Bedah Buku Kontroversial: UII Bongkar Kekhilafan Hakim dalam Kasus Korupsi Mardani H Maming

Bedah buku oleh Fakultas Hukum UII mengungkap kesalahan hakim dalam kasus Mardani H. Maming, dengan hasil eksaminasi yang menunjukkan ketidakakuratan dalam penerapan pasal dan lemahnya bukti yang diajukan jaksa.

Buku yang dibahas berjudul “Mengungkap Kesalahan dan Kekhilafan Hakim dalam Mengadili Perkara Mardani H. Maming” diterbitkan bekerja sama dengan PT Raja Grafindo, dan mengupas secara mendalam permasalahan hukum dari tiga tahapan putusan: putusan pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Banjarmasin, putusan banding, serta kasasi di Mahkamah Agung.

Kesalahan Hakim Terungkap: Kasus Mardani H. Maming Sarat Asumsi
Hasil eksaminasi menunjukkan bahwa Mardani H. Maming, mantan Bupati Tanah Bumbu, dinyatakan bersalah tanpa pertimbangan bukti yang valid. Tim eksaminator, yang terdiri dari Prof. Dr. Ridwan Khairandy (Ahli Hukum Perdata/Bisnis), Dr. Mudzakkir (Ahli Hukum Pidana), serta Prof. Hanafi Amrani (Ahli Hukum Pidana), menemukan bahwa dakwaan jaksa didasarkan pada asumsi dan tidak cukup kuat untuk membuktikan adanya tindakan suap.

BACA JUGA:  Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer

Menurut para ahli, hakim cenderung mengabaikan fakta hukum yang ada dan lebih condong pada asumsi-asumsi yang dibangun oleh jaksa. “Kasus ini menjadi contoh penting bagaimana proses peradilan bisa diselewengkan jika tidak ada dasar bukti yang kuat,” ujar Prof. Hanafi.

Dakwaan Dipaksakan: Bukti Lemah dan Dakwaan yang Tidak Logis
Buku tersebut juga menyoroti lemahnya dakwaan jaksa terhadap Maming yang dibangun atas dasar dugaan transaksi suap. Padahal, hasil eksaminasi menyimpulkan bahwa transaksi yang dipermasalahkan adalah bentuk tagihan kerja sama yang sah antara perusahaan, dan bukan tindak pidana korupsi. “Fakta-fakta yang diabaikan ini seharusnya sudah cukup untuk membatalkan semua tuduhan,” ungkap Dr. Mudzakkir.

Selain itu, terdapat kejanggalan pada penggunaan istilah “kesepakatan diam-diam” yang tidak dikenal dalam hukum pidana Indonesia. Tim eksaminator menilai argumen jaksa yang menyatakan bahwa Mardani Maming terlibat dalam kesepakatan semacam ini tidak dapat diterima karena tidak adanya bukti konkret.

BACA JUGA:  Drs Salmun Rahman MM:”Kepemimpinan Transformasional”

Kontradiksi Hukum dalam Putusan
Tidak hanya itu, penerapan Pasal 93 UU Pertambangan terhadap Maming pun dikritisi. Pasal tersebut seharusnya diterapkan kepada pemilik izin pertambangan, bukan pejabat publik yang menandatangani izin tersebut. Dengan kata lain, Mardani Maming tidak seharusnya dijerat dengan pasal tersebut karena tindakannya masih sesuai prosedur yang berlaku saat menjabat sebagai Bupati Tanah Bumbu.

Ahli Hukum Kritisi Kesalahan Hakim
Acara bedah buku ini juga dihadiri oleh sejumlah ahli hukum terkemuka, seperti Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., L.L.M., dan Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum., yang memberikan pandangan akademis terkait kesalahan dalam penanganan perkara tersebut. Romli Atmasasmita menegaskan, “Ada kekeliruan nyata dalam penerapan pasal-pasal yang mengakibatkan Mardani H. Maming terjerat hukum secara tidak adil.”

BACA JUGA:  Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer

Perlu Revisi UU Tipikor
Bedah buku ini mendorong pentingnya revisi terhadap UU Tipikor agar tidak ada lagi penerapan pasal yang terlalu luas, seperti yang terjadi dalam kasus Maming. Menurut tim eksaminator, revisi ini harus menegaskan batasan yang lebih jelas terhadap pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat pejabat publik.

Potensi Peninjauan Kembali (PK)
Dengan berbagai kejanggalan yang terungkap, para pakar hukum yang terlibat dalam eksaminasi ini menyarankan agar tim hukum Mardani Maming mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Mereka yakin, ada dasar kuat untuk meninjau ulang putusan kasasi yang sudah ditetapkan. “Putusan ini tidak mencerminkan keadilan yang sesungguhnya karena banyaknya kekhilafan dalam konstruksi hukum,” tutup Prof. Ridwan Khairandy.