MATARAMRADIO.COM – Maraknya kasus pernikahan di bawah umur atau pernikahan dini ditengarai sebagai penyebab utama tingginya kasus stunting di Nusa Tenggara Barat. Para pemuka agama dan adat yang progresif, selayaknya lebih banyak diberikan ruang dan fasilitas untuk melakukan sosialisasi dan pendidikan yang benar menggunakan perspektif agama dan budaya tanpa bias mengingat dampak perkawinan anak tidak hanya akan dialami oleh anak yang dinikahkan, namun juga akan berdampak pada anak yang dilahirkan serta berpotensi melahirkan anak stunting.
Demikian kesimpulan hasil penelitian yang dipaparkan tiga peneliti dari Konsorsium Perguruan Tinggi NTB pada acara Lokakarya dan Desiminasi Studi Kasus Pembelajaran baik stunting di Provinsi Nusa Tenggara Barat 2022 di Hotel Aston Inn Mataram, Selasa (6/12).
Dalam paparan tiga peneliti yang diwakili Dr.dr Lina Nurbaiti MKes FISPH FISCM disebutkan bahwa penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menunjukkan pentingnya peran natural leader dalam mencegah perkawinan anak di NTB, mendiskusikan faktor-faktor risikonya, dan memberikan rekomendasi kebijakan dan program dari dan untuk para pemangku kepentingan yang sesuai serta efektif untuk membangun faktor-faktor pelindung untuk mencegah perkawinan anak. Faktor pemahaman agama dan budaya yang “bias” menjadi salah satu penyebab terjadinya perkawinan anak.
Doktor Lina menyebutkan, NTB merupakan salah satu dari 12 provinsi prioritas yang memiliki prevalensi stunting tertinggi di tanah air di tahun 2022. Meskipun trend stunting berdasarkan data hasil survey SSGI 2021 (31,4%) maupun surveilans gizi e-PPGBM 2021 (19,23%) cenderung menurun dibandingkan tahun sebelumnya.”Kita tetap harus berjuang untuk menurunkan angka stunting ini sesuai target penurunan angka stunting nasional yaitu 14% pada tahun 2024,”ulasnya.
Diungkapkan, jumlah penduduk Provinsi NTB Tahun 2020 sebanyak 5.320.092 juta jiwa. (BPS, 2022). Berdasarkan golongan umur, jumlah penduduk terbanyak di Provinsi NTB pada tahun 2020 berada pada rentang usia 5-9 tahun, disusul rentang usia 0-4 tahun. “Komposisi usia penduduk ini menunjukkan tingginya jumlah penduduk yang menjadi kelompok sasaran percepatan penurunan stunting di NTB,”jelasnya.
Dijelaskan,persentase penduduk produktif atau usia 15-64 mencapai 69,77% jauh lebih besar daripada jumlah penduduk nonproduktif di NTB tahun 2020 yang menggambarkan bahwa NTB berada pada masa bonus demografi. Dengan proporsi penduduk usia produktif yang hampir mencapai 70 persen tersebut, “Provinsi NTB berpotensi melakukan percepatan pembangunan, namun kita perlu waspada akan ancaman lost generation akibat stunting di tahun 2023-2024 karena pada saat ini, balita stunting di NTB mencapai 31,4% melebihi batas masalah public health.,”tegasnya.
Hal ini, katanya, dipertegas dengan studi WHO di Indonesia menyebutkan salah satu penyebab masalah stuntingdi Indonesia adalah maraknya pernikahan anak. Indonesia menempati peringkat ke-10 perkawinan anak tertinggi di dunia. Provinsi NTB tercatat masuk tujuh besar di Indonesia dengan angkakasus pernikahananak tertinggi. Pernikahan usia anak naik signifikan di masa pandemi Covid-1. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTB sepanjang tahun 2020 mencatat sebanyak 800 orang siswa menikah di usia anak yang tersebar di sejumlah sekolah di NTB dan paling dominan adalah siswa perempuan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTB 2022, angka pernikahan usia anak di NTB mencapai 38,08 persen. “Kabupaten Lombok Tengah menjadi daerah yang paling banyak terdapat kasus pernikahan anak sebanyak 48,64 persen disusul oleh Kabupaten Lombok Timur 45, 91 persen dan Kabupaten Lombok Barat 40,74 persen,”urainya.
Lina juga menyatakan bahwa ada implikasi yang sangat serius dari terlaksananya pernikahan anak. Saat melakukan sebuah pernikahan, perempuan yang masih tergolong anak-anak dan remaja secara psikologis belum matang, serta belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kehamilan dan pola asuh anak yang baik dan benar. Anak-anak dan remaja masih membutuhkan gizi maksimal hingga usia 21 tahun. Jika kehamilan terjadi pada usia anak dan remaja, misalnya 15 atau 16 tahun, maka tubuh ibu akan berebut gizi dengan bayi yang dikandungnya. Jika nutrisi si ibu tidak mencukupi selama kehamilan, bayi akan lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan sangat berisiko terkena stunting. Selain itu, perempuan yang hamil di bawah usia 18 tahun, organ reproduksinya juga belum matang. Organ rahim, misalnya, belum terbentuk sempurna sehingga berisiko tinggi mengganggu perkembangan janin dan bisa menyebabkan keguguran. “Stunting akan mengakibatkan penurunan produktivitas dan kualitas SDM. Dampak buruk jangka pendek stunting pada balita seperti perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan metabolisme tubuh. Sementara dampak jangka panjang yakni menurunnya kekebalan tubuh, dan berisiko tinggi terhadap penyakit generatif seperti diabetes, obesitas, penyakit jantung, kanker,”imbuhnya.(Bersambung/EditorMRC)