Pertemuan Kecil: Puisi Karya Lukis dan Foto

Menurut Kongso Sukoco –penulis, jurnalis dan pegiat teater—Agus K Saputra bukan karena kehabisan gagasan dan inspirasi untuk menulis puisi. Sebagaimana penyair menulis puisi yang berangkat dari realitas pengalaman sehari-hari.

Ia mungkin -tulis Kongso di halaman 89- selain mencoba hal baru dan berbeda, bisa jadi Agus merasa bahwa menterjemahkan karya seni rupa menjadi puisi adalah tantangan dan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya dalam penulisan puisi.

“Ia mungkin juga ingin mengeksplorasi hubungan dan interaksi antara seni sastra dan seni rupa, yang keduanya merupakan bentuk ekspresi seni yang indah dan bermakna,” beber Kongso, Selasa 16 April 2024

BACA JUGA:  Dispora NTB Buka Pendaftaran Orang Tua Asuh untuk Program Pertukaran Pemuda Antarnegara. Inilah Syarat-Syaratnya!

Isnan Sudiarto mengatakan bahwa di karya foto sedikit sekali kita dapatkan. Tapi kalau kata bisa ke mana-mana larinya. Makanya gak bisa sebuah puisi disamakan dengan sebuah foto. Walaupun obyek kita bidik itu sama. Di sanalah kekuatan kata adanya.

“Makanya, tulisan yang bagus adalah bagaimana kuasa kata. Jadi kita itu harus “dikolonialisasi” oleh bahasa. Kita harus ditundukkan oleh bahasa,” cetus Isnan –penikmat sastra dan budaya yang mukim di Yogyakarta.

Bagi Agus, karya lukis kerap mengundang dirinya untuk menelisik lebih jauh. Memandangnya berlama-lama. Sekaligus menikmati dalam pikiran yang tidak berkesudahan. Hingga berakhir menjadi sebuah narasi.

BACA JUGA:  Berburu Lailatul Qadar Lewat Dile Jojor

Karya lukis yang “dibesut” oleh Agus adalah karya lukis Soni Hendrawan (ada di dinding “padepokan” Rumah Barudak), Zaeni Mohammad (saat Pameran di Taman Budaya), Lalu Syaukani, Mantra Ardana, Imam Hujatjatul Islam dan S La Radek yang “berslieweran’ di Facebook.

“Jika orang-orang berkomentar dengan kalimatnya masing-masing. Maka saya melalui puisi,” ujar Agus.

Sementara puisi dari karya foto, tulis Agus dalam Pengantar di hal. 11, tidak ada bedanya dengan karya lukis. Ia berfungsi sebagai alat rekam sementara ketika menemukan inspirasi di suatu benda dan tempat.

Ada hal menarik lainnya dalam kumpulan puisi Pertemuan Kecil ini. Antara lain, pertama adalah instrumentalia dari Krakatau Band berjudul Senja, berhasil “dipuisitisasi” oleh Agus. Kedua, ada empat judul puisi, yaitu Celepen, Muih, Dilema dan Gempa Lombok: Ingatan Melawan Lupa, pun berhasil dimusikalisasi oleh Soni Hendrawan –yang sayangnya barcode musikalisasinya tidak ditampilkan.

BACA JUGA:  Kearifan Lokal Di Tengah Arus Perubahan

Terkait musikalisasi puisi, Ary Juliyant memberi pernyataan tersendiri. Yaitu bagaimana proses harmonisasi bunyi menjadi musik. “Dari kumpulan kata-kata lahir musikalisasi puisi,” kira-kira seperti itu ujar Kang Ary.

Apa pun itu, Kongso Sukoco menilai bahwa transformasi (proses penafsiran) oleh Agus K Saputra dari pengalaman visual ke dimensi bahasa merupakan bentuk apresiasi seni yang unik. Ini suatu (yang mungkin) menjadi reinterpretasi ekspresi visual (dalam lukisan) melalui kata-kata, melalui bahasa puisi.“Kita meresapi perasaan dan emosi yang muncul saat melihat lukisan, dan kita melakukan re-kreatif sebuah ekspresi visual,” tandas Kongso.(editorMRC)