak anak-anak kecil tak sempurna tubuh dan otak mereka hanya karena kelaparan. Orang Sasak mengutamakan moralitas, padahal dengan mengetepikan kemiskinan yang pahit itu, sejatinya mereka telah menjadi tak bermoral sekaligus. Orang Sasak menghargamatikan religiusitas, padahal mereka telah mendekati kekufuran karena membiarkan perut yang kosong terus membiak di tengah pesta pora para kaya yang entah datang dari mana.

Itu ialah realitas sakit. Sakit orang Sasak. Lantas kenapa sakit yang amat parah ini mendera orang Sasak? Karena orang Sasak terjebak ke dalam cara berfikir yang keliru tentang sejarah dan kebudayaan mereka. Orang Sasak menampik sejarah mereka, tidak mau mempelajarinya secara betul hanya karena malu melihat masa lalu yang gelap.

BACA JUGA:  Mengenal Purpura Trombositopenia Imun

Lebih buruk lagi, orang Sasak malah terjebak ke dalam ruang kosong kekaguman, pembanggan, pemberhalaan kepada masa lalu. Ini ialah kesesatan yang terlalu. Bagaimana mungkin sejarah yang telah membudakkan mereka diagungkan begitu tinggi. Mungkin ada sebagian dari lempengan sejarah itu yang luar biasa, namun ia tak dapat mengubah kekelaman sejarah yang lebih besar. Ya, sejarah orang Sasak memang sangat kelam. Namun di tengah kekelaman itu, malah mereka mencoba membangkitkan rasa bangga, kebanggaan yang berlebihan. Kebanggaan yang tanpa pijakan rasionalitas dan empirisme yang kuat dan jelas.

Orang Sasak benar-benar sudah menjadi “manusia satu dimensi” meminjam istilah Herbert Marcus untuk menggambarkan kekeliruan dan ketidakmanpuan orang Sasak berdaya hidup dalam sejarah dan kebudayaan yang sehat di tengah himpitan kemelaratan ekonomi, sosial, politik, dan identitas mereka. Melarat karena ketidaksadaran mereka tentang kehilangan. Hilang bumi. Habis Sejarah. Musnah Budaya.

Malahan, tak habis-habis dan tak henti-henti orang Sasak memamerkan kebanggaan semu. Semu karena apa yang mereka banggakan ialah ruang kososng yang bersumber dari nadirnya pengetahuan dan daya kritis mereka terhadap realitas. Meskipun, Baudrillard amat sinis dan skeptis terhadap apa yang disebut realitas, namun konsep ini amat penting diketengahkan agar orang Sasak sekurang-kurangnya dapat membedakan kemiskinan yang pahit sebagai realitas dan kegemerlapan di tengah mereka sebagai hiperrealitas.

Sungguh lacur orang Sasak yang telah membangun kebanggan begitu tinggi di tengah matinya realitas mereka. Terkurung ke dalam hiperrealitas tingkah laku dan pandangan hidup orang Sasak sendiri. Mereka bersusah payah membangun kembali kebudayaan mereka yang tak jelas asasnya di mana, lalu menumbuhkan kebanggaan yang bertepi. Padahal, di tengah-tengah mereka sudah tak terkendali amuk kejam hiperrealitas Sasak. Mereka tak pedulikan yang segala jenis kebudayaan masa kini tidak bertumpu pada nilai, namun pada citra. Dan citra hanya milik mereka yang menguasai ekonomo dan memiliki kuasa. Sangatlah lacur Sasak itu karena hanya bermodalkan semangat membanggakan kebudayaan mereka. Bagaimana mungkin membangun kebudayaan beralaskan kemiskinan dan kemelaratan. Sampai di sini, nalar orang Sasak mandek.

BACA JUGA:  Tragedi KRI Nanggala 402 dan Wasiat Jitu Maulanassyeikh Hamzanwadi

Hiperrealitas Sasak yang dikonstruksi dan dikendalikan oleh orang asing. Orang Sasak dibangunkan sirkuit, jalan raya, mall, restoran, kafe, dan warna-warni hedonitas. Lalu orang Sasak membanggakan itu sebagai kemajuan. Padahal kenyataannya, semua kemegahan itu bukan orang Sasak yang punya. Kemegahan yang dihargakan berdasarkan Dolar Amerika, yang tentu saja hanya segelintir orang Sasak yang berkesempatan dan mampu menjamah.

Itulah hiperrealitas Sasak itu. Orang Sasak hanya menumpang bangga. Menumpang menceritakan dengan penuh kebanggaan tentang harta milik dan kemegahan orang lain tersebut. Orang Sasak hanya menjadi pencerita yang baik tentang gemerlap kepunyaan orang lain yang ditumpu jubinkan di kampung orang Sasak.

Sungguh sakit, orang Sasak hanya menumpang selfie di lintasan sirkuit Mandalika. Lalu membuat konten tentang betapa bangganya mereka menjadi Sasak di laman youtube. Padahal begitu mereka balik ke kampung, kemiskinan merajalela. Satu realitas yang tidak mempunyai sangkut paut dan timbal balik yang sehat dengan sirkuit itu.

Akhirnya, orang Sasak terus semakin curam terjebak ke dalam kebanggaan menjadi Sasak. Membanggakan segala kesemuan belaka. Membanggakan milik orang lain yang di tanam di tanah mereka sendiri. Yang sejatinya itu bukanlah kebanggaan. Melainkan Selfis. Memamerkan kemajuan yang dibangun orang lain hanya untuk menutupi kemiskinan orang Sasak yang amat pahit di belahan kampung yang tak henti menangis.

Kebanggaan yang hiperrealitas itulah yang menjadi sebab orang Sasak semakin sakit. Karena dengan begitu, lambat-laun, tanpa mereka sadari, mereka semakin kehilangan tanah mereka sendiri. Dan akhirnya kehilangan jati diri sendiri. Lalu tumbuhlah orang Sasak yang sudah menjadi orang lain. Orang Sasak yang dibesarkan oleh video shorts, tiktok, instagram, youtube. Dan semua itu, ialah hiperrealitas itu sendiri.

Dan begitu sudah sampai pada titik penghabisan, orang Sasak pun tak sadar dan tak mau mengakui diri bahwa mereka sedang sakit. Itulah Sasak sakit yang benar-benar sakit itu.

Malaysia, 1 Februari 2023