Sudah sangat lama saya mengenal nama itu. Sejak tahun 1990. Lidah Sasak menyebutnya Amat. Itu juga berlaku bagi semua lelaki bernama Ahmad. Tapi untuk Amat yang satu ini, ada nama tambahan di belakangnya. Terdengar aneh dan lucu: Tretetet. Ahmad Tretetet. Sebagian menyebutnya Tuan Guru Tretetet. Sebagian lagi Wali Amat Tretetet.
Hampir setiap kampung di Lombok yang saya datangi mengenal nama itu. Walaupun jelas-jelas makamnya berada di Kuburan Karang Kelok, Mataram — ia wafat di akhir 1985 — sebagian masyarakat percaya ia masih hidup. Berbagai kisah tentangnya beredar luas. Tapi, satu pun dari cerita-cerita itu bagi saya sangat tidak masuk akal. Maklum, sama dengan anak-anak milenial sekarang, saya pemuda yang sok rasional. Segala yang berseberangan dengan akal sehat saya tolak mentah-mentah. “Ah, mitos!” Begitu selalu saya menanggapinya. Dan, walaupun saya sudah memulai profesi sebagai wartawan sebuah surat kabar, saya sama sekali tidak berminat menulisnya.
Lelaki itu dari Kelayu, sebuah desa di Lombok Timur. Desa yang juga tempat ibu saya dilahirkan. Tetapi, sejak beranjak dewasa, ibu tak pernah kembali ke kampung asalnya, menetap di pulau seberang.
Tentu saja ibu mengenal Ahmad Tretetet. Ibu bertutur, walaupun lelaki itu sepantaran dengan ayahnya, tetapi lebih sering bergaul dengan anak-anak.
Tretetet menyukai anak-anak. Ia selalu terkekeh-kekeh. Mimiknya sangat jenaka, sehingga anak-anak Kelayu tidak merasa takut padanya. Ia sering mengajak bermain kuda-kudaan di bagian sungai yang dangkal. Satu-persatu anak-anak itu, termasuk ibu, diminta naik ke punggungnya. Sambil merangkak, sesekali ia merendahkan tubuh sampai terbenam dalam air. Itu membuat anak-anak yang menunggangi punggungnya kegirangan. Pundak dan leher lelaki itu ditepuk-tepuk. Bahkan seringkali telinga atau rambutnya ditarik-tarik. Tapi ia sama sekali tak marah.
Maka belakangan, ketika ibu mendengar ia lelaki yang keramat, bahkan disebut-sebut sebagai seorang waliyullah, ibu terheran-heran. Tidak habis pikir. Benarkah? Masak iya?
Cerita ibu membuat saya semakin yakin bahwa kisah-kisah di publik luas tentang lelaki itu hanya isapan jempol.
Begitu pula ketika pada 1996 saya berkenalan dengan Ihsan, seorang lelaki yang dikabarkan pernah bertemu secara misterius dengan Ahmad Tretetet. Lelaki itu beralamat di Dusun Bug Bug, Lingsar, Lombok Barat. Profesinya tukang bangunan.
Ihsan terkenal jahil, karena sering mengerjai orang. Mulutnya tak pernah sungkan menyumpah, atau memaki dengan kata-kata cabul.
Ia tiba-tiba berubah 180 derajat. Ia ingat betul itu Hari Jum’at. Sejak pagi-pagi berangkat dari rumah ia memutuskan bekerja seharian. Pemilik bangunan yang sedang ia kerjakan memintanya segera menuntaskan borongan karena ia sudah melunasi ongkos pengerjaan. Karena itulah ia mesti seperti mesin, bekerja tak henti-henti. Sampai shalat Jum’at pun ia absen demi mengejar deadline.
Tengah hari, tiba-tiba seorang lelaki tua berpakaian dan bersorban serba putih muncul di hadapannya. Ihsan hanya melongo ketika sosok itu merampas sendok semen di tangannya, lalu mecampakkannya ke tanah, tanpa berkata-kata. Seperti kemunculannya yang mendadak, sosok itu lalu menghilang dari pandangan tukang bertubuh pendek itu.
Orang-orang bertanya-tanya. Sebab Ihsan tiba-tiba berubah. Tak ada lagi kata-kata cabul yang keluar dari mulutnya. Ia tak pernah lagi mengabaikan jadual shalat. Begitu terdengar azan, ia cepat-cepat berjalan ke masjid. Ia selalu tiba paling awal di tempat ibadah.
Bukan hanya itu. Warga semakin kasak-kusuk karena Ihsan bisa membaca tanda-tanda kematian. Ia sering memberi tahu kepada keluarga yang bakal berbelangsungkawa jauh-jauh hari sebelumnya. Sejak itu, setiap kali Ihsan tiba-tiba berkunjung, orang-orang waswas. Jangan-jangan ia membawa ramalan duka.
Tetapi, bukan kabar kematian yang disampaikan Ihsan ketika ia menjumpai saya suatu hari. Ia mengatakan sesuatu yang membuat saya tak bisa menahan tawa. Dia bilang, saya akan segera menikah, dan menyebut nama seorang gadis yang bakal menjadi istri saya.
Saya tertawa, karena sudah menetapkan rencana. Saya tidak ingin kawin muda. Usia saya saat itu menjelang 25 tahun. Saya telah merencanakan baru akan menikah pada usia 35 tahun.
Gadis yang disebutkannya itu pun tidak pernah saya bayangkan akan menjadi pendamping saya. Jangankan itu, pacar pun bukan. Gadis itu hanya teman. Tidak dekat-dekat amat.
Tetapi, apa yang disampaikan lelaki yang notabene pernah bertemu Ahmad Tretetet secara misterius itu, benar-benar terjadi. Sejak ia meramalkan itu, saya tiba-tiba merasa dekat dengan gadis yang disebutkannya. Tak sampai enam bulan kemudian saya melangsungkan pernikahan q. Pernikahan dini. Maksud saya, pernikahan yang sepuluh tahun mendahului sebuah rencana.
Apakah setelah itu saya mulai berubah pikiran, mulai bersepakat tentang kekeramatan Ahmad Tretetet? Belum sama sekali. Ceritanya masih panjang. (Bersambung)