RSI Siti Hajar Mataram (Watak Inlander dan Kepungan Kapitalis Kesehatan)

Oleh: DR Salman Faris

Meskipun hingga kini belum dapat saya wujudkan sebab saya berhijrah sementara waktu, sekitar tujuh tahun yang lalu, saya diajak terlibat untuk menulis tentang ayahanda almarhum H. Nuruddin, S.H terutama dalam kaitannya dengan dasar pendirian dan visi kesejarahan RSI Siti Hajar Mataram. Program ini amat menarik, karena itu, saya tidak berfikir panjang untuk menjalankan tugas tersebut. Waktu itu, saya melihat RSI Siti Hajar sebagai identitas Sasak, Lombok, dan Islam yang, tentu saja menjadi sangat menarik jika dihubungkan dengan sejarah serta pergolakan politik dan kebudayaan masyarakat Sasak dan Islam di Lombok.

Masyarakat Sasak dan Islam di Lombok yang ketika gagasan pendirian RSI Siti Hajar Mataram pada tahun 1978 itu masih lekat mendalam guratan pascakolonial, berkeinginan mengonstruksi identitas melalui rumah sakit. Ini satu lompatan yang tidak boleh dipandang remeh. Meskipun pada masa itu, H. Nuruddin, S.H sudah berposisi sebagai kepala kantor wilayah Departemen Agama Propinsi NTB, satu posisi penting bagi orang Sasak, namun belum secara lengkap dapat mewakilkan kehendak kemerdekaan identitas orang Sasak secara keseluruhan. Di belahan lain yang masih banyak terhampar, orang Sasak dicerminkan sebagai kawula alit, panjak yang bertugas menengadah kepada bangsa lain seperti Jawa, Bali, Arab, dan Cina. Dengan begitu, dorongan untuk menghubungkan RSI Siti Hajar Mataram sebagai cerminan kehendak kemanusiaan, politik, dan kebudayaan orang Sasak menjadi sesuatu yang sangat menarik.

Gayung bersambut, memang RSI Siti Hajar tidak didirikan dalam ruang kosong. Selain misi kemanusiaan, juga untuk membuka kesadaran orang Sasak agar tumbuh kepercayaan serta keyakinan diri yang, mereka dapat setara dengan bangsa yang dinilai menindih mereka selama ini. Mimpi dan tujuan besar yang dilarutkan dalam perjuangan yang berat. Presiden Soeharto memberikan komitmen memajukan RSI Siti Hajar Mataram. Bantuan peralatan kesehatan dikrim dari Jakarta. Sekolah kesehatan pertama didirikan. Namun, tantangan berkecambah dari masyarakat sendiri. RSI Siti Hajar Mataram belum diterima secara terbuka oleh masyarakat.

Saya mencoba menemukan sebab. Tentu saja, satu sisi kita dengan mudah menemukan jawaban. RSI Siti Hajar Mataram ialah rumah sakit swasta, kelengkapan kamar belum memadai, peralatan kesehatan masih belum lengkap, tenaga kesehatan belum cukup. Ini ialah sebab yang lumrah. Saya tak mau berhenti pada kelumrahan. Saya berupaya merakit soal demi soal satu persatu. Dalam situasi yang amat menyusahkan H. Nuruddin, S.H membangun, masyarakat malah memandang remeh. Belum menerima RSI Siti Hajar Mataram sebagai identitas, sebagai satu medium penguatan kebudayaan dan politik mereka sebagai bangsa. Saya pun memformulasi situasi tersebut sebagai berdirinya RSI Siti Hajar Mataram di tengah watak inlander masyarakat dan makin derasnya kepungan kapitalis kesehatan.

BACA JUGA:  Pintu Neraka itu Bernama Tik Tok

Sebagai usaha dalam bidang pelayanan kesehatan yang bernaung di bawah yayasan swasta, tidak diragukan lagi, RSI Siti Hajar Mataram sudah berjuang tak kenal lelah. Tidak juga tercerabut dari akar niat pendiriannya: agar orang Islam di Lombok, orang Sasak punya rumah sakit. Mendirikan perguruan tinggi kesehatan ialah salah satu strategi yang jitu. Namun rupanya, guliran perjuangan tiada habis itu dibenturkan dengan makin merebaknya rumah sakit swasta yang, secara kepemilikan modal dan jaringan jauh lebih meraksasa. Dalam urusan bisnis, tentu ini bukan masalah. Tidak juga dianggap sebagai persoalan. Semua pemodal sah menerjang bangsa miskin yang sedang bergulat keluar dari kemiskinan yang, ujung-ujungnya kekal dalam kemiskinan sebab kalah saing permodalan. Pemodal dengan mudah mempermanenkan kemiskinan kawula alit yang tidak mempunyai jaringan itu.

Rumah sakit swasta yang baru bernafas, melesat dengan cepat. Peralatan, tenaga, dan kelengkapan kesehatan lainnya menjadi andalan. Jualan tidak perlu menyeberang dari Lombok hanya untuk sehat segera laku, ludes terbeli. Mula-mula elite-elite di Mataram sebagai pengguna pertama, merambah kepada kaum kaya yang, seterusnya sudah dapat diduga, rumah sakit swasta baru tersebut perkasa sebagai lifestyle. Dalam situasi tersebut, masyarakat yang berkemampuan lebih itu sudah tidak peduli lagi bahwa mereka sedang masuk sebagai agen bagi kapitalis kesehatan untuk membuatk kaum panjak semakin terjerembab ke dalam kolonialisasi corak baru. Rumah sakit swasta yang kaya raya itu menjadi rujukan umum yang seterusnya diposisikan sebagai yang grand, sebagai pusat, sebagai yang satu-satunya. Pada sisi yang lain, RSI Siti Hajar Mataram semakin terperosok sebagai yang lain, sebagai subteks.

BACA JUGA:  Kebijakan Konvergensi

Situasi makin menguatnya rumah sakit swasta kaum kaya di Mataram, memantik saya untuk kembali menyelami posisi RSI Siti Hajar dalam persaingan bisnis kesehatan tersebut. Betapa tidak? H. Nuruddin, S.H dan para tokoh agama dan budaya lainnya di Lombok yang, niat awalnya tidak hanya untuk pelayanan kesehatan, juga ingin memercusuarkan RSI Siti Hajar sebagai identitas. Melekat di dalamnya kebanggaan, kepercayaan diri, kekuatan visi dan pandangan orang Islam dan Sasak di Lombok seolah tetap berada dalam situasi terdahulu. Berjuang dalam lumpur di tengah ketidaksadaran masyarakat tentang nilai sejarah RSI Siti Hajar Mataram.

RSI Siti Hajar Mataram didirikan salah satunya untuk melawan, guna mengubah watak inlander orang Sasak dan Islam di Lombok. Rasa tidak percaya diri sebagai sebuah bangsa yang mampu mendirikan rumah sakit, oleh RSI Siti Hajar Mataram, ingin dikoyakmoyak. Sejak awal, RSI Siti Hajar Mataram menyadari berdiri di tengah masyarakat yang memandang bangsa lain (Jawa, Bali, Arab, dan Cina) jauh lebih hebat, lebih kuat, dan lebih maju. Karena itu, agar masyarakat Islam dan Sasak di Lombok berkemampuan menemukan dan memahami potensi mereka sendiri, mesti ada medium pemersatu. RSI siti Hajar Mataram, salah satunya didirikan untuk itu. Namun, sejak dulu, salah satu tantangan terbesar RSI Siti Hajar ialah mencerahkan masyarakat yang belum keluar dari jeram penjajahan yang berwatak panjak dengan menyerahkan segala potensi kemanusiaan dan alam mereka kepada pemilik modal dan kuasa.

Saya amat prihatin karena situasi persaingan dalam bidang kesehatan di Mataram semakin brutal. Demi kemajuan, pemerintah pun dengan mudah memberikan izin pendirian rumah sakit swasta. Semua orang faham, rumah sakit berkelas amat diperlukan dalam jumlah yang cukup atau lebih. Namun brutalisasi akan nampak, jika misalnya, RSI Siti Hajar Mataram makin terjepit di kangkang kapitalis kesehatan, dan satu sisi masyarakat semakin terjebak ke dalam kesehatan sebagai citra, gaya hidup yang tersemat dalam neon rumah sakit swasta kaya raya.

BACA JUGA:  Sasak Gagal Sasak Fatal

Dalam situasi keterjepitan RSI Siti Hajar Mataram itu, tumbuh rasa cemburu saya amat mendalam kepada Muhammadiyah yang amat berhasil mendidik jamaah untuk menomorsatukan PKU Muhammadiyah dan tidak akan memilih yang lain sebelum mendapat rujukan oleh pihak PKU Muhammadiyah. Hal yang sama berlaku pada rumah sakit yang dikelola oleh ummat Kristen. Dalam konteks ini, rumah sakit tidak hanya bicara soal bisnis peralatan dan kelengkapan kesehatan, namun juga berbincang mengenai pendidikan masyarakat pengguna. Dengan begitu, tulang punggung PKU Muhammadiyah dan rumah sakit yang dikelola oleh ummat Kristen ialah masyarakat mereka sendiri. Dalam hal ini, sudah pasti ada program pendidikan kemasyarakatan yang dilakukan secara bersama dalam masa yang panjang.

Terkait RSI Siti Hajar Mataram, sudah tentu tidak cukup sumber daya untuk melakukan pendidikan masyarakat pengguna. Karena itu saya membayangkan, betapa dahsatnya jika Tuan Guru dan tokoh budaya mengambil peran ini (bukan seorang dua orang Tuan Guru, namun kesadaran kolektif dan gerakan sosial Tuan Guru). Dengan wibawa, pengaruh, dan kekuatan yang dimiliki Tuan Guru, saya fikir, tidak diperlukan waktu lama untuk membentuk dan mendidik masyarakat pengguna RSI Siti Hajar Mataram. Dalam waktu bersamaan, karena pengguna meningkat, dapat dipastikan fasilitas kesehatan RSI Siti Hajar Mataram mengalami peningkatan kualitas secara signifikan.

Jika watak masyarakat inlander dibiarkan menggelinding yang selalu berfikir dengan cara membandingkan fasilitas rumah sakit, maka sudah pasti, rumah sakit maju akan selalu jadi pilihan utama. Dalam situasi seperti, akhirnya semua orang (termasuk saya) terjebak kepada pilihan tunggal, rumah sakit maju.

Ujung-ujungnya, semua kita, termasuk saya, juga berdosa kepada RSI Siti Hajar Mataram karena pada akhirnya, di segala lini watak inlander selalu dijumpai di tengah semakin menguatnya kapitalis kesehatan di Mataram.

Apakah Pemprov NTB dan Pemkot Mataram tidak perlu turun tangan? Entahlah.

Malaysia, 19/10/2020

Penulis :
DR Salman Faris
adalah Akademisi, Pekerja Seni Budaya, Pemerhati Sosial Politik dan Media.
Kini tinggal di Kuala Lumpur Malaysia