MATARAMRADIO.COM, Lombok Utara – Tanggal 29 Juli 2018, pulau Lombok diguncang gempa 6 SR. Lombok bagian utara mengalami guncangan keras dan menimbulkan kerugian baik material maupun imaterial termasuk korban jiwa. Seminggu kemudian, tepatnya 5 Agustus 2018, selepas magrib memasuki waktu isya, gempa kembali mengguncang Lombok dengan kekuatan yang lebih besar yakni 7,0 SR. Akibatnya, bukan hanya Lombok bagian utara tapi hampir semua wilayah kabupaten di pulau Lombok terkena dampak. Kerugian material pasti, korban jiwa sudah tentu, dampak psikologis dan lainnya menyelimuti warga pulau Lombok.
Dari sisi kerugian material, kontruksi fisik bangunan rumah warga hampir semua terdampak baik rusak berat, sedang atau ringan. Namun, sebanyak 27 rumah warga yang berada di Dusun Desa Beleq Desa Gumantar kecamatan Kayangan kabupaten Lombok utara tidak mengalami kerusakan. Padahal, bila dilihat dari usia, rumah peninggalan leluhur ini sudah tidak mudah lagi apalagi dari konstruksi bangunan tidaklah sekokoh bangunan saat ini yang menggunakan tiang pancang dari besi.
Ya…27 rumah yang berdiri di atas lahan 80 are itu hanya menggunakan tiang dari kayu dan dinding bedek dengan atap rumbia.
Yang menarik lagi, ke 27 rumah adat (biasa orang menyebutnya) merupakan rumah peninggalan leluhur warga Dusun Desa Beleq, yang kembali setelah meletusnya Gunung Samalas Rinjani pada 1257 M.
Dalam tradisi tutur, diceritakan letusan Gunung Samalas Rinjani menimbulkan kepanikan warga yang berada di lereng gunung. Guncangan keras membuyarkan warga, mereka tercerai berai mencari tempat aman untuk berlindung. Selama beberapa hari warga dicekam ketakutan, terlebih sinar matahari tidak terlihat. “Orang tua menyebutnya dunia peteng dedet,” ucap Sahir, mantan kepala Dusun Desa Beleq saat mataramradio.com berkunjung ke Dusun Desa Beleq, beberapa waktu lalu.
Setelah dampak letusan Gunung SamalasRinjani mereda, sebanyak 27 kepala keluarga kembali ke desa asal kemudian mendirikan bangunan yang sekarang masih tertata sesuai tata aturan awal berdirinya.
Menurut Sahir, kehidupan masyarakat Dusun Desa Beleq dari dulu hingga kini masih berpegang kepada lima pranata sosial yakni Penghulu, Pemangku, Pemekel, Raden dan Turun.
Penghulu yaitu pranata sosial yang bertanggung jawab terhadap prosesi ritual agama.
Pemangku yaitu pranata sosial yang bertanggung jawab terhadap proses ritual yang berkaitan dengan bumi dan alam seisinya.
Pemekel yaitu pranata sosial yang mengatur penerapan hukum yang berlaku di Dusun Desa Beleq.
Raden yaitu pranata sosial yang bertanggung jawab melakukan khitan, dan
Turun yaitu pranata sosial yang bertanggungjawab untuk menyelidiki permdalahan terkait penetapan hukum adat yang kemudian di putuskan oleh pemekel.
“Kelima pranata inilah yang mengatur tata kehidupan masyarakat Dusun Desa Beleq,” jelas Sahir.
Dalam tata kehidupan masyarakat Dusun Desa Beleq, kelima pranata memiliki fungsi masing-masing dan tidak saling tumpang tindih. Setiap permasalahan yang dihadapi selalu dirundingkan oleh kelima pranata. Bila telah disepakati maka awik-awik tersebut dijadikan panutan hidup masyarakat Dusun Desa Beleq.
Salah satu contoh pranata yang masih di pegang hingga kini, kata Sahir yakni bila bibir dan bila lampak. Bila bibir artinya warga Dusun Desa Beleq tidak boleh mengucapkan sesuatu yang kasar kepada orang lain apalagi sampai berkata kasar. Bila itu terjadi maka orang yang melakukannya akan kena sanksi atau hukuman berupa denda uang bolong sebesar 50 ribu.
Sedang Bila lampak adalah berlaku kasar kepada orang lain hingga memukul maka hukumannya 250 ribu uang bolong. “Bila dikonversi dengan uang sekarang jumlahnya sangat banyak. Tapi bukan itu yang kami inginkan. Kami ingin masyarakat tidak melakukan perbuatan yang dapat menyakiti orang lain,” jelasnya.
Adanya awik-awik yang telah disepakati, membuat warga Dusun Desa Beleq lebih arif dalam kehidupan sehari hari. ” Kami saling menjaga. Tidak ingin saling menyakiti,” jelasnya.
Walau awik-awik yang menjadi tata kehidupan masyarakat Dusun Desa Beleq tidak tertulis, namun tata aturan itu menjadi hukum yang harus ditaati oleh seluruh warga Dusun Desa Beleq. “Bagi kami tata aturan itu di hati. Kami menjalani aturan dengan ketulusan hati,”paparnya.
Karena tata aturan kehidupan tertanam di hati, kata Sahir maka aturan itu tidak akan hilang atau rusak.
Dipelajari Ahli Luar Negeri
Usai gempa 7,0 SR yang merontokkan banyak bangunan di Lombok, banyak ahli luar negeri terutama ahli bangunan dari Jepang dan korea yang datang ke Dusun Desa Beleq untuk mempelajari kontruksi bangunan peninggalan leluhur. “Mereka (para ahli) penasaran dengan kontruksi rumah adat karena tidak mengalami kerusakan walau diguncang gempa besar,” jelas Sahir.
Setelah sampai di Dusun Desa Beleq, jelas Sahir mereka semakin heran karena konstruksi bangunan hanya terdiri dari kayu tidak seperti bangunan di luar negeri yang menggunakan tiang pancang dari besi. “Saya tidak paham bagaimana perhitungan orang tua dalam membuat rumah tapi faktanya rumah peninggalan leluhur ini tidak rusak diguncang gempa,” jelasnya.
Menurut Sahir, setelah mempelajari secara seksama dengan meneliti bagaimana konstruksi bangunan, bahan baku dan lainnya, para ahli menyatakan kekagumannua. “Mereka kagum dengan bangunan peninggalan leluhur ini,” jelasnya. (MRC03)