Fraksi Balkon

Semestinya partai-partai politik dan wakil-wakil rakyat melalui fraksi-fraksi partai politik di parlemen yang memiliki peranan paling penting dalam mendefinisikan hak-hak kesejahteraan rakyat. Namun tidaklah demikian berdasarkan hasil survei kerjasama Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan Universitas Oslo, Norwegia.

Hasil survei tersebut dipublikasikan dalam bentuk buku pada tahun 2016 dengan judul “Reclaiming The State:Mengatasi Problem Demokrasi Di Indonesia Pasca Soeharto”. Buku tersebut disunting oleh Amalinda Savirani dan Olle Tӧrnquist. 


Berdasarkan hasil survei diperoleh bahwa justru organisasi masyarakat sipil yang memiliki peranan paling penting (56 persen) dalam mendefinisikan hak-hak kesejahteraan rakyat. Disusul negara pada urutan kedua (25 persen) yang memiliki peranan dalam mendefinisikan hak-hak kesejahteraan rakyat kemudian diikuti masyarakat politik seperti partai politik dan anggota parlemen (11 persen) dan aktor ekonomi sebesar 8 persen. Organisasi masyarakat sipil secara aktif ikut hadir di “Balkon” gedung parlemen untuk menyaksikan,dan sekaligus mengikuti proses dan pelaksanaan kebijakan. Oleh karena itu pula, mereka dikenal dengan “Fraksi Balkon”. 

BACA JUGA:  Kado Besar HUT Lombok Timur ke-126


Selama proses persidangan UU BPJS pada tahun 2011 misalnya, “Fraksi Balkon” yang terdiri dari 65 anggota Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) secara rutin menghadiri sidang marathon di gedung parlemen untuk mendukung proses kebijakan tersebut. Selain membentuk “Fraksi Balkon”, aliansi itu juga melakukan beberapa aksi demonstrasi sepanjang perdebatan RUU BPJS berlangsung di gedung parlemen. Melalui “Fraksi Balkon” ini, maka masyarakat sipil dapat melakukan kontrol terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah dan menjamin dipenuhinya hak-hak kesehteraan rakyat sesuai dengan perundangan yang ada. 

BACA JUGA:  Sejarah Baru: Pertama Kali Indonesia Menjadi Presiden G20


Urusan rakyat menjadi bermakna manakala mereka sendiri (baca: masayarakat sipil) terlibat dalam menentukan apa itu urusan rakyat dan mendorong peran negara (baca:pemerintah) untuk mengelolanya. Tentu saja perdebatan tidak cukup hanya seputar siapa yang menjamin pemenuhan kesejahteraan rakyat. Oleh karena maka, urusan-urusan rakyat tersebut hendaknya diterjemahkan dalam kebijakan pemerintah. Para wakil rakyat di parlemen yang seharusnya aktif dalam merumuskan kebijakan publik yang mengedepankan urusan-urusan rakyat. Namun justru, organisasi masyarakat sipil melalui “Fraksi Balkon” yang memainkan peranan penting dalam isu ini. 

BACA JUGA:  Mempertanyakan Arah Kebijakan Pertanian


Ketika pembagian antara masyarakat politik dan masyarakat sipil masih ada, kebijakan publik mungkin tidak akan pernah mencerminkan kebutuhan aktual rakyat dan demokrasi dimungkinkan stagnan. Hasil survei juga menunjukkan bahwa kemadekan demokrasi sekarang ini adalah akibat dari kegagalan menerjemahkan kepedulian isu kesejahteraan rakyat menjadi kebijakan yang menguntungkan mereka. Urusan rakyat masih mengawang-awang dalam level perdebatan, daripada menjadi basis bagi sebuah tindakan yang terencana.    (Tim Weekend Editorial)