Beli Vaksin Korona, Pemerintah Siapkan Uang Muka Rp 3,3 Triliun

MATARAM RADIO. COM, emerintah sudah menyiapkan uang muka untuk pengadaan vaksin Covid-19. Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) Airlangga Hartarto menuturkan, pemerintah akan membayar uang muka atau down payment (DP) vaksin sebesar Rp 3,3 triliun tahun ini.

“Terkait dengan vaksin sudah tersedia dana untuk down payment pada tahun ini sebesar Rp 3,3 triliun dan seluruh dana yang disiapkan adalah Rp 37 triliun untuk program multiyears,’’ ujarnya di Jakarta, kemarin (4/9).

Airlangga melanjutkan, pemerintah tetap fokus untuk segera mendatangkan vaksin. Sebab, peningkatan kasus terus terjadi. Saat ini, setidaknya ada 187.537 kasus positif virus Korona di Indonesia. Dari jumlah itu, sekitar 134.181 orang sembuh dan 7.832 orang meninggal dunia.

“Tapi recovery rate Indonesia 71,7, ini lebih tinggi dari global dan kasus fatality rate 42 persen,’’ imbuhnya.

Pemerintah menargetkan vaksin didistribusikan mulai 2021. Sebelumnya, Ketua Pelaksana KPCPEN Erick Thohir menyebut, Indonesia tidak hanya menunggu vaksin dari Sinovac Tiongkok, namun juga vaksin dari negara lain mulai dari Uni Emirate Arab hingga Eropa.

Sejalan dengan hal itu, Airlangga menyebut bahwa program-program PEN yang telah diusulkan di pusat maupun daerah dan K/L bisa rampung dalam satu pekan ini. Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), sudah ada perubahan-perubahan realokasi yang dilakukan.

Adapun total anggaran yang sudah ditetapkan sebesar Rp 695,2 triliun realokasinya mencapai sebesar Rp 679 triliun. Sehingga masih ada ruang Rp 16 triliun untuk beberapa program yang belum masuk di dalam anggaran tersebut.

“Dan total daripada anggaran yang sudah terealokasi dari Rp 695 triliun adalah Rp 679 triliun. Jadi hampir seluruh program terpakai dan masih ada 1 minggu mendetailkan yang perlu tambahan,’’ tutur Ketum Partai Golkar itu.

BACA JUGA:  Kontrak PT GTI di Adendum

Akses Setara

Sementara itu, Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi terus menggaungkan upaya mengakhiri pandemi dengan akses vaksin yang setara dan harga terjangkau untuk semua negara. Hal tersebut dikemukakan Retno sebagai pemimpin Foreign Policy and Global Health (FPGH) agar negara-negara G20 mendukung upaya global dengan langkah tersebut.

Dia mendesak agar negara-negara G20 menjadi motor penggerak bagi akses vaksin yang setara, aman, dan murah. Dia optimis G20 akan mampu menggalang solidaritas global untuk keluar dari krisis kesehatan saat ini.

Dia menegaskan, seluruh negara FPGH yang terdiri dari Brasil, Perancis, Indonesia, Norwegia, Senegal, Afrika Selatan, dan Thailand telah sepakat untuk mendukung upaya global mengakhiri pandemi ini.

”Komitmen tersebut merupakan kontribusi positif negara-negara FPGH dalam mendukung kepemimpinan WHO serta kerja sama dan solidaritas masyarakat dalam memerangi Covid-19,” paparnya.

Untuk kebutuhan vaksin dalam negeri, Retno mengungkapkan, bahwa pemerintah terus berupaya agar Indonesia bisa mendapatkan akses vaksin secara tepat waktu dari yang tengah diteliti oleh dunia. Upaya tersebut dilakukan baik secara bilateral maupun multilateral.

”Para diplomat kita terus bekerja keras membantu pemerintah untuk mendapatkan akses vaksin,” tegasnya. Salah satunya, melalui komunikasi dengan WHO terkait urusan dengan Gavi-Covax Facility serta dengan Coalition for Epidemic Preparedness (CEPI). Menurut dia, CEPI, GAVI, dan WHO merupakan tiga institusi utama pelopor Covax Facility yang dibentuk untuk memastikan akses vaksin yang adil dan merata.

”Rencananya, Covax akan mendistribusikan vaksin sebesar dua miliar dosis hingga akhir 2021 ke seluruh negara di dunia,” ungkap Retno.

BACA JUGA:  Minta Kejelasan Nasib, Massa Aliansi Honorer Nasional (AHN) NTB Gelar Aksi di DPRD NTB

Sementara, terkait CEPI, Retno mengatakan, telah mematangkan kemungkinan kerja sama antara CEPI dan Bio Farma dalam bidang manufacturing vaksin. Dia menyebut, Bio Farma sudah masuk dalam shortlist dari CEPI, yang artinya memiliki peluang lebih besar untuk melakukan kerja sama ini. Meski begitu, ia tetap menekankan bahwa pemerintah tetap akan mendukung penuh produksi vaksin merah putih demi kemandirian vaksin nantinya.

Kasus Nakes

Pada bagian lain, selama pandemi Covid-19, beban layanan kesehatan meningkat tajam. Hal ini membuat tingkat burnout syndrome pada tenaga kesehatan (nakes) meningkat tajam. Di mana sedikit banyak, kondisi ini berpengaruh pada kondisi kesehatan mereka.

Merujuk pada penelitian Program Studi Magister Kedokteran Kerja, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI), diketahui bahwa 82 persen nakes di Indonesia mengalami burnout atau stress selama pandemi ini. Data tersebut diperoleh dari survey yang dilakukan sejak Februari hingga Agustus 2020 terhadap 1461 nakes. Nakes ini terdiri dari dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dokter gigi spesialis , perawat, bidan, apoteker dan analisis laboratorium di seluruh Indonesia.

”Hasilnya 82 persen mengalami burnout sedang dan 1 persen berat,” ujar Ketua tim peneliti dari Program Studi MKK FKUI Dewi Sumaryani Soemarko dalam temu media, kemarin (4/9).

Menariknya lagi, kebanyakan dari peserta survey merupakan nakes dengan usia yang cenderung masih muda. Sekitar 35 tahun dengan masa kerja rata-rata 5 tahun.

Menurut Dewi, dari survey tersebut terungkap juga bahwa sejatinya sudah ada kebijakan baru yang diterapkan dalam masa pandemi. Misalnya, perubahan jam kerja. Namun, diketahui pula, bahwa banyak juga nakes yang tidak disediakan tes swab dan rapid tes rutin oleh perusahaan tempatnya bekerja. Hal tersebut sedikit banyak membuat kekhawatiran soal kondisi dirinya dan orang sekitarnya. Meski mereka menyebut ada APD yang juga disediakan saat bekerja. ”Tapi kita tidak bertanya mencukupi atau tidak,” katanya.

BACA JUGA:  15 Tahun Lumpuh, Warga Utan Sumbawa ini Terima Bantuan Pemerintah

Lebih jauh dia memaparkan, burnout ini merupakan sindrom psikologis yang muncul akibat respons kronis terhadap stressor atau konflik. Nah, terdapat tiga karateristik dari gejala burnout ini, yaitu keletihan emosi, kehilangan empati, dan hilangnya rasa percaya diri.

”Kalau masih rendah tak jadi soal, tapi kalau sudah tinggi ini yang bahaya. Bisa muncul keletihan emosi, kehilangan empati, hingga tak ada rasa percaya diri atas kemampuannya,” paparnya.

Selain itu, kata dia, terungkap pula bahwa nakes yang sudah menikah ternyata memiliki risiko burnout lebih besar. Sebab, ada masalah keluarga yang harus dipikirkan juga. ”Anda bisa membayangkan para tenaga medis tidak pulang-pulang sementara keluarga menunggu di rumah. Dan perasaan itu dipendam,” ungkapnya. Perasaan yang tak terungkap itu yang kemudian menimbulkan kelelahan luar biasa di batin mereka.

Karenanya, melalui penelitian ini, ia menyarankan agar nakes perlu menyadari dan memahami bahwa mereka rentan. Mereka wajib tahu bagaimana gejala yang timbul sehingga bisa melakukan pencegahan diri.

Kemudian bagi manajemen tempat mereka kerja, Dewi menyarankan agar menyediakan sarana prasarana yang memadai dalam menangani pandemi covid-19, melakukan pengaturan jadwal kerja yang memperhatikan kesehatan fisik, dan harus ada dukungan psikososial dalam masa pandemi.

”Bagi pemerintah, sebaiknya berikan edukasi dan memfasilitasi layanan konseling psikologis untuk para nakes ini,” ungkapnya.

sumber :https://lombokpost.jawapos.com/nasional/06/09/2020/beli-vaksin-korona-pemerintah-siapkan-uang-muka-rp-33-triliun/